Banyak yang menyapa saya di sepanjang jalur pendakian Gunung Slamet. Banyak yang basa-basi saja, lalu berujung penasaran. Misalnya, “Semangat ya, Mbak. Bentar lagi sampai. Eh, dari mana ini? Loh, cewek semua. Serius ini cewek doang nggak ada cowoknya?” Kira-kira seperti itu.
Jadi, mendaki Gunung Slamet tanpa ada laki-laki yang menemani itu bahaya nggak, sih? Oktober 2022, merupakan salah satu perjalanan luar biasa dalam hidup saya.
Selepas sidang skripsi, saya merasa jenuh dan butuh refreshing. Saya langsung mengontak beberapa teman saya yang bekerja di berbagai kota. By the way, saya kuliah di Semarang, 2 teman saya lainnya juga masih di kota yang sama, 2 lainnya dari Cikarang, dan 1 dari Salatiga. Kami, 6 perempuan, akan mendaki Gunung Slamet.
Iya, gunung yang kami pilih juga tidak tanggung-tanggung, kan. Gunung yang berada di Jawa Tengah ini merupakan gunung tertinggi nomor 2 di Pulau Jawa setelah Semeru dan mendapatkan julukan “Atap Jawa Tengah”.
Persiapan kami memakan waktu selama 2 minggu. Kami menyelesaikan peralatan dan kebutuhan camp selama 2 hari 1 malam. Selain itu, yang tak kalah penting adalah persiapan fisik.
Daftar Isi
Menuju Gunung Slamet
Kami berempat on the way dari Semarang ke Pemalang menggunakan sepeda motor. Sementara itu, 2 teman lainnya naik bus dari Cikarang. Kami berkumpul di Pemalang dan memutuskan mendaki via Dipajaya.
Kami mulai mendaki pukul 11:00 dengan keadaan gerimis. Karena sudah kesiangan, kami sepakat untuk naik ojek warga lokal sampai pos 1. Jadi, pos 1 adalah batas motor bisa mengantar.
Total, kami membawa 3 carrier, 2 daypack, dan 1 tas kecil. Kami semua akan bergiliran membawa tas-tas tersebut. Jadi, semua akan merasakan membawa tas paling berat.
Jalur pendakian Gunung Slamet via Dipajaya rimbun oleh pepohonan. Perjalanan sampai pos 2 berjalan lancar. Sesampainya di sana, kami istirahat dan makan siang. Di sana, kami bertemu beberapa pendaki, mengobrol sebentar, lalu melanjutkan perjalanan.
Dari pos 2 menuju pos 3, jalur sudah mulai terbuka. Saat itu sudah mulai musim penghujan, jadi kita melepas-pasang jas hujan kita. Beberapa langkah sebelum sampai pos 3, hujan yang lumayan deras turun. Untung kami sempat meneduh di warung dan tanpa sengaja bertemu senior Mapala.
Baca halaman selanjutnya: Menuju pos 5 untuk mendirikan tenda…
Menuju pos 5 untuk mendirikan tenda
Setelah hujan reda, kami lanjut ke pos 4. Kami banyak bertemu pendaki yang berangkat dari Bambangan. Sesampainya di pos 4, sebetulnya kami ingin istirahat. Namun, beberapa pendaki memberi saran. Ada yang bilang jangan berhenti di pos 4, ada yang ngomong kalau istirahat jangan terlalu lama. Karena tidak tahu alasannya, kami menurut saja. Sebentar istirahat, lalu lanjut.
Kami sampai di pos 5 Gunung Slamet ketika sore sudah hampir habis dan Magrib menjelang. Setelah menemukan lokasi yang cocok untuk mendirikan tenda, kami membagi tugas. Ada yang mendirikan tenda, membuat jemuran dengan webbing, membuat saluran air agar nanti pas hujan air tidak merembes, dan ada yang mengeluarkan barang-barang dari carrier, daypack, dan tas.
Setelah semua beres, kami masak untuk makan malam. Dan benar saja, hujan deras turun. Berselimutkan sleeping bag, kami memasak sambil bercengkerama. Beres makan, langsung tidur karena kami akan summit Gunung Slamet pukul 03:00 dini hari.
Menuju puncak Gunung Slamet
Suara langkah kaki pendaki lain yang melewati jalur tenda membangunkan kami. Begitu bangun, kami langsung melakukan persiapan. Kami membawa konsumsi, P3K, obat pribadi, terakhir melakukan pemanasan.
Pukul 04:00 kami jalan menuju pos 6 dan langsung salat subuh begitu sampai di sana. Indahnya matahari yang mulai menyapa membuat langit menampakkan keindahannya. Kami dan pendaki lainnya berdecak kagum, kemudian mengabadikan momen tersebut dengan hape masing-masing.
Kami melewati jalur yang tidak mudah dengan hawa lebih dingin sejak pos 6. Meski jalurnya agak berat, tapi kami bisa melewatinya dengan lancar untuk sampai pos 7, pos 8, pos 9, lalu puncak Gunung Slamet.
Sudah banyak pendaki di puncak Gunung Slamet. Untuk melepas lelah, kami mencari tempat yang lapang dan sarapan. Sayangnya, ketika hendak menuju puncak, ada badai menerjang. Para pendaki tidak mendapatkan izin untuk lanjut. Kami wajib menunggang badai mereda.
Oleh sebab itu, kami mencari tempat untuk istirahat, duduk melingkar, lalu membuka alumunium blanket untuk menghangatkan tubuh. Setelah menunggu selama 30 menit, sekitar pukul 07:00, badai mulai reda dan beberapa pendaki sudah mulai jalan menuju puncak. Kami menyusul mereka dengan riang gembira.
Akhirnya, 6 perempuan sampai di puncak!
Jalur menuju puncak penuh batu dan tertutup kabut. Makanya, kami jalan pelan saja supaya aman. Perasaan haru langsung muncul ketika kabut menyingkir dan pemandangan indah sekitar Gunung Slamet menyapa mata kami.
Tak berhenti kami bersyukur kepada Tuhan. Dan tanpa sadar, saya meneteskan air mata. Pukul 08:00 kami, 6 perempuan, berhasil mendaki sampai puncak!
Setelah merasa cukup, kami menepi dan mencari tempat teduh untuk istirahat sebentar. Setelah itu, masih membawa perasaan haru, kami turun ke camp. Kembali kami istirahat sejenak, sembari persiapan turun gunung. Ingat, jangan lupa membawa pulang sampahmu, ya!
Jadi, apakah perempuan tidak bisa mendaki gunung tanpa laki-laki menemani? Pengalaman saya dan 5 teman perempuan mendaki Gunung Slamet menjawab pertanyaan itu.
Perempuan bisa mendaki tanpa laki-laki. Namun, ada catatan. Bagi perempuan, dan pendaki pada umumnya, harus beres di tahap persiapan. Baik perbekalan, konsumsi, hingga pengetahuan akan semua hal terkait pendakian dan medan. Selain itu, kita wajib menyiapkan fisik sebelum mendaki.
Jadi, mari mendaki dengan gembira!
Penulis: Yetti Ashari
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Pendakian Gunung Slamet dan Pengalaman Horor di Pos Samarantu