Dulu, jauh sebelum coffee shop menjamur di Surabaya, saya biasa menyeduh kopi sendiri di rumah. Kini, saat coffee shop bertebaran di mana-mana, saya punya kebiasaan baru, yaitu membeli kopi di coffee shop tanpa perlu repot-repot menyeduhnya sendiri di rumah.
Sebagai manusia yang kecanduan dengan kafein, saya minum kopi setiap hari. Artinya, hampir setiap hari pula saya berkunjung ke coffee shop, entah untuk memesan kopi take away atau menyempatkan diri nongkrong sebentar di sana untuk merenungkan hidup saya yang biasa-biasa saja ini. Tak jarang pula saya diajak nongkrong di sana berjam-jam lamanya oleh teman-teman.
Nah, berdasarkan pengalaman tersebut, saya mencatat ada beberapa hal yang kerap membuat pelanggan merasa nggak nyaman ketika berkunjung ke coffee shop. Jika dihitung, sedikitnya ada tujuh dosa yang kerap kali dilakukan coffee shop kepada pelanggannya. Meskipun bukan Malaikat Atid, saya mencatat dosa-dosa sebagai berikut.
#1 Pelayanan kurang ramah
Sekalian curhat, minggu lalu saya ke Jakarta dan mampir ke salah satu coffee shop yang berlokasi di Sarinah. Kebetulan waktu itu saya menggunakan sandal jepit (baca: Swallow). Ha kok pas di depan kasir dan mau order minuman, mas kasirnya melakukan screening—melihat penampilan saya dari atas ke bawah—dan nggak ada senyuman ramah di bibirnya.
Makin jengkel lagi saat saya pesan macchiato, si mas kasir menjawab dengan kalimat, “Ini kecil, lho, pahit juga.”
Sek to, maksudnya apa, sih? Saya juga sudah tahu kalau Macchiato itu rasanya pahit. Lantaran merasa kurang nyaman, saya ingin segera menyelesaikan prose pembayaran dan mengeluarkan uang Rp50 ribu. Fyi, harga macchiato-nya Rp37 ribu, Rek. Namun, saya kembali dikejutkan oleh jawaban masnya, blio bilang, “Di sini nggak biasa pakai cash dan nggak ada kembaliannya, apakah ada kartu?” Pertanyaan tersebut diucapkan dengan nada datar dan tentu saja terdengar menjengkelkan di telinga saya. Padahal coffee shop tersebut nggak memajang tulisan harus bayar pakai kartu, lho.
Mungkin mas kasir itu berpikir saya fakir miskin yang nggak perlu dilayani dengan senyuman. Saya maklum, sih, tampilan saya terbilang gembel untuk masuk Mal Sarinah yang di dalamnya banyak penjual batik dengan harga puluhan juta rupiah. Tampilan gembel, logat medok Suroboyo, dan iPhone lawas sungguh paket kombo yang cocok dianggap orang ndeso yang datang ke ibu kota Jakarta.
Sebenarnya saya nggak masalah dianggap miskin, yang jadi masalah adalah perspektif pelayanannya. Mau miskin atau kaya, sebagai customer, saya berhak mendapatkan pelayanan terbaik, dong. Ha wong minum kopinya bayar, kok. Cash, nggak ngutang pula. Jual kopi mahal kok pelayanannya nggak ramah. Sungguh keterlaluan, ora mashok blas!
Ternyata, nggak hanya saya, lho, yang pernah mengalami perlakukan nggak ramah seperti itu. Beberapa teman saya pun pernah mengalami hal serupa, meskipun bukan di coffee shop yang sama. Sebagai pelanggan, kami sebenarnya nggak minta muluk-muluk, kok. Kami cuma berharap dihargai dan sebaliknya kami pun wajib menghargai para pegawai coffee shop.
Saya tahu, nggak semua coffee shop pelayanannya buruk atau nggak ramah. Namun, jika ada owner coffee shop yang membaca tulisan ini, saya harap ibu atau bapak pengusaha coffee shop di Indonesia ini memastikan “ramah” masuk dalam SOP kedai kalian. Sekalipun mungkin kalian nggak jual minuman dengan harga mahal, keramahan pada pelanggan tetaplah hal yang sebaiknya diperhatikan.
#2 Barista nyinyir
Saya beberapa kali melihat fyp di TikTok tentang video barista sedang nyinyirin pelanggan coffee shop yang membeli americano ataupun espresso. Lho, memangnya apa salahnya memesan americano? Kok harus dirasani sampai repot-repot upload video di TikTok segala? Apa karena americano ataupun espresso selalu dbanderol paling murah di coffee shop? Sehingga pelanggan yang membeli americano dianggapnya nggak lebih prioritas dari pelanggan yang beli minuman lainnya?
Atau, apakah karena pembeli americano dianggap pengetahuan kopinya kurang, makanya kalau kami pesan americano atau espresso kudu banget dijelasin kalau kedua minuman tersebut pahit? Saya kira perspektif barista saat ini perlu diubah. Sejak menjamurnya coffee shop, kebanyakan orang sudah tahu kalau americano pahit. Nggak perlu repot dijelaskan fafifu yang ujung-ujungnya lebih berkesan nyinyir daripada memberikan informasi.
Coffee shop dengan barista nyinyir tuh red flag banget. Sebaiknya aktivitas seperti itu segera dienyahkan dari per-coffee shop-an di negeri ini.
