Sungai di bawah kampung saya lumayan besar, airnya mengalir lurus ke sungai Elo Magelang, untuk selanjutnya sampai Bantul dan ketemu Nyai Roro Kidul. Di tempat itulah, saya yang masih kecil belajar memancing dan berenang. Melompat dari jembatan ke sungai tanpa baju, telanjang bulat kotar-kater. Tak beda jauh dengan anda, anak-anak kampung yang kini sudah dewasa.
Saat saya kecil dulu, masih ada yang suka buang hajat juga di situ. Pokoknya sering dapat kado kalau lagi renang. Kini sudah tak pernah ada lagi, anak kecil yang memancing dan berenang disana, begitu juga para pengebom yang kini sudah punya kakus di rumahnya. Tak jauh dari desa saya, alias desa sebelah, sudah ada kolam renang umum yang ciamik. Begitu pula kolam pemancingan, yang kini bejibun jumlahnya.
Para bocah di kampung saya, sudah tak ada yang suka memancing. Tapi, bocah-bocah tua penghuni kampung, masih melakukan hobi mancingnya. Tentu sudah tak seperti dulu, pergi memancing konvensional di sungai. Walau kadang masih saja ada yang mancing di sungai, biasanya lebih ke masalah kegabutan saja (dibaca bokek). Para bapak-bapak ini, suka mancing ke kolam ikan dengan sistem nebas. Iya, bapak-bapak itulah yang sering orang sebut sebagai pemancing galatama.
Nebas, adalah membeli semua ikan di dalam kolam, untuk kemudian di pancing bersama-sama. Galatama sendiri adalah jenis lomba, namun tak membeli ikan, mereka beli tiket masuk. Pemenang ditentukan sesuai kelasnya, ada yang menghitung berat, ada yang menghitung jumlah ikan, jenis ikan, dan lain-lain. Ikan yang digunakan juga bukan ikan cupang, apalagi teri. Ikan bawal yang hampir selalu dipilih. Ikan bergigi tajam dan punya bentuk mirip-mirip piranha. Yang biasanya dipilih, punya berat sekitar satu sampai lima kg.
Para bapak-bapak ini, sering mendapat cap negatif karena jadi pemancing galatama. Walau memang stigma negatif itu timbul karena kelakuan bapak-bapak ini sendiri, tapi mari kita sebut saja oknum karena tak semua seperti itu. Jadi, kita lanjut saja ke masalah utamanya.
Cap negatif yang paling sering nempel adalah, mereka dianggap orang-orang boros dan suka party yang nggak bener. Gimana nggak dianggap boros, sekali mancing, mereka bisa habis duit 500 ribu sampai satu juta. Memang biaya memancing tak sampai segitu, tapi ada uang rokok, jajan (makanan dan minuman maksud saya), tip, sampai ke tambah shift atau nambah ikan.
Belum lagi alat mancing mereka, harganya jutaan, lebih mahal dari motor Bapak saya. Ya masak mau pakai alat yang biasa, wong ikan bawal yang ditarik itu bisa sampai lima kg. Tarikan ikan bawal itu nggak main-main, bisa dibilang tarikannya sekuat tarikan RX King yang digas pol. Memang, kebanyakan yang suka mancing adalah orang berduit. Jadi, selagi bukan duit kita, sudah jangan terlalu ngurusin. Harus dilihat manfaatnya, bukan duitnya.
Harus kita akui hidup pemancing galatama lumayan boros, tapi selagi kompor rumah aman, kita tak perlu menuduh mereka macam-macam. Soal party, memang ada saja oknum yang bawa anggur merah di pemancingan. Ada juga yang sambil bawa cewe yang begitu, pokoknya sambil mancing, minum air. Memang selalu ada, tapi sekali lagi, tak semua. Seperti halnya karaoke, asal tak pakai miras dan ngajak perempuan begituan, ya nggak apa-apa.
Para pemancing galatama ini juga sering dianggap kurang memperhatikan keluarga. Itu semua terjadi karena banyak video settingan dan realitas, yang berisi istri yang tengah memarahi suaminya karena mancing terus. Namun, bukan berarti mereka semua begitu. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja keras, sehingga baru bisa memancing seminggu sekali. Banyak juga yang sembari mengajak keluarganya, sekalian liburan. Yang hampir tiap hari mancing ini yang harus diwaspadai, kok bisa mancing tiap hari? Sudahlah, jangan kepoin hidup orang.
Para bapak-bapak pemancing galatama ini, serupa ibu-ibu sinetron. Sama-sama lelah menjalani aktivitas sehari-hari, sehingga perlu hiburan. Me time itu memang perlu, berlaku untuk semua makhluk hidup, tak terkecuali para pria tangguh ini. Jangan anggap, karena wajah garang dan kulit terbakar matahari, mereka tak bisa stress. Justru karena pria lebih sering menyembunyikan perasaan, biasanya justru lebih rawan stress dan membutuhkan me time.
Belum lagi istilah “boys dont cry”, itu menyiksa lho, pria jadi selalu menyembunyikan kesedihannya. Sehingga memancing, harusnya tidak dipermasalahkan lagi, anggaplah sebagai kebutuhan rohani pria-pria ini, pemuas dahaga jiwa mereka. Apalagi semua stigma negatif ini terjadi hanya karena oknum-oknum yang membuat citra pemancing jadi buruk di mata umum.
Jadi, saya berusaha meluruskan, bahwa mancing itu bukan hal negatif, asal sesuai porsinya alias tidak kebablasan. Tidak semua tempat pemancingan itu buruk dan sering digunakan untuk maksiat, meski ada saja yang begitu, itu cuma oknum.
Harapan saya kedepan, para pemancing galatama ini juga harus bisa menjaga citra baik olahraga ini. Biar nanti kalau saya sudah jadi om-om, bisa ikut galatama tanpa takut dicap yang aneh-aneh. Intinya, saling menjaga agar kaum pria pecandu galatama bisa lebih dihormati, pokoke strike, bojo muring tinggal mincing!
BACA JUGA Acara Mancing di TV Sungguh Bikin Gusar Nelayan di Kampung Saya dan tulisan Bayu Kharisma Putra lainnya.