Saya suka makan. Suka sekali. Namun, sayangnya kesukaan saya dengan makanan sama sekali tidak berimbang dengan berat badan saya. Menurut orang sekitar, saya masih dianggap terlalu kurus. Padahal, saya belum pernah diet apa pun. Memikirkannya dalam pikiran saya saja tidak pernah.
Ketika banyak sekali orang-orang di sekitar saya yang memilih menerapkan diet ketat gaya hidup sehat, saya justru memilih untuk makan banyak-banyak. Apalagi saya tipikal orang Indonesia asli yang tidak pernah kenyang kalau tidak makan nasi. Hehe. Sayangnya, meskipun banyak makan nasi, berat badan saya tidak bertambah. Stuck di angka 44-46 kg. Hiks.
Awalnya, saya sedikit parno. Apalagi banyak mitos yang berkembang seputar orang-orang kurus macam saya. Mulai dari cacingan hingga memiliki sifat suka ngambek. Masyarakat di sekitar saya sering bilang, orang yang makannya banyak tapi tetap kurus berarti energinya tidak menjadi daging melainkan terkuras karena selalu merasa iri dan dengki pada orang lain. Ih, dasar sok tau.
Padahal tidak ada korelasi ilmiah atas perasaan dengki dengan berat badan. Di dunia nyata, banyak juga orang-orang gendut yang nggak kurus yang suka iri hati sama dengki pada orang lain, bukan cuma orang kurus saja.
Mitos lain yang juga beredar bahwa ‘orang kurus berarti suka banyak pikiran dan mikirin banyak hal—kasarnya seperti orang yang depresi dan frustasi—makanya ia tetap kurus meskipun sudah makan banyak. Energi dari makanan habis untuk urusan berpikir, menyesal dan meratapi nasib. Hadeuh. Padahal meskipun nggak kurus, semua manusia pada dasarnya juga suka mikir, rentan depresi dan frustasi—apalagi kalau banyak tugas. Bukan cuma orang kurus saja.
Banyaknya mitos seputar orang kurus tersebut membuat saya termotivasi untuk mengemukkan badan. Saya mulai membuka internet, membaca banyak artikel seputar tata cara menggemukkan badan. Teman saya menyarankan untuk minum obat penggemuk saja, namun saya menolak. Takut pada efek ketergantungan dari pemakaian obat itu. Saya mencoba mencari alternatif penggemukan badan dengan metode alami saja.
Teman yang lain bilang, makan saja mi instan sama telur saja. Dicampur. Pasti lama-kelamaan obesitas gemuk. Saya awalnya sangsi, tapi tak ada salahnya mencoba. Saya kemudian makan mi dengan telur secara rutin tiap hari—bukan sehari tiga kali loh, ya. Seminggu melakukan praktik sesat itu, berat badan saya tidak bertambah, malah dompet dan kantong saya terkuras. Iyalah, telur sama mi instan itu mahal, bok. Apalagi buat anak kosan macam saya. Mending masak saja.
Gagal dengan cara tersebut, saya kembali mencari cara alami menggemukkan badan di internet. Di sana, tertulis bahwa saya harus sering ngemil. Ngemil apa saja, tiap waktu. Akhirnya saya coba, membeli camilan-camilan murah. Tapi ya tetap saja, berat badan saya nggak nambah.
Kali lain saya juga pernah mengikuti anjuran sebuah artikel yang menyarankan agar jangan makan di atas pukul 10 malam. Katanya berpotensi dapat menggemukkan badan. Iya, kah? Maka saya memutuskan melakukan hal sebaliknya, memilih makan malam di atas pukul 10. Tapi, tetap saja nggak mempan. Tubuh saya seolah berkongsi untuk menolak menambah berat badan 1 kilogram saja, meskipun saya sudah menerapkan banyak jurus dan metode. Hiks ~
Sampai sekarang, kadang saya kadang masih merasa frustasi, bagaimana cara menambah berat badan 1 kilogram saja. Sejak 4 tahun lalu, sewaktu ikut tes kesehatan saat ospek, berat badan saya cuma 45 kg. Sekarang, empat tahun kemudian, cuma berhasil naik 2 kg. Padahal saya doyan makan dan nggak pilih-pilih makanan lho, ya.
Saya mulai berpikir, mungkin ini karena faktor genetik. Nggak ada hubungannya sama sifat, perilaku, pola pikir, lingkungan hingga mitos-mitos aneh. Mungkin juga memang segini saja jatah berat badan yang diberikan Tuhan pada saya. Pasrah, deh.
Saya kemudian mulai bersyukur. Soalnya banyak orang-orang di luar sana yang terpaksa harus diet ketat hanya untuk menyeimbangkan berat badannya yang obesitas. Atau juga orang-orang yang memilih membatasi makanannya hanya agar menjaga berat badannya tetap kosntan. Intinya, saya—dan mungkin juga kalian yang bernasib sama—harus pandai-pandai bersyukur atas karunia Tuhan. (*)
BACA JUGA Culture Shock Anak Rantau di Jogja atau tulisan Siti Halwah lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.