Bandung siang itu terik, namun sesekali angin bersemilir menerpa wajah saya yang masih lucu, sederhana dan polos, tak ada jerawat dan komedo. Iya saya masih siswa SD kelas 4 di sebuah Sekolah Dasar Negeri di jalan Kopo dekat Rumah Sakit Imannuel Kota Bandung. Lapar, perut ini terasa lapar, namun saya tetap istiqamah berjalan menyusuri gang-gang sempit sepulang sekolah menuju satu tempat yang saya idam-idamkan.
Sengaja sejak istirahat saya tidak jajan, padahal ongkos yang dikasih nenek dari rumah cukup untuk beli semangkuk mie bakso Mang Dadang di seberang sekolah. Pertengahan tahun 1994 Rp. 250,- harga semangkuk mie bakso di gerobak Mang Dadang. Sedangkan harga es teh di kantin Bu Asih sekitar Rp. 50,- dapat dua. Menjelang tahun 1997, harga semangkuk mie bakso Mang Dadang berlipat naik menjadi Rp. 500’-, sementara es teh di kantin Bu Asih, masih tetap. Lantas demi apakah saya rela nahan lapar, dan melewatkan kenikmatan jajan di waktu istirahat tadi? Sederhana. Saya ingin main Dingdong.
Iya Dingdong, dinamakan Dingdong katanya sih sejak console game yang pake koin itu ada tahun 70-an. Begitu yang mau main masukin koin mesinnya bakal bunyi ding-dong. Nah, di tahun 90-an video game Dingdong mainnya pakai koin, koin asli bikinan Perum Peruri, tidak seperti sekarang area permainan anak di mall-mall harus tukar dulu uang asli terus dikasih koin khusus bikinan pengelola.
Oke udah ngerti kan pulang sekolah saya mau ke mana. Di sepertiga perjalanan saya melewati pabrik roti rumahan milik Mang Odo, beliau ayahnya teman sekelas saya. Sejak 100 meter menjelang pabrik Mang Odo, aroma khas roti bangket sudah tercium hidung. Roti semi kering beraroma jahe itu terkenal dengan nama bangket. Tentu saja saya diijinkan untuk ngambil roti bangket, nggak banyak 1-2 potong juga sudah bikin kenyang, kalau mau ambil banyak dan gratis juga boleh, syaratnya? Ambil saja yang BS (Barang Sisa). Okesip. Perut kenyang. Uang utuh. Seperti orang yang terbebas dari masalah pangan, saya pun pamit meneruskan perjalanan. Terima kasih Mang Odo. Lanjut ke tempat Dingdong.
Tempatnya nggak terlalu luas, sekira 5 x 6 meter saja, tempatnya pun tak terlalu istimewa. Sebuah garasi yang disulap menjadi arena bermain Dingdong. mesin dingdongnya ada 6 berjajar rapih tanpa sekat, satu mesin dingdong bisa dimainkan oleh dua orang. Ketika saya datang, disitu sudah ada Aep, Epul dan Iwan, ketiganya teman sekelas di sekolah. Aep dan Iwan antri menukar uang kertas dengan koin seratusan di meja penukaran yang dijaga Teh Sari, anak pemilik usaha Dingdong. Sedangkan Epul masih bingung memilih mau main apa. Saya menyapa, mereka biasa saja. Saya tak perlu menukar uang kertas ke koin seratusan, karena memang bekal ongkos dari nenek selalu recehan. Rp. 300,- setidaknya cukup untuk dihabiskan siang itu di 3x permainan, bisa satu atau dua bahkan 3 jenis game, kalau mau.
Agak ramai tempat Dingdong siang itu. Mood saya untuk main Dingdong tinggal setengah. Jenis game yang mau saya mainkan dikuasai anak SMA yang mainnya jago sekali, modal satu koin kalau mainnya sejago itu kapan game overnya? Anjing.
Sampai kira-kira jam dua siang, tak juga dapat giliran, Epul dan Iwan sudah main, sedangkan Saya dan Aep rasanya nggak akan dapat giliran. Saat itu di tempat Dingdong rasanya ada yang mengawasi gerak saya. Sudahlah mungkin hanya perasaan saja. Saya pamit nggak jadi main Dingdong ke Epul, Aep, dan Iwan. Rupanya mereka mau pulang juga, terutama Epul yang kesal karena habis banyak koin dan game over terus di waktu yang singkat. hehe
Kami pulang berempat. Menyusuri gang-gang sempit di wilayah Kecamatan Bojongloa Kaler, konon disebut kecamatan terpadat di Kota Bandung, sebelum akhirnya dikalahkan oleh Cicadas. Sampai tanah lapang di gang irigasi. Dulunya ada irigasi buat sawah-sawah, namun berubah jadi selokan besar berbau kurang sedap karena limbah domestik dan sampah. Sungguh mubazir!
