Ketika musik hardcore mulai melemah dalam skena indie Amerika, muncul Fugazi yang dengan cepat mengambil alih senyum lebar skena ini. Dengan memadukan distorsi gitar dari grunge, drum yang cepat layaknya hardcore, dan juga vokal yang penuh dengan teriakan namun bersahutan dengan clean-vokal yang mengembangkan suasana, hadirlah post-hardcore. Ia dikatakan sebagai pencerahan hardcore dari kacamata mainstream.
Dari segi kepenulisan lirik, terdapat perbedaan yang lebar dari post-hardcore ketika pertama kali muncul dengan “era emas” ketika menginjak medio 2010. Yang paling anyar, post-hardcore kadang timbul tenggelam dengan rumpangnya istilah emo dalam kacamata musikalitas. Post-hardcore digambarkan dengan lirik yang puitis, memikat, dan mudah dirasakan oleh para remaja pada eranya masing-masing.
Dan kini, ketika post-hardcore mulai meredup dan mulai pudar—alih-alih menyebutnya dengan mati dan hilang—saya ingin mengambil kembali beberapa memori indah mengenai musik ini. Terlebih, lagu mereka yang bertemakan cinta, tak kalah sendu dari lagu-lagu pop yang mengudara dengan hebat di langit Amerika saat itu.
Walau lagu romantis dan kesannya bucin setengah mati, mereka tak akan lupa membawa pakem-pakem post-harcore seperti teriakan, distori tebal, dan ketukan drum yang cepat. Ini membuat bingung, niatnya mau nge-bucin atau mau marah-marah.
#1 I See Stars, “Wonderland”
Lagu ini mengisahkan tentang seorang pria atau wanita yang rela melakukan apa saja demi kebahagiaan pasangannya. Namun, lambat laun, ia sadar bahwa cara ini adalah kesalahan fatal. Dibuktikan dengan bucinnya penggalan lagu ini ini, “You ask why I’m so blue. I’ve been holding my breath for you”. Dan dituntaskan dengan growl dari Zach Johnson, “SUFFOCATION IS NOT LOVE!”
#2 A Day to Remember, “If It Means a Lot to You”
Lagu ini sangat cocok untuk kawula muda yang sedang menjalankan hubungan jarak jauh. Lagu ini memang pengalaman Jeremy McKinnon, sang vokalis, yang berjarak dengan pacarnya karena kesibukan tour dari A Day to Remember. “Til everyone is singing la, la la la, la la la” maknanya menjadi amat dalam ketika kesibukan (seorang vokalis menghibur penggemarnya), menentukan kebahagiaan sepasang kekasih.
#3 Sleeping With Sirens, “All My Heart”
Clean-vocal dari Kellin Quinn memang menunjang untuk membawakan lagu-lagu romantis. Apalagi lagu yang satu ini. Sleeping With Sirens mendedikasikan untuk seluruh cinta dengan gejolak masa muda. Kellin menganggap bahwa cinta, makin lama, makin kehilangan sumber dayanya. Maka dari itu, lagu ini hadir sebagai penambah bara, agar cinta para penggemarnya tetap terjaga seperti saat mereka muda.
#4 Sleeping With Sirens, “If I’m James Dean, Then You’re Audrey Hepburn”
“They say that love is forever, your forever is all that I need. Please stay as long as you need,” begitu yang Kellin Quinn teriakan. Lagu bucin yang menyenangkan dan kata beberapa reviewer, tak menjatuhkan harkat maskulinitas. Halah, maskulinitas, kalau mau menyatakan perasaan dan kebutuhan kepada pasangan ya nyatakan saja. Nggak ada yang salah.
#5 Pierce The Veil, “Kissing in Cars”
Lagu ini seakan diperbolehkan menjadi official soundtrack bagi para pelaku cinta monyet. Sebuah cinta yang terjadi manakala usia masih belia, tapi tetap saja yang namanya cinta tidak bisa diganggu gugat. Suara dari Vic akan menjelaskan segala problematika dari putus dan nyambung, menyambut cinta yang lebih matang. Apalagi bagian ini, “second chances won’t leave you alone.”
#6 Pierce The Veil dan Lindsey Stamey, “Hold On Til May”
Lagu ini menjadi salah satu rujukan terbaik dalam album “Collide With The Sky”, tapi membawa efek gelap. Lagu ini menceritakan mengenai pasangan yang membawa cerita masing-masing dalam kehidupannya. Dan cerita tersebut, terkadang tidak selalu baik. Di sini, dengan sebuah nada romantis yang gelap, Vic mencoba menjadi pendengar yang baik alih-alih memerintah layaknya guru kehidupan.
#7 Memphis May Fire dan Kellin Quinn, “Miles Away”
Lagu ini juga untuk kalian yang sedang LDR. Menyediakan dua versi, full band dan akustik, rasanya Kellin Quinn dan Matty Mullins tak ingin menjauhkan dari kesan romantis dan kerinduan. Apalagi pada bagian awal, “I pack my bags and say goodbye to my wife,” duh, ambyar, Dek!
#8 Chiodos, “Lindsay Quit Lollygagging”
Iya, yang nyanyi Chiodos, band post-hardcore yang terkenal dengan scream dan growl-nya. Dalam lagu ini, tak ada teriakan, tak ada distorsi gitar, apalagi hentakan drum. Namun, suara melengking tinggi khas Craig Owen tak menghilangkan ciri khas dari band yang bubar pada 2016 ini.
#9 Alesana, “As You Wish”
Lagu ini merupakan adaptasi dari film The Princess Bride kala Wesley berbisik “as you wish,” kepada Buttercup. Dan lagu ini menjadi pengiring perjalanan cinta mereka. Saya suka bagian ini dan rasanya tak akan pudar sampai kapan pun juga, “I’ve slain the most unholy things, endured such terrific pain. Finally I’ll feel your caress again.”
Itulah beberapa lagu dari band-band yang mengusung “musik keras” dalam tiap amunisi lagu-lagunya. Dan ternyata, ketika mereka disuruh untuk romantis, ternyata hasilnya brengsek juga!
BACA JUGA 6 Lagu yang, Tolong Sekali, Jangan Pernah Dibuat Versi Koplonya dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.