Sering kali, saya mendapatkan broadcast dari teman-teman yang butuh kemurahan hati untuk menekan tombol like comment pada konten tugas yang telah mereka buat. Biasanya, konten tersebut dibuat dan di-share di Instagram dan akun YouTube pribadi. Katanya, demi tugas dan agar dapat nilai bagus.
Saya agak gimana ya, kok bisa-bisanya hal berupa like dan comment itu jadi dasar untuk menilai tugas. Saya mengira, kalau pemberi tugas ini, emang belum tahu apa-apa mengenai media sosial sebagai tempat kawula muda menghabiskan waktu—walaupun saya juga nggak ngerti-ngerti amat. Tapi, entah kenapa saya kepengin banget, tulisan ini dibaca oleh pihak-pihak yang sering memberi tugas model beginian dan bersepakat untuk nggak lagi menilai dari jumlah like beserta comment di konten tugas. Begini ya.
Pertama, Pak dan Bu, media sosial itu ibarat lautan. Air, gelombang, batu karang, dan mutiara-nya itu konten-konten yang bertebaran. Nah, konten yang dibikin oleh murid ataupun mahasiswa dari Bapak dan Ibu, itu ibarat salah satu komponen dari lautan, atau juga ibarat sepercik air yang menetes dari atas dan ikut nyemplung dalam lautan.
Nah, sebenarnya di sini susahnya. Tugas yang diberikan dan telah di-share, itu nggak bakal mudah di temukan di luasnya media sosial. Meskipun sudah berusaha di-share dan minta tolong ke teman-temannya, ya tetap susah. Belum tentu juga teman yang menerima itu, langsung like dan memberi komentar dalam tugas yang dibuat tersebut. Mungkin kebanyakan, broadcast yang disebar itu nggak bakal dilihat dan tidak diacuhkan.
Kedua, tugas modelan begini hanya menguntungkan pihak tertentu. Ini akan sangat menguntungkan pihak yang sejak lahir memang dapat karunia lebih berupa tampang rupawan alias good looking. Biasanya, pihak yang begini—karena tampangnya—akan memiliki pengikut lebih banyak dibanding yang memiliki tampang biasa-biasa saja.
Nah, sebatas pengetahuan saya, karya apa pun yang dibagikan oleh orang yang good looking dan pengikutnya memang banyak, akan menuai banyak like dan komentar positif. Walaupun misalnya nih, katakanlah, karyanya biasa-biasa aja. Bandingkan dengan yang dari awal memang pengikutnya sedikit. Masih syukur kalau ada yang like, apalagi sampai rela memberi komentar. Itu sudah istimewa. Ini bakal terjadi, walaupun karyanya dikerjakan dengan sangat baik dan dengan kualitas tinggi. Tampang dan pengikut, itu sangat berpengaruh. Kualitas karya, sepertinya tidak terlalu ngaruh.
Ketiga, untuk dapat like comment secara alami, bukan hal mudah. Sudah tahu sendiri, kalau konten yang dibikin itu nggak bakal mudah dilihat oleh orang banyak. Sebagai contoh, di YouTube. Untuk menggaet ratusan atau ribuan viewer bukan perkara mudah. Harus ada proses dan butuh banyak waktu menyiasati lautan algoritma yang rumit. Sangat jarang ada orang yang baru pertama kali share video di YouTube, langsung dapat banyak views. Apalagi untuk like comment subscribe, itu susah.
Kalau saya lihat-lihat, nggak ada tuh YouTuber yang sekarang udah “jadi”, bikin konten hanya sekali. Mereka sering bikin konten berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun yang lalu. Apalagi nih, konten tugasnya masih harus bersaing dengan konten yang sering trending dan dengan orang-orang yang namanya sudah besar lebih dulu. Ya susah walaupun sekadar untuk dapat view. Apalagi judul yang ditetapkan, “Tugas Praktik Jual-Beli dalam Toko Kelontong, ‘nama mahasiswa, nim, nama universitas’”. Nggak menarik blas.
Mungkin bisa dapat views, like, dan comment yang buanyak. Tapi, harus beli. Dan, kalau beli ya bakal ada yang lebih diuntungkan lagi, yakni yang berduit. Kalau yang nggak punya? Masa iya udah susah bikin tugas, udah share ke teman-temannya, duit nggak banyak, follower dikit, tampang pas-pasan, masih mau diberi nilai jelek? Apa bener yang gitu itu?
Berlaku juga kalau di Instagram dan media sosial lainnya. Agar kontennya bisa dilihat dan menuai banyak like secara cepat, bisa beli atau bisa juga pakai ads. Nah, untuk pakai ads ini, masih harus keluar biaya lagi. Dan, masih mending kalau yang liatin iklannya tertarik, kalau nggak?
Dari sini, saya izin mengatakan, kalau tugas model beginian mending dihapus dan jangan digunakan lagi. Alasannya ya seperti di atas tadi. Atau kalaupun memang maksa memberi tugas yang harus diunggah ke medsos, ya njenengan harus menilai dari kualitas tugas yang dikerjakan. Misalnya nih, tugas video. Nah, njenengan nilai itu dari konsepnya, “akting” mahasiswa yang di dalam videonya, pengambilan gambarnya, dst. dst.. Itu baru bener. Bukan dari like, comment, dan fitur atensi lain di medsos.
Kalau merasa kurang kompeten untuk menilai, tinggal sewa videografer profesional. Sekalian biar kayak ajang pencarian bakat. Sediakan juri dan segala kelengkapannya. Ini sih kalau memang mau memberi nilai berdasarkan konten yang dibuat. Harusnya sekalian kayak gitu, baru cocok untuk jadi dasar penilaian.
BACA JUGA Wahai Bapak Ibu Dosen, Kenapa Sering Sekali Mengganti Jam Kuliah Online Sih? dan tulisan Firdaus Al Faqi lainnya.