Sejak kecil, saya yang berkulit sawo matang seringkali menjadi bahan olokan teman-teman bermain saya. Ada yang menyebut saya keling, lainnya menyebut saya item—hitam—secara blak-blakan. Maknanya sih sama, dari lucu-lucuan sampai betul-betul memberi label bahwa saya memiliki kulit yang lebih hitam. Hanya karena saya berkulit sawo matang, selain memang faktor genetik dari orangtua.
Dahulu, walau terasa sakit hati, namun saya tetap beranggapan bahwa itu hanya sebuah candaan dari beberapa teman yang memang dikenal akrab dengan saya. Ditambah saya masih SD, belum ada pemikiran tentang hal tersebut bersinggungan dengan kejahatan verbal yang melibatkan RAS tertentu bercampur dengan stereotip. Harus diakui pula, memberi label seperti itu seakan lumrah di lingkar pertemanan.
Sewaktu kecil hingga sekarang, kita semua dihadapkan dengan beberapa labeling atau sebutan bagi teman kita yang berasal dari beberapa daerah atau etnis tertentu. Yang berasal dari timur, entah dari mana pun asalnya, dipaksa rela dipanggil dengan sebutan “orang Ambon”. Lalu bagi mereka yang berasal dari etnis Tionghoa, tentu sudah menjadi suguhan setiap hari dipanggil dengan sebutan “encek” atau “ncek”, dan lain sebagainya.
Meski tetap dirasa tidak pantas karena tetap bersinggungan dengan rasisme, namun sebab faktor pertemanan dan dirasa sudah dekat, beberapa panggilan yang disematkan seperti tidak dibesar-besarkan atau dipermasalahkan. Akan lain cerita jika baru saling kenal, baru saja berpapasan dan tatap muka, dengan seenaknya memanggil menggunakan sebutan yang tidak layak.
Wong yang sudah lama saling kenal saja bisa ribut dan bertengkar hanya karena sebutan atau panggilan. Lah ini berani-beraninya, sudahlah belum kenal secara personal juga tidak akrab, eh malah memanggil dan memberi label seenaknya dengan nama hewan. Jelas hal tersebut tidak layak—jauh dari kata manusiawi. Atau jangan-jangan para pelaku memang sudah tidak memiliki hati nurani?
Hal tersebut yang dialami oleh para saudara kita yang berasal dari Papua, tepatnya di asrama mahasiswa Papua, Jalan Kalasan, Surabaya pada 16 Agustus 2019. Setelah sebelumnya sempat didatangi ormas karena diduga telah mematahkan tiang bendera merah putih dan membuangnya ke selokan. Seperti yang diberitakan oleh Tribunnews. Masih dari sumber yang sama, pemicu lain kerusuhan tersebut berasal dari foto yang beredar melalu grup WhatsApp.
Jelas, hal itu menjadi sesuatu yang harus dibayar mahal karena mengorbankan kesatuan juga keutuhan dalam berbangsa juga bersaudara. Hanya karena foto yang belum jelas asal-usul apalagi kebenarannya. Bahaya atas info yang belum dapat dipastikan kebenarannya memperlihatkan contoh nyata di dalan kehidupan sosial. Dan tetap, ucapan serta makian berbau rasisme tidak bisa dibenarkan dalam kondisi apa pun.
Mengutip dari CNN Indonesia, buntut dari aksi pengepungan terhadap mahasiswa Papua sempat membuat situasi di Jayapura dan Manokwari memanas pada Senin, 19 Agustus 2019. Meski pihak Kepolisian mengklaim pada Selasa 20 Agustus 2019, kedua wilayah berangsur kondusif. Dan semoga semakin kondusif sebagaimana mestinya, juga kasus ini tetap menjadi perhatian dan cepat diselesaikan.
Atas peristiwa itu, banyak orang yang memberi reaksi khususnya di jagat maya. Tak lama berselang, tagar #KitaSemuaBersaudara pun menjadi trending. Dari situ, banyak yang mulai menyuarakan tentang persatuan dan kesatuan sebagai warga negara sebangsa dan satu tanah air. Ada pula cuitan mengikuti tagar #KitaSemuaBersaudara untuk menenangkan yang tujuannya baik, agar kerusuhan dapat diredam dan sadar bahwa hal ini tak lebih dari ulah oknum atau provokator yang bertujuan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Saya berharap, kita semua semakin bijak dalam merespon juga menghadapi isu ihwal perpecahan antar saudara. Sudah cukup rasanya kita diadu domba dan dipecah belah dalam berbagai hal, terlebih urusan politik. Memberikan dukungan kepada seseorang atau sesuatu sampai dengan menjadi simpatisan aktif tentu diperbolehkan—tidak sepatutnya dipermasalahkan—selama tidak berlebihan dan tidak menyimpan dendam kepada sesama saudara karena berbeda pilihan.
Dan semoga, tagar #KitaSemuaBersaudara bukan hanya sekadar ikut-ikutan tapi juga dapat diaplikasikan di dunia nyata. Bisa dimulai dengan cara sederhana, ditujukan kepada orang terdekat, juga pada lingkungan sekitar. Dua diantaranya yakni, tidak lantas begitu saja percaya dengan info yang beredar apalagi belum pasti kebenarannya, juga menghargai sesama dan memahami perbedaan dalam keberagaman.
Bersatu, Indonesia #KitaSemuaBersaudara. (*)