7 Hal Normal di Jakarta tapi Dianggap Tak Biasa di Daerah Lain

7 Hal Normal di Jakarta tapi Dianggap Aneh di Daerah Lain Terminal Mojok

7 Hal Normal di Jakarta tapi Dianggap Aneh di Daerah Lain (Unsplash.com)

Jakarta adalah kota yang sangat “nano-nano”, terutama bagi mereka yang berstatus sebagai pendatang. Banyak hal baru yang akan kita temukan ketika memutuskan untuk menjadi salah satu bagian dari Kota Metropolitan yang satu ini.

Kompleksitas yang ditawarkan oleh Jakarta membuat banyak pendatang kadang begitu gagap dan heran ketika melihat sebuah fenomena atau perilaku di ibu kota yang apabila dilakukan di daerah lainnya terasa tak lazim dan aneh. Padahal itu sebuah hal normal yang sudah menjadi konsensus dari lingkungan Kota Jakarta.

Sebagai insan yang juga berstatus sebagai pendatang, saya melihat setidaknya ada 7 hal normal di Jakarta yang justru dianggap aneh apabila terjadi di daerah lainnya.

#1 Waktu berkendara yang lama dengan jarak tempuh yang sebenarnya dekat

Hal pertama yang membuat seseorang pendatang harus menormalisasi suatu keanehan di Jakarta adalah terkait dengan waktu berkendara yang relatif lama meski sebenarnya jarak tempuhnya sangat dekat.

Jarak 10-15 km bisa ditempuh sekitar 25-35 menit di daerah lain, namun di Jakarta berbeda. Di sini, kita butuh waktu minimal 1 jam untuk menempuh jarak serupa. Faktornya bukan cuma kemacetan, ada juga karena rutenya yang terlalu banyak berbelok-belok dan rambu lalu lintas yang yang menghentikan laju kendaraan rata-rata 5 menit sekali.

Perjalanan akan makin lama ketika kita nggak menghafal jalanan dan berkendara sambil nyawang Google Maps di smartphone. Makin parah ketika lokasi tujuan kita kebablasan dan mengharuskan kita putar balik. Rute untuk memutar saja bisa berjarak 2-3 km. Dan itu tentu hal menyebalkan untuk orang yang baru tinggal di Jakarta.

Oleh karena itu, saat di Jakarta, sangat nggak normal ketika lokasi tujuan kita berjarak 15 km, tapi hanya diestimasi sekitar 30 menit. Apalagi kalau perjalanan kita dilakukan saat pagi atau sore hari di mana volume kendaraan bermotor mencapai kurva tertinggi. Meski sebenarnya estimasi waktu segitu normal-normal saja sih di daerah lain.

#2 Warung bubur ayam buka malam hari

Saya sempat heran ketika pada suatu malam diajak oleh seorang teman untuk nongkrong tapi bukan di angkringan atau kafe, melainkan di warung bubur ayam. Padahal kalau di daerah lain, bubur ayam itu ya dijajakan ketika pagi hari saja. Siang hingga malam eksistensi bubur ayam akan kalah sama makanan lainnya seperti nasi goreng, ayam penyet, sate Madura, atau sate Padang.

Di Jakarta, bubur ayam punya dua versi, yaitu bubur versi pagi dan versi malam. Bubur versi malam kebanyakan dijual di warung-warung kecil dengan konsep layaknya warung burjo di Semarang atau Jogja. Warungnya menjual bubur sekaligus sebagai tempat nongkrong.

#3 Ramai dengan starling (Starbucks keliling)

Starling ini sangat banyak sekali kita jumpai keberadaannya di pusat-pusat keramaian Kota Jakarta. Dalam satu lokasi, biasanya ada lebih dari 5 starling yang ngetem dengan membawa dagangan kopi yang ditaruh di atas sepeda. Starling menjadi salah satu profesi yang menurut saya inovatif karena menghadirkan alternatif kopi murah yang bisa dinikmati sambil memandang sudut-sudut kota Jakarta.

Para pedagang starling ini menjadi pilihan bagi kalangan pendatang kelas menengah bawah seperti saya yang ingin sekadar mencicipi kopi sambil nyawang raut wajah orang-orang Jakarta yang tampak jenuh dan penuh akan beban hidup.

