Saya adalah satu dari puluhan juta orang di dunia ini yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid-19. Kontrak kerja saya tidak diperpanjang karena, meskipun bekerja di rumah sakit, boro-boro rumah sakit diuntungkan saat pandemi, yang ada merugi karena penurunan jumlah pasien, banyak operasi yang dibatalkan, biaya operasional ruang isolasi yang mahal, serta pihak BPJS, asuransi swasta, dan juga pemerintah yang masih menunggak banyak sekali biaya pada pihak rumah sakit yang belum juga dibayarkan jauh sebelum adanya pandemi.
Hingga saat ini, sudah 6 bulan lebih saya menganggur, berusaha mencari uang dari honor tulisan di Terminal Mojok maupun melakukan pekerjaan sambilan lainnya. Sudah lebih dari 20 wawancara kerja yang saya lakukan, baik wawancara kerja tatap muka, maupun wawancara kerja secara daring. Bahkan saya amati iklan lowongan kerja di internet pun jauh berkurang dari sebelum pandemi. Apalagi jumlah wawancara kerja yang saya ikuti juga sangat jauh berkurang. Pandemi ini benar-benar bikin susah kita semua, terutama yang hendak melamar kerja seperti saya.
Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan nongkrong dengan teman yang sudah saya kenal lebih dari lima tahun saat kuliah. Kedua teman saya ini kuliah di jurusan Psikologi dan menjadi HRD di salah satu BUMN dan start-up teknologi. Saya berusaha menjelaskan apa yang saya keluhkan dalam dunia kerja ini, terutama saat pandemi.
Mereka memberikan petuah kepada saya bahwa ini belum rezeki saya dan saya harus terus bersemangat melamar kerja.
Tentu saja hal tersebut berbeda dari ekspektasi saya. Sebagai lulusan Psikologi dan bekerja sebagai HRD, harusnya mereka tidak seperti orang awam yang berkata bahwa: “ini belum rezeki kamu” dalam melamar kerja, dong?
Sebagai HRD, seharusnya mereka memberikan sebuah alasan yang logis dan sistematis, seperti ekonomi sedang memasuki masa resesi karena pandemi global sehingga banyak lapangan pekerjaan yang tutup, bahkan perusahaan besar sekalipun kesulitan. Atau mengatakan hal jujur pada saya seperti skill yang saya miliki terlalu umum dan tidak spesial sehingga kalah bersaing dari orang lain. Maupun mengatakan bahwa saya tidak cukup good looking saat wawancara kerja sehingga first impression-nya kurang, atau saya salah menjawab saat wawancara kerja seperti meminta gaji yang terlalu tinggi, maupun menyinggung perasaan orang yang mewawancarai saya.
Setelah mengatakan “belum rezeki”, kedua teman saya malah memberikan petuah lainnya bahwa kita harus selalu bersabar, dan terutama banyak memberi kepada orang tua agar diberkahi Tuhan dengan diberikan pekerjaan yang berpenghasilan besar karena kita berbakti kepada orang tua.
Saya setuju bahwa berbakti kepada orang tua adalah perbuatan mulia, tapi rasanya pernyataan semacam “belum rezeki” terlalu diglorifikasi. Jika benar bahwa dengan berbakti kepada orang tua menjadikan semua praktisinya jadi orang kaya, lalu kenapa orang-orang di Afrika dan negara miskin lainnya seperti Somalia masih tetap miskin? Padahal saya sih yakin bahwa mereka juga berbakti kepada orang tua mereka.
Tidak bisakah kita menyudahi glorifikasi bahwa segala sesuatunya “belum rezeki kamu” ketika ditolak kerja maupun ditolak masuk kampus yang kita inginkan?
Alih-alih glorifikasi seperti itu, mengapa kita tidak menggunakan kalimat yang menjelaskan penolakan kita tersebut secara logis dan sistematis seperti, “Ekonomi memang sedang surut sehingga lapangan kerja sempit”, “Tingkatkan skill, karena sarjana dengan kemampuan seperti kamu itu jumlahnya terlalu banyak sehingga kalah bersaing”, “Kamu meminta gaji terlalu tinggi sehingga perusahaan tidak bisa membayarnya”, atau, “Saat wawancara, kamu memakai kemeja putih yang ada tumpahan bumbu nasi padang sehingga first impression kamu jadi jelek, jadinya mereka pilih orang lain, deh.”
Tidak bisakah kita menyudahi glorifikasi bahwa segala sesuatunya “belum rezeki kamu” yang abstrak, dan mulai menggunakan penjelasan yang logis, ilmiah, dan sistematis?
BACA JUGA Sebetulnya Seberapa Penting sih IPK dalam Melamar Pekerjaan? dan tulisan Raden Muhammad Wisnu lainnya.