5+1 Alasan Menulis Skenario Sinetron Layak Jadi Pilihan Karier

5+1 Alasan Menulis Skenario Sinetron Layak Jadi Pilihan Karier (Pixabay)

5+1 Alasan Menulis Skenario Sinetron Layak Jadi Pilihan Karier (Pixabay)

Kalau iseng banget cari di Wikipedia (pernah gitu?), sampai saat ini, “Tukang Ojek Pengkolan” masih jadi sinetron dengan jumlah penayangan terbanyak, yaitu 3.414 episode. Kalau dianggap 1 hari = 1 episode, berarti sudah 3.414 hari dong? Sekitar 9 tahun lebih sedikit. Lalu, turun beberapa tingkat ke bawahnya ada “Raden Kian Santang” dengan 1.585 episode, berarti sinetron itu tayangnya sekitar 4 tahun lebih sedikit. Pernah kepikiran nggak sih, manusia-manusia macam apa yang tahan menulis skenario sampai ribuan hari seperti itu? Beneran harus menulis cerita tanpa putus, dengan konsistensi dan pemahaman alur yang tetap runut. Apakah mereka manusia hebat?

Ya mungkin kalau hebat sih relatif ya. Hanya, kalau ditelaah, sesungguhnya di luar segala “puja-puji” netizen terhadap kualitas (penulis skenario) sinetron, sebenarnya pasti ada benefit-benefit yang membuat mereka bertahan. Kalau tidak ada benefitnya, pasti pekerjaan itu sudah lama ditinggalkan, jangankan setahun, seminggu aja mungkin sudah cabut.

Nah, siapa tahu, di antara pembaca Mojok ada yang iseng (saat boker misalnya) memikirkan mau switch karier menjadi penulis skenario sinetron. Siapa tahu ada yang ingin menghabiskan hidup demi menyajikan kisah cinta segitiga yang diselingi adegan face-off ganti wajah 100% sempurna dan rebusan Hello Kitty, maka sekarang kita bahas keuntungan jadi penulis skenario sinetron.

#1 Kerjaannya nggak akan pernah habis

Lho, lha iya. Selama masih ada stasiun TV di muka bumi, maka sinetron akan selalu ada. Mungkin namanya beda-beda, mulai dari opera sabun sampai telenovela. Tapi intinya tetap sama: menjual kisah romance sampai termehek-mehek dan penderitaan hidup yang tak habis-habis. 

Apalagi sekarang OTT sedang menjamur, masa sih nggak pada butuh naskah? Terus kalau misalnya tidak ada kerjaan di Indonesia? Bisa coba pindah ke Spanyol, India, Turki, atau Zimbabwe. Atau kalau berani sekalian saja ke menulis skenario sinetron di Korea, Jepang, dan Amerika. Bisa lah, masa pemuda empire takut terima tantangan?

#2 Idenya nggak akan pernah habis

Duduk sebentar di tukang nasi kuning, nguping gibahan ibu-ibu di tukang sayur, ngintip grup WA keluarga, bacain status yang berseliweran di sosial media. Semua bahan ada di mana-mana. 

Karena semua ngomongin penderitaan manusia, dimulai dari kalimat sakti, “Eh tahu nggak…” dan diakhiri dengan, “Tapi jangan bilang siapa-siapa, ini cuma kita-kita aja.” Pokoknya masalah cinta, rebutan warisan, surat tanah, anak nakal, orang tua durhaka, cinta segitiga, selingkuh, ditikung teman, santet menahun, semua ada. Tinggal kita tambah-tambah dramatisasi saja biar bisa jadi tayangan sinetron dengan rating tinggi.

#3 Kalau malam, rumah sulit kemasukan maling

Mungkin ini bisa dianggap joke bapack-bapack. Tapi faktanya, gimana bisa kemasukan maling kalau setiap malam isinya orang begadang ngetik? Maling juga takut nyatronin rumah yang isinya orang lagi panas kepala dikejar deadline skenario. Yang ada mode senggol bacok. 

Berani ganggu tanggung sendiri akibatnya. Bagaimana tidak begadang kalau tiap hari kiriman plot cerita datangnya tengah malam, dengan perintah standar, “Kerjain cepet ya, buat syuting besok pagi.” NAH!

Penulis skenario sinetron “Surga yang Kedua” saja pernah curhat di Twitter, “Saat itu tengah malam dan deadline kami tinggal 1 jam. Kami lelah dan ngantuk… Kalau ada yang nggak lulus sensor, ya kita bisa diteror tanpa lihat waktu.” 

Kasian banget ya bacanya, kebayang ngantuk dan badan ringseknya, tapi deadline terus mengejar. Pada momen seperti itu, mending maling-maling menyingkir dulu deh, demi keselamatan diri kalian.

