Semenjak saya mengikuti tahlilan kurang lebih empat tahunan ini di desa, tepatnya semenjak lulus SMA alias lulus dari pondok pesantren, terdapat fakta menarik mengenai status sosial seseorang ketika mengikuti tahlilan.
Untuk kalian yang belum tau tahlilan, saya akan sedikit memberi intro sekilas. Jadi, tahlilan itu secara garis besar merupakan sebuah ritual peribadatan untuk mendoakan kematian seseorang. Biasanya sih, cenderung dilakukan oleh warga NU.
Oke, kita lanjut mengenai fakta menarik yang saya temui ketika mengikuti tahlilan. Entah mengapa, tempat duduk peserta tahlilan itu seolah-olah telah ter-setting sedemikian rupa berdasarkan status sosial yang dimiliki seseorang.
Nah, hebatnya lagi, setting-an ini didasarkan pada kesadaran masing-masing individu. Jadi, nggak berdasarkan paksaan bahwa “kamu harus duduk di sini, kamu harus duduk di sana”, layaknya anak TK yang diatur-atur tempat duduknya.
Setidaknya saya menemui empat kategorisasi tempat duduk tahlilan di desa saya berdasarkan status sosial yang dimiliki seseorang. Keempat kategorisasi tersebut mengacu pada tahlilan yang diadakan di rumah penyelenggaranya.
#1 Ruang tamu
Tempat duduk tahlilan area di dalam rumah ini, biasanya dipenuhi oleh orang-orang yang dianggap “penting” di desa maupun di kegiatan tahlilan itu sendiri. Mulai dari mereka yang berstatus modin, ulama atau kyai desa, ustaz, sesepuh yang dihormati masyarakat bahkan perangkat desa sekalipun.
#2 Teras rumah
Untuk area teras rumah ini menjadi tempat duduk yang bercorak multikultural, atau menjadi perpaduan antara mereka yang seharusnya berada di ruang tamu dan mereka yang berada di halaman rumah.
Jadi, biasanya area teras rumah ini merupakan tempat perkumpulan orang-orang “penting” yang nggak kebagian tempat di ruang tamu dan masyarakat awam yang terlalu rajin untuk datang lebih dulu sehingga status sosial mereka yang berada di teras rumah ini ketika mengikuti tahlilan dapat dikatakan sedikit abstrak, gitu.
#3 Halaman rumah
Sedangkan untuk area halaman rumah, cenderung dipenuhi oleh mereka yang berstatus masyarakat awam atau masyarakat umum yang nggak menjadi sosok “penting” di desa. Jadi, sebatas warga biasa saja dalam suatu desa tersebut.
Tentunya juga mereka yang berada di halaman rumah ketika mengikuti tahlilan biasanya datangnya nggak begitu rajin, tapi juga nggak begitu molor. Intinya yang standar-standar saja-lah, sesuai SNI yang berlaku.
#4 Halaman rumah bagian pojok
Nah ini nih, area gembong-gembong legend-nya desa, bahkan warok-warok desa. Area yang menjadi tempat duduk berkumpulnya komplotan muda-mudi desa dan mereka yang sedikit beler kalau datang ke acara tahlilan.
Bagian pojoknya sendiri nggak karuan letak pastinya. Terkadang bisa di bagian pojok samping kiri, kanan maupun bagian pojok belakang. Namun, yang pasti biasanya posisi tempat duduknya itu lebih pewe, alias posisi wenak jika dibandingkan dengan tempat duduk tahlilan masyarakat biasa pada umumnya.
Melalui ini setidaknya saya sadar bahwa status sosial seseorang menentukan posisi duduknya ketika mengikuti tahlilan. Bukan berarti ini aturan paksaan yang menjenuhkan. Melainkan ini justru sebuah pembelajaran untuk tau diri dan menghormati mereka yang seharusnya memang dihormati.
Pasalnya, posisi duduk ketika kegiatan tahlilan itu berdasarkan kesadaran masing-masing peserta dalam menempatkan diri dan menyesuaikan sosio kultural yang berlaku. Jadi, dapat dikatakan bahwa budaya posisi duduk tahlilan menggunakan prinsip “menempatkan sesuatu pada tempatnya.”
Kalau nggak sesuai tempatnya, seseorang akan merasa terasing dengan posisi duduknya. Ibarat mereka yang berstatus “beler” dan datangnya telat, kemudian tiba-tiba duduk di ruang tamu, pastinya seluruh peserta tahlilan akan melihat kelakuan orang tersebut. Bahkan bisa dianggap aneh, maupun nggak beradab.
BACA JUGA 5 Lauk yang Secara Misterius Selalu Ada di Berkat Tahlilan dan tulisan Mohammad Maulana Iqbal lainnya.