Tiba-tiba ada yang menghadang kami, tiga orang, di antara mereka ada satu orang yang tadi saya lihat di tempat Dingdong. Badan mereka lebih tinggi sejengkal dari badan kami, dan tentu saja lebih besar kepalan tangannya.
Malak. Kami dimintai uang, saya teringat teman saya Cecep yang cerita kalau kemarin dia juga dipalak sewaktu habis main Dingdong. Saya diam tak menjawab. Saya berpikir masih bisa lah melawan, toh kami berempat meskipun kecil-kecil, masih menang kuantitas daripada mereka bertiga. Namun di tengah semangat dan euphoria menang kuantitas itu, tiba-tiba saja jadi melempem, sebab dua orang dari kami Epul dan Iwan, lari sekencang-kencangnya entah kearah mana. Tinggallah saya dan Aep.
“Kumaha yeuh, Ep? (red: Gimana nih ep?),” saya tanya ke Aep.
“Kagok edan lah, lawan weh! ( red: Udah terlanjur, lawan aja!),” kata Aep.
“Mun wani dieu maju anjing! (red: kalau berani, sini maju anjing!),” lanjut Aep.
Tak seperti koreografi film-film silat di TV, saya yakin pertarungan dua lawan tiga ketika itu tidak ada indah-indahnya, semuanya “papuket” (saya nggak tahu Bahasa Indonesianya apa, pokoknya gaya berantem yang nggak karuan), tak ada kuda-kuda, tak ada tangkisan, tak ada jurus apapun, seluruh anggota tubuh bergerak asal-asalan, tangan memukul, kaki menendang, jatuh ke tanah, berguling-guling, semuanya jarak dekat, kena pukul dan kena tendang, sudah pasti.
Semua berhenti ketika merasa sudah capek, ketika itu azan asar, ada bapak-bapak yang lari ke arah kami. Para pemalak? Ya, mereka kabur. Saya babak belur, Aep juga.
Sudah sore, kami pulang. Saya dan Aep berpisah di depan pabrik krupuk blek di Gang Sukarma, karena arah pulang kami berbeda. Siap-siap kena sama nenek di rumah. Pulang terlambat, baju seragam kotor, muka lebam, tangan lecet. Aep juga. Epul dan Iwan tidak.
Terus pelajaran apa yang bisa diambil dari kejadian itu? Menurut saya nggak ada sih. haha Tapi menurut Aep ada dan saya baru ketemu sama Aep waktu silaturahmi lebaran Idul Fitri kemarin. Katanya, pertama, sebelum main Dingdong, sebaiknya pulang dulu, makan dulu yang kenyang, salat dulu, ijin ke orang tua, bohong aja dikit bilang mau kerja kelompok, hehe. Kedua, kita itu punya tujuan yang jelas dan fokus yaitu mau main Dingdong sepulang sekolah. Ketiga, karena udah fokus dan istiqamah, kita rela nggak jajan, sekaligus belajar hemat waktu istirahat di sekolah, semua demi main Dingdong. Keempat, kita jadi tahu (bubuk haha), maksudnya jadi kenal mana teman sejati yang nggak ninggalin kita di situasi krusial (red: Bukan Epul, bukan juga Iwan). Kelima kita bisa belajar bisa beladiri juga, spontanitas. hehe
Nuhun Dingdong, udah ngasih pengalaman berharga. Nuhun Aep, setidaknya kamu nggak lari waktu itu. Untuk Epul dan Iwan, Fakyu!
Catatan: Nama karakter pada tulisan ini sudah disamarkan. (*)
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) yang dibikin untuk mewadahi sobat julid dan (((insan kreatif))) untuk menulis tentang apa pun. Jadi, kalau kamu punya ide yang mengendap di kepala, cerita unik yang ingin disampaikan kepada publik, nyinyiran yang menuntut untuk dighibahkan bersama khalayak, segera kirim naskah tulisanmu pakai cara ini.