Sebagai insan yang menyandang gelar sarjana hukum, pasti tahu bagaimana dinamika untuk mendapatkan gelar S.H.. Mudah? Tentu tidak bung! Ilmu Hukum sebagai ilmu memang terbilang unik, mengapa demikian? Di kalangan intelektual maupun yuris sampai pada tataran mahasiswa Hukum yang masih belia, perdebatan ini selalu saja alot. Misuh sesama teman jadi hal biasa, makanya anak Hukum itu suka debat sana-sini karena memang dari awal kuliah debat sudah menjadi fardu ain.
Sudah mulai penasaran dengan keruwetan Ilmu Hukum? Mari kita lanjutkan. Kedudukan Ilmu Hukum dalam ilmu pengetahuan menjadi pemicu dalam perdebatan ini. Di satu sisi beberapa ahli mengatakan Ilmu Hukum adalah bagian dari rumpun Ilmu Sosial, namun di sisi lain Ilmu Hukum itu bagian dari rumpun Humaniora, waduh jangankan kalian yang baca tulisan ini, saya pun dibuat bingung dengan perdebatan ilmiah ini. Hadeeeh.
Walaupun demikian, dengan iming-iming masa depan kelak akan menjadi seorang akademisi maupun praktisi yang andal di bidang hukum, membuat saya tak patah arang. Naluri kritis membuat saya terpacu untuk terus mencari tahu, sebenarnya Ilmu Hukum ini bagian dari apa?
Pada akhirnya, saya menemukan salah satu referensi yang menyatakan bahwa Ilmu Hukum adalah bidang keilmuan (sui generis), yakni suatu ilmu yang memiliki ciri khas tersendiri, salah satunya memiliki karakter yang normatif. Walaupun hukum bersentuhan dengan sosial masyarakat, namun ciri khas dari karakter normatif tersebut membuatnya menjadi suatu keilmuan yang unik.
Sedari awal kuliah, Jurusan Ilmu Hukum memang sudah menantang. Hampir dibuat gila saya karena ini. Belum lagi kalau kita bicara sesuatu yang lebih substansial, seperti logika hukum, asas, norma, begitu pula dengan undang-undang yang berceceran di mana-mana, dan masih banyak lagi materi yang akan membuat kepalamu menjadi buyar.
Ketika bergelut dalam dunia hukum anda pasti akan melalui fase-fase kritis, dari menjadi mahasiswa, pendidikan advokat, magang di kantor hukum, sampai menjadi sosok yang ahli dibidang hukum itu sendiri.
Dari sekian banyak kerumitan ini, ada satu hal yang menggelitik kehidupan mahasiswa dan sarjana Hukum. Entah ini nyindir atau beneran, yang pasti di setiap fase hal ini akan terus menghantui. Yah! Pertanyaan maupun pernyataan yang sering kali terlontarkan di mulut orang awam, kalimat yang mematikan sekaligus berbau tendensi untuk menjatuhkan.
Baik, biar jelas saya berikan contohnya seperti, “Kalian kan hafal semua pasal?! Masa anak Hukum nggak hafal pasal, nggak hafal undang-undang, kan kalian belajar nya itu.” Woeee! kami bukan Artificial Intelligence, Bung, bahas hukum nggak melulu soal pasal, tapi ada kepastian di situ, ada kemanfaatan apalagi soal keadilan, jadi panjang nih kalau mau bahas.
Pernyataan yang membuat kami harus berpikir keras untuk merespons hal itu. Mirisnya seolah-olah mahasiswa dan sarjana hukum harus hafal semua isi undang-undang. Bayangkan saja negara ini punya ribuan undang-undang, belum lagi terdiri dari pasal-pasal, kemudian beranak pinak dengan peraturan pelaksananya. Tidak cukup sampai di situ, masih ada peraturan menteri, peraturan daerah, dan peraturan lainnya.
Kalian mengira sampai di situ saja penderitaan anak dan sarjana Hukum? Masih banyak lagi, yang kalau saya sebutkan semua, mungkin saja kalian akan berhenti membaca tulisan ini. Ibarat kata kalian sedang kuliah materi Hukum 6 sks.
Berangkat dari persepsi masyarakat yang saya ceritakan di atas, mari sebagai manusia yang berpikir, hentikan melihat dengan kacamata kuda. Luaskanlah pikiranmu, tertibkan cara pandangmu. Baik awam maupun sarjana Hukum, mari pahami sejatinya bagaimana menjadi insan hukum yang kaffah.
Perlu kalian ketahui bahwa, insan hukum bukanlah manusia dengan kemampuan menghafal yang kuat, bukan pula hardisk yang mampu menampung undang-undang dan seisinya. Otak kami tidak sekaliber itu kawan!
Idealnya insan hukum harusnya bukan hafal undang-undang maupun pasalnya, yang terpenting adalah hafal asas-asas hukum. Kalau hafal asas hukum, itu baru insan hukum yang hebat. Asas hukum itu adalah pondasi kita untuk berbicara lebih jauh tentang hukum, selain memperkuat argumentasi dalam berdebat, juga menjadi guardian dalam implementasi hukum ketika sudah jauh melenceng dari teori.
Saya bukannya mau bilang undang-undang dan pasal-pasalnya tidak penting. Tapi itu semua hanyalah bagian kecil dari hukum yang tidak perlu dihafal tapi perlu dipahami karena pada akhirnya akan tahu sendiri bunyi pasalnya kalau sudah terbiasa dibaca.
Mulai hari ini, hentikan bombardir kami dengan pertanyaan-pertanyaan nyeleneh lagi menyudutkan tadi. Kalian pasti paham betapa kompleksnya beban sarjana Hukum sebagai simbol penegak keadilan. Saya yakin kok, setiap bidang ilmu punya tantangan dan keunikannya tersendiri. Maka dari itu mulailah untuk bijak guna menyikapi bidang keilmuan orang lain.
Hakikatnya, tulisan ini adalah upaya yang saya lakukan untuk melakukan mitigasi terhadap persepsi liar yang berkembang. Tidak hanya untuk bidang hukum, yang pasti hal ini juga terjadi pada bidang ilmu lain, jadi berhenti untuk itu. Hargailah wilayah keilmuan orang lain, dengan tidak menghakimi melalui pertanyaan menyudutkan.
BACA JUGA Beginilah Risiko Jadi Mahasiswa Fakultas Hukum