Becak bukan hanya milik orang Indonesia. Di Tokyo pun ada becak, namanya jinrikisha. Ia semacam kendaraan yang mengantar penumpang dan ditarik menggunakan tenaga manusia. Ya, cukup mirip dengan becak kita, ya? Baik jinrikisha Tokyo maupun becak Malioboro, dua-duanya digunakan untuk memanjakan wisatawan yang berkunjung. Namun, ada beberapa perbedaan di antara keduanya. Apa saja perbedaan becak Jepang dan becak Indonesia? Berikut ulasannya.
#1 Posisi penumpang
Kalau becak Indonesia didorong alias penumpang di depan, sedangkan becak Jepang penumpang di belakang dan ditarik oleh “tukang becaknya”. Bedanya lagi, penarik becak mengayuh pedal untuk mendorong becak, kalau penarik jinrikisha berlari sambil menarik membawa “becak” tersebut. Bisa terbayang, kan? Kira-kira, enakan narik atau dorong, ya?
#2 Tarif biaya
Tarif biaya naik jinrikisha memang mahal jika dibanding naik becak. Seperti yang diketahui, biaya untuk membayar tenaga manusia di Jepang itu terhitung mahal kalau dibandingkan dengan tenaga robot/ mesin. Di outlet Uniqlo maupun GU Jepang sekarang, kasir saja menggunakan mesin, lho.
Sebagai contoh, tarif naik jinrikisha untuk mengelilingi Kawagoe Old Town selama 10 menit, mulai dari 2.000 Yen (Rp250 ribuan) untuk 1 orang dan 3.000 Yen (Rp375 ribuan) untuk 2 orang. Sementara di daerah Asakusa, tarif untuk 10 menit sekitar 3.000 yen untuk 1 orang dan 4.000 yen untuk 2 orang. Untuk perjalanan selama 30 menit tarifnya 9.000 yen untuk 2 orang.
Kalau naik becak untuk keliling Malioboro sekali jalan, cukup membayar sekitar Rp20 ribu. Itu pun kadang ditawar dan tukang becaknya mau dibayar kurang dari itu. Tarif biaya ini tergantung tujuannya juga, sih, semakin lama dan jauh tempat tujuannya, tentu saja semakin mahal.
#3 Servisnya
Biasanya saat mengantar penumpang, tukang becak Malioboro jarang yang memberikan info tentang Malioboro dan Jogja kalau nggak ditanya. Sementara kalau penarik jinrikisha, biasanya mereka memberikan info lengkap tentang tempat wisata yang mereka lalui. Saat menaikkan dan menurunkan penumpang, penarik akan meletakkan papan kayu untuk memudahkan penumpang naik-turun. Penumpang juga diberi semacam selimut untuk menutupi kaki agar terlihat estetik. Katanya, penumpang juga diperlakukan seperti seorang raja dan ratu. Maklum, menurut sejarahnya, pada zaman Meiji dan Taisho, jinrikisha ini dulu digunakan untuk mengantar para bangsawan, lho. Berasa mewah ya jadinya.
#4 Tempat beroperasi
Sebenarnya jinrikisha hanya menarik penumpang di tempat wisata atau event seperti pesta pernikahan. Biasanya mereka nongkrong menunggu penumpang di titik-titik tertentu sambil menawarkan jasa naik jinrikisha ini.
Kalau becak, selain di tempat wisata, ia juga digunakan untuk mengangkut penumpang umum lainnya yang ingin menggunakan jasanya. Semisal, pedagang pasar yang ingin diantar dari pasar sampai halte bus terdekat. Akan tetapi, kalau di Jogja memang pusatnya di sekitaran Malioboro sih, ya.
#5 Sertifikasi penariknya
Sebenarnya untuk menjadi penarik jinrikisha (atau shafu) tidak membutuhkan sertifikasi apa pun, sama seperti tukang becak. Yang paling penting adalah bisa menaati manner dan peraturan lalu lintas.
Akan tetapi, untuk shafu, memang ada kriteria khusus yang harus dipenuhi. Jinrikisha sendiri sebenarnya dikelola oleh perusahaan. Sebagai contoh ada Tokyo Rickshaw Co, Ltd yang setidaknya memiliki sekitar 100 orang penarik jinrikisha, baik yang sudah karyawan tetap maupun pekerja paruh waktu. Syaratnya laki-laki maupun perempuan, berusia 20-28 tahun, bisa bekerja minimal 3 kali seminggu dengan 6 jam per hari, dll. Selain bertenaga, diharapkan mereka juga memiliki pengetahuan tentang tempat wisata dan punya kepribadian yang ramah. Dan kalau mereka bisa berbahasa asing akan punya nilai lebih.
#6 Penghasilan penarik becak
Secara tarif naik penumpangnya saja berbeda, tentu penghasilannya berbeda, ya. Kalau becak Malioboro milik pribadi, sih, mereka nggak kena potongan dari pemilik becak. Namun, penghasilannya tetap tergantung dari jumlah penumpangnya.
Sedangkan jinrikisha, banyak sedikitnya penumpang nggak mempengaruhi penghasilan yang didapat penariknya karena mereka terhitung sebagai pekerja. Sebagai gambaran, upah penarik jinrikisha per jam sekitar 1.000-1.300 yen (atau lebih tergantung event-nya). Kalau per hari bekerja selama 6 jam berarti 6.000 yen dan sebulan kalau masuk terus sekitar 216.000 yen (Rp27 juta). Tentu saja itu hitungan kasar. Kalau dirata-rata mungkin sekitar Rp19 juta (untuk usia 30-34 tahun) dan semakin naik hingga Rp24 jutaan (untuk usia 45-49 tahun). Itu pun belum termasuk bonus dari perusahaan.
Lantaran besarnya penghasilan penarik becak ini, nggak sedikit anak muda Jepang yang nggak malu untuk bekerja paruh waktu menjadi shafu. Banyak juga, kok, shafu ini yang perempuan, meski jumlahnya bisa dihitung jari.
#7 Penarik jinrikisha itu ikemen
Banyak yang bilang kalau penarik jinrikisha di Jepang itu ikemen (keren). Parasnya tampan dan penampilannya keren. Mereka memakai celana pendek untuk memudahkan gerak mereka selama lari menarik penumpang. Mereka memakai kaos putih yang memperlihatkan otot tangan mereka. Tak lupa mereka memakai caping. Senyumnya lebar, terutama saat “merayu” wisatawan agar mau naik jinrikisha mereka. Pokoknya, beda jauh dengan image penarik jinrikisha Jepang zaman dulu yang wajahnya memelas atau penarik becak kita yang kebanyakan sudah agak sepuh.
Seperti itulah kira-kira perbedaan jinrikisha Tokyo dan becak Malioboro. Meski keduanya sama-sama hanya bisa membawa penumpang maksimal dua orang dan memakai caping saat mengantar penumpang, ternyata banyak juga perbedaannya. Semoga kesejahteraan tukang becak di Indonesia bisa menyusul penarik jinrikisha, ya.
Penulis: Primasari N Dewi
Editor: Audian Laili