Meski di daerah lain mungkin juga ada para penjaja kopi keliling, tapi konsepnya nggak seunik starling Jakarta. Starling menjual kopinya dengan sepeda dan menggunakan keranjang depan sepeda sebagai wadah termos dan kopi. Kemudian di bagian belakang sepeda menggantung satu hingga dua kursi mini untuk diberikan kepada para pembeli yang membutuhkan tempat duduk.

#4 Konter HP dengan konsep PKL

PKL (Pedagang Kaki Lima) biasanya identik dengan para penjual gorengan dan jajanan pasar. Tapi di Jakarta, label PKL juga melekat pada para penjaja HP yang biasanya berbaris-baris di sejumlah kawasan padat di Jakarta.

Kalau di daerah lain, konter HP akan berada di beberapa ruko-ruko kecil di sebuah pasar induk atau di pusat-pusat perbelanjaan modern dengan SPG-nya yang membuat hati jadi plong, hal ini berbeda dengan di Jakarta. Konter HP ala PKL di Jakarta terkesan membuat diri mereka lebih inklusif dengan hadir langsung di terowongan-terowongan kota, pinggiran jalan, atau di area terminal dengan model PKL-nya.

Sebenarnya konsep serupa juga ada di Semarang, namun fenomena PKL ini hanya ada di daerah banjir kanal dan nggak setiap hari ada. Ini berbeda dengan konter HP PKL di Jakarta yang berdampingan dengan penjual cilok, gorengan, atau bakso.

#5 Pengamen yang ngasih kembalian

Hal normal di Jakarta namun bakal terasa aneh di daerah lain adalah fenomena pengamen ngasih uang kembalian. Ini pernah terjadi pada saya sendiri. Suatu malam, ketika sedang menunggu seorang teman di kawasan pinggiran Masjid Istiqlal, ada seorang pengamen mendatangi saya dan mulai bernyanyi.

“Maaf, Mas, nggak ada uang kecil,” ujar saya menolak dengan nada halus.

“Oh, uang abangnya berapa? Saya ada kembalian kalau mau, Bang,” balas si pengamen dengan mantap.

Dengan wajah heran saya mengeluarkan uang Rp10 ribu dari kantong dan dikembalikan Rp8 ribu oleh si pengamen. Ketika menceritakan ke teman saya yang asli Jakarta, dia menganggap hal tersebut normal dan banyak yang begitu. Teman saya lalu menyarankan apabila nggak mau memberi kepada si pengamen, lebih baik tolak dari awal.

#6 Bayar gorengan pake QRIS

Konsep cashless benar-benar sudah mulai diamini oleh seluruh kalangan di Jakarta, terutama para pedagang gorengan. Setidaknya sudah 3 kali saya mendapati penjual gorengan yang sudah menyediakan fitur pembayaran melalui QRIS. Satu di daerah Masjid Sunda Kelapa, kemudian di daerah Pasar minggu, dan di daerah Tebet.

Kehadiran barcode QRIS di etalase atau gerobak para penjual gorengan ini sangat normal mengingat orang Jakarta memang jarang membawa uang cash. Tentu saja pedagang gorengan dengan metode pembayaran QRIS ini belum pernah saya temui di daerah lain terutama di Jawa Tengah.

#7 Harga sewa kos per bulan sama dengan cicilan KPR

Khusus poin terakhir ini masih saya pandang sebagai sesuatu hal normal di Jakarta, namun aneh di daerah lain. Banyak kosan dengan harga sewa berkisar 4 hingga 6 juta rupiah per bulan di Jakarta yang kalau kita perhatikan sama dengan biaya angsuran KPR.

Memang sih kos dengan harga sewa segitu punya fasilitas lengkap, tapi kalau dipikir-pikir kenapa nggak sekalian cicil rumah saja, ya?

Itulah beberapa hal normal di Jakarta yang mungkin akan dipandang aneh di daerah lain. Kalaupun bisa terjadi, mungkin butuh proses yang cukup panjang untuk mengubah persepsi dan pola pikir masyarakat agar hal yang dianggap aneh itu bisa jadi sebuah kenormalan.

Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Jangan Jadi Terlalu Baik di Jakarta.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version