Meskipun tawaran bertubi-tubi datang kepada saya untuk membawa mobil milik saudara, tapi saya telah bertekad kuat tidak akan membawa mobil, kecuali mobil sendiri. Selain kekhawatiran kalau ada apa-apa harus mengganti kerusakan, juga perasaan tak enak kepada pemilik mobil meski saudara sendiri. Hingga suatu masa, tepatnya September 2015, saya pun membeli mobil pertama kalinya dalam sejarah kehidupan saya: Datsun Go Panca 2015.
Saudara, sebelum saya melanjutkan kisah dengan si Datsun Go Panca, izinkan saya flashback ketika saya pertama kali pindah dari Jakarta ke Kabupaten Bogor. Saat pindah di akhir 2010 tersebut, saya masih menggunakan motor bebek Yamaha Vega. Anak masih satu, istri pun tetap satu.
Rupanya cuaca yang dingin khas Bogor telah menambah produktivitas saya dan istri. Seiring waktu anak kedua saya lahir pada 2014. Tak terasa jumlah anggota keluarga menjadi empat orang. Jok motor sudah tak memungkinkan lagi menyangga pantat saya dan istri yang lama kelamaan juga semakin lebar seiring nafsu makan bertambah kala dingin menyapa.
Antara beli mobil kredit atau kontan
Saya pun berniat membeli mobil. Kemampuan saya yang minim tentang mobil membuat saya tak mau ambil risiko membeli mobil second hand. Diputuskanlah membeli saja yang baru. Namun, uang tak mencukupi mengingat tabungan telah saya habiskan untuk renovasi dan membangun tembok tinggi di samping rumah kami yang berada paling pojok blok perumahan.
Opsi kredit mobil sempat terlintas di benak saya. Namun, rekaman cerita pengalaman dari mereka yang pernah terhambat setoran ke dealer sehingga harus berhadapan dengan debt collector, membuat saya membuang jauh-jauh niat tersebut. Lalu diputuskanlah mengambil pinjaman ke bank langganan kantor. Singkat cerita, dana membeli mobil baru pun didapat.
Berhubung pinjaman juga tak terlalu besar, maka saya putuskan membeli mobil di segmen Low Cost and Green Car (LGCC) alias mobil harga murah. Persaingan LGCC yang ketat saat itu membuat kami menghadapi persoalan selanjutnya yaitu memilih mobil LGCC baru sesuai anggaran, tapi tak “rewel” saat di jalan adalah pilihan yang sulit.
Akhirnya setelah membaca berbagai referensi mobil, saya pun kepincut dengan eksterior dari mobil Datsun GO Panca dibanding kompetitor di kelas yang sama lainnya. Desain Datsun Go Panca nggak ngebosenin menurut saya. Guratan desain Datsun GO Panca sungguh manis dilihat tampak depan hingga ke body samping. Aplikasi bumper nan sporty di bagian belakang hingga penambahan diffuser dan spoiler membuatnya sangat nggaya dan futuristik. Saya pun berkata, ”This is it!” bak celoteh renyah Chef Farah Queen.
Meski harus inden dua pekan, saya membulatkan hati memilih warna hijau giok alias Jade dari varian warna Datsun Go Panca lainnya. “Biar beda dari yang lain,” tutur saya ke istri. “Nanti susah dijualnya lho, Pah,” timpal isteri saya. “Siapa yang mau jual?” ujar saya tegas. Saya pun memilih tipe tertinggi yakni Datsun Go Panca T Active dengan kisaran harga 100 juta-an.
Saat mobil sudah di rumah, tak bosan-bosan saya melihatnya. Saya sangat menyukai warna jade dari Datsun Go Panca T Active tersebut. Mirip salah satu cincin bermata jade (giok) saya. Saat itu, pada 2015 memang masih musim-musimnya demam gemstone alias batu akik. Pendeknya, Datsun berwarna jade yang menjadi kendaraan saya dan batu cincin jade yang melingkar di jari manis kiri saya adalah perpaduan energi positif luar biasa. “Adem,” kalau kata istri saya.
O, ya, ketika seseorang menyukai atau mencintai sesuatu meski bukan makhluk hidup, biasanya ia akan memberi nama panggilan kesayangan. Begitu pula saya terhadap si Datsun. Saya memanggilnya Acun. Nama sayang dari Datsun. Diotak-atik, jadi Ucan yang merupakan nama panggilan saya sehari-hari dari nama Suzan. Saya merasa, si Acun sepertinya sudah ditakdirkan bersama saya sebagai turangga (kuda) besi yang identik dengan nama saya. Acun dan Ucan. Ucan dan Acun. Klop!
Namun, kebersamaan saya dengan si Acun akhirnya harus berakhir juga, Mylov. Geger geden dalam organisasi sebagai sebuah keniscayaan membuat keadaan harus disesuaikan, termasuk ekonomi keluarga saya. Pemangkasan anggaran di sana-sini dan mutasinya saya ke tempat baru membuat saya mulai kesulitan merawat si Acun. Akan tetapi, saya harus memutar otak cepat, isi perut lebih prioritas.
Akhirnya, dengan terpaksa saya pun melepas si Acun dengan berat hati. Saat si Acun dibawa pemilik barunya, anak bungsu saya melepasnya penuh pertanyaan. Pasalnya, ia sedang senang-senangnya duduk di bangku depan jika berpergian atau sekadar jalan-jalan. Maafkan papa, Anakku. Si Acun bukanlah segalanya, tak ada yang abadi. Percayalah, hidup kita akan tetap indah meski tanpa si Acun. Bye, Acun~
Sumber Gambar: YouTube Mobil123
BACA JUGA Jangan Beli Mobil kalau Belum Memiliki 4 Hal Ini dan tulisan Suzan Lesmana lainnya.