Perkara pengin romantis-romantisan sama pacar pas lagi dalam perjalanan bisa gagal hanya karena nggak bisa baca Google Maps, Lur~
Perempuan dan teknologi itu menurut saya pribadi, biasa saja. Sama seperti laki-laki dengan peranti penggerak kebanyakan, alias semua itu sama saja. Walau kadang ada guyonan, jangan biarkan perempuan kirim lokasi via WhatsApp. Biasanya lokasinya bakal mblayang ke mana-mana.
Nah, untuk kasus yang satu ini saya agak percaya dan mengakui keabsahannya karena ibu saya pernah kirim lokasi yang jaraknya berbeda 5 kilometer jauhnya dari titik di mana blio berada. Masyaallah.
Segaptek-gapteknya saya, sebagai homo sapiens, babagan teknologi bukan masalah. Apalagi hanya kirim lokasi. Tinggal cari, tunggu sebentar, titik lokasi sudah benar, baru kirim. Bukan suatu hal yang problematik-problematik amat. Ibu saya mungkin kurang teliti saja. Amat sepele.
Nah, dari sekian banyak narasi menggelikan antara manusia dan teknologi, kok ya bisa-bisanya ada jenis manusia yang nggak bisa baca Google Maps. Ini lho, sebuah zaman yang telah lewat jauh dari masa berburu dan meramu. Di sebuah masa di mana kjokkenmoddinger jadi bahan penelitian yang menarik, kok ya bisa-bisanya ada jenis manusia yang amat problematik dengan Google Maps?
Betapa nahasnya, pacar saya sendiri adalah contoh salah satu manusia yang berkelindan dengan Google Maps. Entah punya sentimen apa, membaca peta adalah pilihan terburuk baginya. Selain nggak paham lor, kidul, wetan, dan kulon, bisa-bisanya blio juga nggak bisa mengartikan dan menerjemahkan peta di dalam Google Maps.
Kalau konteksnya salah membaca peta untuk urusan yang nggak penting sih, ya, bisalah dikatakan menggemaskan. Misalnya nggak tahu tempat A atau B, itu masih wajar. Tapi, ya nek kesalahan membaca peta ini bikin kami jalan berkilo-kilo jauhnya sih ya bukan menggemaskan, tapi mualah nggawe kuesel sikil, Buos. Begini lho ceritanya….
Minggu ini kami memutuskan untuk pergi ke Solo karena dia sedang ada urusan. Urusannya apa, itu bukan perkara penting. Yang terpenting adalah kami menggunakan Prameks paling pagi dan pacar saya ini nggak tahu lokasi tujuan yang akan ia sambangi di Solo. Jangankan Anda, lha wong saya sendiri juga bingung dengan konsep hidupnya bagaimana.
Sampai di Solo, kami sengaja turun di Stasiun Purwosari, stasiun kedua terakhir dalam rute Prameks dari arah Jogja. Turun di sana, ceritanya, sih, kami mau naik Batik Solo Trans guna menuju Solo Balapan. Yah, namanya juga turis lokal.
Tampak lancar, kan, rencana perjalanan kami? Namun, hal bajingan dimulai kala blio dengan niat tekun mengambil alih navigasi perjalanan kami. Di kota orang lho ini. Kotanya Mas Gibran anaknya Pak Jokowi.
“Cari halte Batik Solo Trans paling dekat, Mas. Halah gampang,” katanya sambil ngubek-ngubek ponsel saya, membuka Google Maps. Ia tak mau batre ponselnya berkurang. Dengan serius ia mengarahkan saya ke lokasi halte terdekat. Di luar Purwosari, kok ya rasanya metropolis sekali. Langsung berhadapan dengan jembatan layang yang gagah dan deru mesin menyapa kami.
Kata pacar saya, setelah keluar dari Stasiun Purwosari, belok kiri. Saya hanya manggut-manggut mengiyakan. Wes, bebas pokoknya dia berekspresi. Setelah keluar dari gerbang stasiun, kok ya bisa-bisanya ini bocah mlipir ke kanan. Saya curiganya nih ya, konsep kanan dan kiri saja kayaknya belum khatam.
“Kok nganan? Katanya ngiri?” tanya saya. Wajahnya yang kadung serius, membuat saya nggak tega mengganggu lebih jauh. Ya sudah, bebas mau ngarahin ke mana.
Kalau Dilan di posisi saya, mungkin sudah gatel pengin ngegombal. Mungkin dengan kata-kata klasik macam ini, “Kamu kalau lagi bingung jadi kayak para pejabat di Senayan sana. Pura-pura mikir padahal nihil,” mungkin begitu.
Coba saja Mas Dilan sekali-kali gombalin pacar saya, jangan Mbak Milea terus yang hobi mesam-mesem. Saya jamin, sejam ngegombalin juga bakalan mumet karena pacar saya ini terus mengarahkan lokasi yang makin menjauh dari titik pencarian dari halte ke halte.
“Aku yakin ke arah sini, deh,” katanya sembari nggeret saya ke seberang jembatan layang. Saya yang nggak hapal-hapal amat daerah Laweyan, tapi ya saya bisa tahu bahwa kami melangkah sudah amat ngualaaaaaang!
“Tapi kan di Google Maps itu haltenya hanya di depan stasiun, Dek,” kata saya mencoba sabar, padahal hati sudah kemlupuk pengin muntab atas nama bajingaaaan.
“Nggak, Mas. Di seberang jalan, kok,” ia masih kekeuh dengan pendapatnya. Ia memaksa nyebrang jalan. Saya turuti.
Wes to, saya turuti daripada ribet. Satu kilo, dua kilo, tiga kilo, kami malah menelusuri jalan-jalan sempit dan menjauh dari Purwosari. Welha, pitikih, kami malah keluar dari arteri utama Jalan Slamet Riyadi menuju Parang Laris kemudian ke Parang Kusumo. Bahkan para kuli bangunan kebingungan ada manusia lewat teritori mereka yang sedang sepi-sepinya.
Sampai di Jalan Perintis Kemerdekaan akhirnya ia menyerah, saya muntab. Ia malah tertawa ngakak. Sedang keringat mengucur deras dari kening, punggung, bahkan sampai pantat saya. Ponsel saya panas, kami kesasar. Misuh adalah hobi saya dan tugasnya hanya menerima dengan tawa.
“Ada halte paling dekat dari sini, Mas. Namanya Halte Kasih Ibu!” katanya dengan serius dan masih bersemangat.
Ya memang benar sih ada halte di depan RS Kasih Ibu. Tapi kok ya selo banget kami melewati beberapa halte yang jelas-jelas nggak sejauh Halte Kasih Ibu.
Ia jadi serius lagi, menimang-nimang jalan terbaik dari Jalan Perintis Kemerdekaan menuju RS Kasih Ibu yang jaraknya hanya satu plintengan jaran. Sedangkan saya hanya bisa mbatin dan ngelus dada. Wes to, kasih Ibu sepanjang masa, kasih pacar itu hanya sepanjang Jalan Perintis Kemerdekaan!
BACA JUGA Google Maps Ternyata Juga Hobi Ngeprank dan tulisan Gusti Aditya lainnya.