#4 Nggak perlu tanggung jawab sama hasilnya

Sebentar, sebelum pada emosi, saya akan jelaskan. Maksudnya, bukan pekerjaan ini mengajarkan untuk lepas dari tanggung jawab. Ya sama seperti pekerjaan apa saja di dunia ini, kita akan dihajar abis sama atasan kalau kerjaan berantakan. Masalahnya, sistem kerja persinetronan memungkinan penulisnya “sembunyi”.

Maksudnya begini, kalau kita mengerjakan sesuatu, apapun hasilnya orang bisa nunjuk hidung kita. Tapi tidak dengan sinetron. Lah gimana bisa? Tentu saja bisa karena nama penulis skenario sinetron jarang sekali tampil di opening credit. 

Coba saja cek di bagian penulis, biasanya yang tampil hanya “Tim Kreatif Dodol TV” (misalnya). Jadi santai saja, buat siapa saja yang mau berkarier di bidang ini, silakan menulis soal jenazah dililit ular, masuk ke tangki bensin, lalu kayang di tengah pasar karena semasa hidup lupa bayar utang negara, tidak akan ada yang tahu siapa penulis adegan-adegan itu. Kecuali kalau kita sendiri yang narsis ngaku-ngaku di sosial media.

#5 Saingannya sedikit

Eh, ini benar lho. Industri perfilman Indonesia memang sudah jalan, tapi pekerja filmnya masih sedikit. Joko Anwar pernah bilang gini, “Masalah perfilman Indonesia yang paling urgent adalah kurangnya kru dan pemain film yang punya skill. Produksi tiap tahun makin banyak. Kru nggak ada.” 

Nah, kru film di sini termasuk penulis skenario. Pak Syaifullah dari Kemenparekraf juga pernah bilang, “Kita kekurangan penulis, bukan ide cerita.”

Maka nggak heran banyak penulis skenario kita yang kerjanya rangkap-rangkap. Belum selesai ngerjain itu, harus disambi ngerjain ini. Atau baru beres ngerjain ini, sudah ditunggu pekerjaan itu. Waduh, kapan istirahatnya? Kapan punya waktu brainstorming-nya? Padahal menulis skenario juga bukan pekerjaan yang bisa disambi-sambi. Apalagi di sinetron yang harus tayang tiap hari.

Jadi jelas, menjadi penulis skenario sinetron itu kerjaan pasti numpuk, saingan sedikit, dan pundi-pundi honor pasti mengucur tak habis-habis. Tinggal fisik kuat apa nggak, itu aja.

+1 Melatih kesabaran

Nah Ini beda kasus, paling nanti kalau beneran sudah ambil profesi ini, mesti tahan-tahan tuh denger omongan netizen tentang betapa “bagusnya” sinetron kita. Netizen kan sebenarnya paling ahli ngetawain sinetron dan dengan santainya membandingkan dengan kualitas serial di HBO atau korea-koreaan. 

Mereka nggak sadar itu bukan lagi apple to apple urusannya, kuadran penontonnya aja udah beda kok (apaan tuh kuadran penonton?). Tapi biarkan saja bestie, kalau sakit hati dengar julidan-julidan soal kenapa naga warna ungu dan bentuknya lebih mirip biawak, inget aja kata JK Rowling, “I read my most recent royalty cheques and find the pain goes away pretty quickly.” Iya, cek aja rekening, Insya Allah sakit hatinya bakal hilang.

Cara mudah jadi penulis skenario sinetron

Nah itu 5 alasan (+1) mengapa menulis skenario sinetron layak jadi pilihan karier. Mengingat 2023 katanya seluruh dunia akan terkena resesi (dan pasti PHK bertebaran), sementara masih banyak umat manusia yang butuh menonton televisi, kenapa mencoba mengintip kesempatan itu? Calon konsumen ada, demand tinggi, jumlah pekerjanya pun sedikit.

Lho, tapi kan Anggi Umbara bilangnya, kekurangan penulis skenario di Indonesia sebenarnya urusan kualitas, bukan kuantitas. Jadi bukan soal jumlah, tapi soal sedikit sekali penulis skenario yang bisa menulis dengan baik. Lagipula kan menulis skenario itu butuh skill khusus. Jadi gimana dong?

Ya, untuk urusan itu, nggak ada cara lain kita harus belajar dan menambah jaringan. Sekarang tutorial sudah banyak di mana-mana, dari sekarang banyak kenalan dan tebar pesona ke orang-orang PH, banyakin kenalan sama crew biar diajak kerja bareng, event penulisan skenario sinetron untuk menjajal ilmu juga banyak (saat tulisan ini dibuat pun, sedang ada 2 lomba), tinggal kitanya aja mau ngintip kesempatan ini apa nggak.

Begitu semuanya. Salam super!

Penulis: Hendra Purnama

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Syuting di Eropa Nggak Bikin Sinetron Indonesia Naik Kelas

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version