Sebenarnya nggak semua yang memakai istilah karya anak bangsa harus kita kasih pujian dan kita agung-agungkan. Mental maksa harus bangga itu harusnya sudah mulai kita kurangi dan alangkah lebih baik kita korek lebih dalam, bener nggak itu karya anak bangsa yang berkualitas.
Dari zaman ke zaman bangsa kita ini seperti haus akan hasil yang punya embel-embel karya anak bangsa. Dari obat, pesawat, mobil, sampai vaksin pun sepertinya kalau ada embel-embel seperti itu, mau nggak mau, suka nggak suka, jelek atau bagus, kita kayaknya wajib mengamini bahwa karya itu harus didukung seratus persen.
Lucunya, hal itu terus terjadi dan semakin menjadi-jadi. Yang terbaru soal vaknus atau lebih lengkapnya vaksin nusantara. Dengan nama vaksin nusantara yang keliatannya Indonesia banget. Gembar-gembor vaknus sebagai karya cipta anak bangsa membuatnya nampak hebat. Padahal di balik vaksin nusantara terkuak bahwa vaksin itu dibuat di Amerika Serikat dan yang asli Indonesianya cuma mereka yang jadi bahan uji coba.
Selain itu fase uji klinis yang bermasalah juga nggak apa-apa di hadapan vaknus, yang penting hasil karya anak bangsa, bahaya atau tidak asal banyak politisi yang dukung kayaknya kita semua harus dukung juga.
Hal ini bukan yang pertama sebenarnya. Jaman Orba dulu, Pak Harto dengan bangganya memperkenalkan mobil bernama Timor. Dan yap, embel-embel mobil nasional disematkan. Faktanya pembuatan mobil Timor pertama ternyata dibuat di Korea Selatan bekerjasama dengan KIA Motors. Setelah selesai dibuat di Korsel, mobil dikirim ke Indonesia dan taraa, jadi deh mobil nasional karya anak bangsa bernama Timor.
Nafsu menghasilkan sesuatu atas nama bangsa sih boleh-boleh saja. Namun membawa embel-embel nasionalisme di dalamnya yang ternyata dalam prosesnya nggak ada nasionalis-nasionalisnya adalah suatu sikap yang problematis. Parahnya, hal ini terus digembar-gemborkan dengan sporadis.
Ambil contoh Bukit Algoritma di Sukabumi. Dengan kehendak ingin meniru Silicon Valley di Amerika Serikat sana. Sukabumi dijadikan wadah nasionalis dengan status menciptakan Silicon Valley dengan kearifan lokal. Padahal kita nggak tahu, apakah orang Indonesia akan berperan 100 persen di dalamnya atau malah memble karena yang pegang kendali tetap orang asing. Kita cuma manut-manut aja disuruh-suruh sama asing bikin ini dan itu. Pas sudah selesai baru diklaim bahwa hasil karya anak bangsa.
Keterpaksaan itu pasti kita rasakan ketika ada sebuah mobil bernama Esemka. Mobil yang dipromosikan oleh Joko Widodo saat masih jadi walikota Solo itu digadang-gadang bakal tumbuh besar dengan status mobil nasional karya anak bangsa. Lalu digembar-gemborkan sudah siap produksi puluhan ribu unit dengan dibikinkan pabriknya oleh Pak Jokowi. Esemka pun perlahan menghilang. Mobil itu nyatanya cuma mobil yang dirakit di Indonesia dengan bahan baku yang didapat dari Cina.
Istilah karya anak bangsa makin hari seperti sebuah mimpi utopis yang ingin dibangun dengan cepat tanpa ribet. Padahal sebenarnya nggak ada hasil karya anak bangsa yang dibangun dalam satu malam atau dengan gelontoran modal 18 triliun doang. Bahkan brand-brand macam Honda, Suzuki, Yamaha dibangun dengan jangka waktu yang nggak pendek. Ketika Jepang jadi negara penghasil mobil dan motor terbesar, mereka tidak ujug-ujug bikin proyek mobil Honda dengan menamainya proyek mobil nasional karya anak Jepang. Tidak, semua itu lahir dari ekosistem yang saling bersahutan. Bagaimana budaya pendidikan, sumber daya manusia, teknologi, dan peran pemerintah dalam mendukung sebuah ekosistem kreatif adalah salah satu hal penting dalam membangun sebuah status bernama karya anak bangsa.
Di Indonesia, status ini seolah-olah seperti sebuah pemaksaan. Ketika ada suatu barang, temuan, atau apa pun yang dicap karya anak bangsa, kita semua dipaksa untuk wajib menghormati, membeli, dan menghargainya. Kritikan dianggap pelecehan terhadap nasionalisme. Dan itu sebenarnya problematis.
Ambil contoh luar negeri, kalau masih kurang paham. Orang-orang macam Bill Gates, Steve Jobs atau penemu-penemu di Silicon Valley lahir dari sebuah ekosistem yang berkelanjutan. Nggak ujug-ujug dicariin lokasi sama pemerintah Amerika Serikat dan disuruh bikin Apple dan Microsoft. “Karya anak bangsa” Amerika itu lahir dari sebuah proses panjang dengan sistem yang ditata sedemikian rupa. Mulai dari bagaimana sistem pendidikan di dalamnya tersusun dengan rapi, pola budaya kompetitif dan kreatif yang hadir di tengah masyarakat, hingga yang penting dari semua itu adalah soal investor yang rela menggelontorkan dananya.
Di Indonesia investasi dengan judul karya anak bangsa selalu muncul dari dompet pemerintah dan rata-rata investasi dari sana kebanyakan gagal. Lain cerita jika kita menengok Gojek, Bukalapak, atau Tokopedia. Ketiga raksasa bisnis internet itu tumbuh dari modal investor swasta lalu setelah sukses diagung-agungkan pemerintah dengan nama klaim karya kita. Begitu terus perputarannya.
Pemerintah seharusnya sadar, membawa embel-embel tersebut sebenarnya terlalu basi untuk terus-terusan disodorkan ketika ingin membuat suatu proyek. Niat hati ingin membuat ini dan itu dengan singkat adalah kesalahan paling mendasar jika ingin Indonesia bisa mandiri membuat sepeda motor, mobil, atau benda-benda macam hape atau vaksin sekalipun. Alih-alih fokus membangun perputaran ekosistem yang suportif, pemerintah mulai dahulu sampai sekarang masih terus fokus dengan gelontoran dana banyak lalu ingin hasil yang cepat. Padahal seharusnya pemerintah tahu, metode begituan ujungnya selalu gagal maning, gagal maning.
Gembar-gembor Vaksin Nusantara dan Bukit Algoritma baru-baru ini menjadi gambaran bahwa istilah nasional dan karya anak bangsa selalu jadi tagline penting untuk membangkitkan rasa nasionalisme dan tentu saja dukungan. Padahal sudahkah kita berpikir bahwa nggak semua karya itu harus kita banggain dan dukung.
Apa salahnya ditelaah dulu mana dari produk-produk yang dihasilkan itu ori Indonesianya dan mana yang eks inter. Karena kalau ujug-ujug bangga-banggain tanpa kroscek bagus atau tidaknya, kita malah jadi malu sendiri.
BACA JUGA Vaksin Nusantara Harus Kita Dukung, Bodo Amat sama BPOM dan artikel M. Farid Hermawan lainnya.