Beberapa hari ke belakang saya melihat betapa masyarakat Twitter dihebohkan dengan cuitan ajakan geger gedhen dari dr. Tirta, yang seorang dokter sekaligus influencer kepada pengguna Twitter lainnya, Piel YK. Orang-orang heboh. Bahkan pada hari H rencana eksekusi geger gedhen itu, tagar #gegergedhen itu sampai trending. Tidak main-main, informasi keberadaan dr. Tirta dan Piel YK diburu netizen.
Sampai pada akhirnya ternyata malah zonk, dr. Tirta yang menurut warga Twitter adalah underdog dan akan kicep dengan tantangan geger itu datang dan ke lokasi yang rencananya jadi TKP. Pun dengan Piel YK. Namun, rasa kasihan muncul dari hati paling dalam dr. Tirta. Blio yang punya privilese khusus demi pernah geger gedhen dengan Jerinx SID di masa lalu itu merasa iba melihat tangan Piel YK bermasalah malam sebelumnya. Gagal sudah rencana tarung yang bahkan sudah masuk ranah taruhan warganet itu.
Saya sendiri sangat menyayangkan geger itu gagal terlaksana. Padahal, walau tidak terlalu suka dengan segala hal mengenai perkelahian, demi melihat hal-hal yang rame semacam ini, saya selalu tidak mau ketinggalan cerita. Saya jadi membayangkan, satu hal. Bagaimana jadinya jika dr. Tirta dan Piel YK, dua manusia yang penuh dengan amarah itu adalah warga Wakatobi asli? Lalu saling tantang macam yang juga dilakukan keduanya tempo hari.
Pertama-tama yang akan menjadi sudut pandangnya, tentu bukan antara seorang dokter dengan warga biasa. Keduanya berangkat dari latar yang berbeda. Salah satunya dari seorang yang bersekolah tinggi, macam universitas dengan sejuta pengalaman belajar di sekolah dan kampus yang menjadikannya serba tahu dari ujung dunia bagian selatan sampai bagian utara.
Kubu lain dari geger gedhen ini berangkat dari masyarakat biasa. Seorang nelayan yang oleh sebagian masyarakat lainnya dianggap besar namanya karena dialah sebaik-baik nelayan yang sungguh nelayan. Rasa-rasanya sangat mudah menemukan orang dengan gambaran ini di Wakatobi.
Perkara besar lain yang akan tercipta, tentu bukan usaha untuk menutupi lokasi geger gedhen agar tidak diketahui. Selain desakan warganet (bagi yang punya hape, terlebih akun Twitter), geger keduanya dirasa akan kurang jika hanya melibatkan dua orang. Rasanya tidak akan lega. Masa iya, “makanan enak” untuk sendiri. Kan, asyik kalau bisa bagi-bagi.
Tidak akan ada rasa sungkan untuk berbagi lokasi perkelahian kedua orang ini tadi. Anda mungkin merasa bahwa itu hanya akan jadi konten jika mereka berani share loc tempat bertemu. Namun, percayalah, Anda sedang salah menilai hal itu. Mereka akan berani menampilkan lokasi pertarungan demi orang lain dari dua kubu berbeda pendukung mereka masing-masing bisa ikutan geger juga.
Ya, tentu saja tetap akan jadi bahan konten. Akan tetapi, tidak akan dilakukan oleh mereka yang nanti akan terlibat perkelahian. Mereka akan dengan senang hati dan penuh suka cita menyambut geger gedhen itu dengan riang seperti anak kecil mendapat mainan baru. Padahal perkelahian ya emang barang yang biasa mereka temukan di keseharian mereka di kampung.
Lalu, ada yang bertanya, gimana jika salah satu dari mereka ada yang malamnya kecelakaan sehingga terlihat seperti orang yang sudah kalah sebelum bertarung? Sorry sorry nih, mau kamu patah tangan bahkan kaki sekalipun, tantangan tetaplah tantangan. Dan satu hal yang akan menyelesaikannya adalah berkelahi secara jantan. Mungkin hanya ketika salah satu dari mereka yang geger itu ada yang datang ke TKP dengan diusung tandu, perkelahian akan bisa dikompromikan atau bahkan bisa dihindari.
Perkelahian itu akan berakhir dengan kemenangan salah satu. Untuk siapa yang jadi pemenang, saya tidak terlalu yakin. Tapi saya mengunggulkan si orang pintar yang ilmunya dari sekolah dan kuliah sudah terpenuhi. Saya memilih si orang pintar yang bersekolah sebagai pemenang geger gedhen bukan tanpa alasan. Seperti halnya yang dipercayai masyarakat Wakatobi, atau Indonesia pada umumnya, blio yang serba tahu segala hal ini akan bisa mengerti kekurangan dan kelebihan lawan. Analisisnya akan kuat soal calon lawannya hingga tidak akan ada yang terlewat barang satu hal pun. Termasuk kemiskinan si nelayan yang akan jadi momok menakutkan. Sekali si pintar menyebutkan hal itu sebagai kenyataan, down sudah mental si nelayan.
Belum lagi bicara perihal kurangnya pendidikan si nelayan. Ia yang masuk ceruk terdalam itu seketika kicep karena terintimidasi omongan si pintar. Misal saja, “Kamu mau coba konfrontasi dengan saya?” Atau misal, “Sekolahmu cuma sampai SD, bisa apa kamu untuk negara ini?”
Seketika, rencana geger yang sudah matang tinggal eksekusi itu selesailah sudah tanpa perlu berlumur darah atau benjol sana sini. Kasihan!
BACA JUGA Rekomendasi Lokasi Geger Gedhen di Jogja selain Rumah Sakit Sardjito dan tulisan Taufik lainnya.