#3 Ruangan indoor tapi rokok friendly
Dosa lain yang kerap dilakukan coffee shop adalah membuat konsep indoor, ruangan agak tertutup, ada AC-nya, tapi memperbolehkan pelanggannya merokok. Sumpah, deh, hal seperti itu menyebalkan sekali, apalagi bagi orang yang nggak merokok. Sebab, ruangannya jadi terasa apek dan bau nikotin, meskipun ruangan tersebut luas dan lebar.
Alangkah baiknya jika ruangannya diberi sekat, atau dibedakan saja sekalian yang indoor dilarang merokok sementara yang outdoor boleh merokok. Jadi nyaman untuk semua orang, baik perokok maupun yang nggak merokok bisa tetap nongkrong asyik.
Sebenarnya sudah ada beberapa coffee shop yang menerapkan konsep sekat antara smoking area dan non-smoking area. Akan tetapi, jumlah kedai yang melakukan hal tersebut sedikit. Saking sedikitnya sampai bisa dihitung dengan jari.
#4 Mengampanyekan ramah lingkungan tapi wadah minuman dan makanannya terbuat dari plastik
Saya suka heran dengan coffee shop yang masih banyak menggunakan wadah makanan dan minuman yang terbuat dari plastik. Kalau minumannya ada embel-embel iced, okelah. Tapi, kalau wadah makan juga plastik, apalagi saat kita makan dine-in, kan aneh. Kenapa nggak pakai piring keramik, sih? Selain mengurangi sampah, wadah yang terbuat dari kaca ataupun keramik itu aesthetic, jadi sedap dipandang dan meningkatkan nafsu makan.
Makin heran lagi, coffee shop yang menggunakan bahan plastik itu mengampanyekan isu kepedulian terhadap lingkungan dan gembar-gembor tentang menjaga alam agar tetap lestari. Mereka juga meminta kita membawa tumbler supaya mengurangi sampah plastik atau kertas. Tapi, saat kita pesan makanan, meskipun nggak dibawa pulang, penyajian makanannya nggak ditaruh di piring keramik, malah ditaruh di kotak kue ulang tahun yang terbuat dari kertas. Meskpun nggak plastik, tapi kertas sekali pakai itu juga diambil dari kayu, lho. Banyak-banyak menebang kayu kan merusak alam juga.
#5 Putar musik terlalu kencang
Awalnya, mayoritas coffee shop konsepnya homey. Meskipun memutar musik, musiknya cukup instrumental atau lagu-lagu selow yang diputar dengan suara sedang. Jauh dari kesan berisik agar pelanggan masih bisa ngobrol dengan temannya secara nyaman atau bekerja di depan laptop dengan suasana yang menenangkan.
Namun, belakangan ini banyak coffee shop yang mulai menerapkan konsep live music dan DJ-an. Sebenarnya suka-suka ownernya saja, sih. Tapi, kalau melabeli dirinya sebagai coffee shop kemudian mengadakan live music remix, kok menurut saya justru mencederai ideologi sebuah coffee shop.
Ha piye? Namanya coffee shop itu ya tempat minum kopi atau tempat ngobrol santai. Kalau mau joget DJ-an, mending langsung ke Holywings atau Hard Rock saja, kan?
Saya nggak mengada-ngada, lho. Belakangan ini mulai banyak bermunculan coffee shop yang ada live music-nya dengan sound system layaknya orang sedang hajatan. Kalau mau gitu ya nggak apa-apa juga, tapi jualannya bisa diganti dengan Baileys, Red Label, dan kawan-kawannya.
#6 Nggak menyediakan mosquito killer
Untuk owner coffee shop di seluruh Indonesia, tolong ya sediakan mosquito killer di sudut ruangan coffee shop Anda. Tanpa ada pembasmi nyamuk, serajin apa pun ruangannya dibersihkan, tetap saja banyak nyamuknya. Nyebelin banget, lho, pas enak-enaknya nongkrong sambil ngobrol sama teman, ha kok kita harus neploki nyamuk juga. Hiks.
Apalagi kalau konsep coffee shop-nya terbuka atau outdoor, wes talah, wajib ain ada mosquito killer. Kalau nggak ada, kami para pelanggan ini terpaksa donor darah ke nyamuk. Mana golongan darah saya O, jenis darah yang disukai nyamuk dan selalu jadi incaran seluruh nyamuk yang ada di muka bumi ini.
#7 Pasang AC yang banyak biar sejuk, Rek!
Dosa terakhir ini mungkin nggak semua coffee shop melakukannya, ya. Saya tahu AC di Starbucks atau % Arabica misalnya, sudah cukup dingin. Tapi, untuk coffee shop yang harga minumannya Rp25-30 ribuan, mbok ya ruangannya jangan dibuat ala kadarnya. Sudah AC-nya cuma satu, nggak dingin lagi. Hadeeeh.
Mbok ya jangan pelit ke pelanggan, pasanglah AC lebih dari satu biar sejuk, apalagi coffee shop yang ada di Surabaya. Wes kotanya panas, kok ya tega membuat para pelanggan masih sumuken juga pas ngopi. Terlalu!
Baiklah, cukup sampai di sini dulu. Saya takut dibilang terlalu cerewet dan banyak nuntut, meskipun sebenarnya ada satu dosa lagi yang juga sering dilakukan coffee shop kepada pelanggannya, yaitu nggak menyediakan toilet. Piye, sih, masa kami disuruh nebeng pipis di tempat lain?
Sekali lagi, nggak semua coffee shop melakukan dosa-dosa di atas. Tapi, jika ada yang melakukannya, segera bertobat, deh.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Saya Resah pada Coffee Shop yang Ngasih Cup Plastik Saat Dine In.