“Dari Lamongan ya, Mas? Wah, saya suka tuh pecel lele.” Kurang lebih seperti itu respons orang-orang ketika mendengar kata Lamongan. Ya, mereka memang selalu menghubungkan orang Lamongan dengan lalapan idaman semua umat, yaitu pecel lele. Melihat fenomena tersebut, saya benar-benar gusar. Bukan dengan orang-orang tersebut, melainkan dengan orang Lamongan.
Bagi saya, Lamongan merupakan kota penghasil makanan yang tingkat enaknya di atas rata-rata, namun beberapa makanan khasnya nggak terlalu dikenal. Salah satu sebabnya adalah karena mereka nggak pernah peduli tentang branding. Padahal di zaman serba digital ini, cara terbaik untuk mempromosikan sesuatu (termasuk makanan), ya dengan mendekati karakter masyarakat digital, yaitu digital branding.
Personal branding adalah hal yang sangat penting. Banyak produk lokal yang seharusnya cukup bagus, namun nggak terlalu diminati masyarakat hanya karena nggak dikenal atau dianggap nggak spesial. Contohnya adalah mata air Jolotundo yang berada di Mojokerto. Mata air tersebut merupakan mata air nomor 2 terbaik se-dunia setelah air zam-zam. Saya ulangi, NOMOR 2 TERBAIK SE-DUNIA, loh!
Fakta tersebut nyatanya nggak berbanding lurus dengan kepopuleran mata air Jolotundo tersebut. Bahkan kalau misalkan diberikan pilihan, saya sangat yakin orang Indonesia lebih percaya khasiat air Ponari daripada Mata Air Jolotundo dalam kesehatan. Hal ini bukan kesalahan masyarakat sepenuhnya, namun karena efek dari branding.
Masalah serupa juga terjadi di Lamongan. Bagi saya, kuliner Lamongan terlalu sempit jika hanya diartikan sekadar pecel lele. Banyak makanan yang benar-benar enak, namun nggak terlalu dikenal. Sebagai klan pecel lele, branding kuliner Lamongan adalah tugas kita bersama. Kita nggak bisa mengandalkan influencer, karena memang nggak ada influencer atau brand ambassador yang berasal dari Lamongan.
Saya kira sudah saatnya mimpi menjadi influencer perlu ditawarkan pada generasi muda agar segala hal yang ada di Lamongan bisa lebih dikenal masyarakat luas. Selain itu, juga agar nggak ada lagi orang yang menganggap kalau Lamongan hanya sekadar pecel lele.
Jika Jogja tercipta dari rindu, pulang, dan angkringan. Kemudian Bandung diciptakan saat Tuhan sedang jatuh cinta. Maka, Lamongan juga nggak mau kalah. Sepertinya kota ini tercipta saat Tuhan sedang memasak. Haish, kelihatan maksa banget ya, Hyung~
Kalimat di atas tentu adalah kiasan, jadi jangan malah bertanya kira-kira Tuhan ketika menciptakan Lamongan sedang masak pecel lele atau bukan. Itu pertanyaan konyol. Baiklah, mari kita mulai berkenalan dengan makanan dari Lamongan selain pecel lele.
#1 Soto Lamongan
Selain pecel lele, tentu saja ada soto Lamongan. Kuliner Lamongan satu ini memiliki derajat satu tingkat di bawah pecel lele. Yang spesial dari soto Lamongan adalah kuah yang kental, bumbu yang tajam, serta tentu saja rasa yang nendang. Ciri khasnya adalah taburan koya udang atau bubuk kuning yang ditaruh di atas soto.
#2 Tahu campur
Kuliner ini sebenarnya mudah ditemukan di berbagai kota. Yang membedakan adalah penggunaan petis udang dan kacang tolo. Sejauh yang saya ketahui, di Malang ada kuliner yang bernama campur telur. Kebanyakan pemiliknya berasal dari Lamongan, dan tentu saja sangat laris. Nah, alasan logis kenapa bisa laris dan enak tentu saja karena bumbu campur telur tersebut mengadopsi bumbu tahu campur Lamongan.
#3 Sego boran
Selain soto dan pecel lele, di Lamongan juga ada sego boran. Sego artinya nasi, sedangkan boran sendiri diambil dari tempat nasi yang bentuknya seperti bakul gendong.
Ada mitos menarik tentang kuliner satu ini, yaitu meski rasanya sangat enak, sego boran nggak bakal laku jika dijual di luar Lamongan. Terlepas dari mitos tersebut, faktanya makanan satu ini memang sulit ditemui di luar Lamongan. Entah karena kebenaran mitos tersebut, atau memang lidah orang luar Lamongan yang nggak cocok dengan kuliner Lamongan satu ini makanya nggak laris dan akhirnya gulung tikar.
#4 Wingko Babat
Kemampuan branding orang Lamongan memang cukup meresahkan. Ini terbukti ketika salah satu jajanan khas Lamongan, yaitu wingko babat lebih dikenal berasal dari Semarang. Padahal sudah jelas kalau wingko babat ini 100% asli Lamongan.
Makanan tradisional ini lebih dikenal di Semarang karena the founding father wingko babat tersebut, yang awalnya tinggal di Kecamatan Babat Lamongan, hijrah ke Semarang. Dan kebetulan ketika tinggal di Semarang, dagangan wingko tersebut lebih diminati, sehingga orang-orang menganggap wingko berasal dari Semarang.
Wingko adalah makanan yang berasal dari kelapa yang dipadukan dengan tepung ketan dan gula pasir. Bentuk awal dari wingko ini adalah bulat dan besar, namun karena dirasa kurang efektif untuk dijual, maka dibentuk agak mungil.
#5 Es batil
Minuman ini mirip dengan es dawet, yang membedakan tentu saja ada campuran batil. Batil sendiri merupakan kue yang mirip dengan apem, hanya saja rasanya agak asam karena dibuat dengan campuran tapai.
Sekarang sangat mudah mencari es batil di Lamongan. Namun tentu saja es batil yang paling melegenda adalah warung es batil bu Bayana yang terletak di Bulubrangsi, Kecamatan Laren.
Nah, itu tadi beberapa kuliner dari Lamongan selain pecel lele. Kalian nggak perlu berterimakasih atas informasi yang saya bagikan, cukup ingat-ingat saja kalau Lamongan nggak hanya tentang pecel lele saja.
Sedikit menambahi, sebenarnya alasan kenapa makanan asli Lamongan seperti pecel lele, soto Lamongan, dan sebagainya sangat nikmat adalah karena budaya mengkritik. Iya, budaya yang suka mengkritik merambat ke makanan. Di Lamongan, jika kalian membuat makanan yang kurang nendang, maka bersiaplah menerima kritik pedas.
Pernah suatu ketika saya ikut rombongan ziarah Wali Songo bersama para warga desa. Kami lalu berkesempatan mencicipi masakan di beberapa daerah, topik pembicaraan yang sering kami bahas adalah tentang makanan di daerah tersebut.
Tentu saja nggak hanya sekadar pembahasan yang sifatnya kulit, melainkan daging. Karena obrolan tersebut lebih terkesan penjurian ala-ala MasterChef. Semua hal tentang makanan akan dikomentari mulai dari bumbu, komposisi masakan, ketebalan daging, sampai tingkat kematangan masakan.
Konon, soto Lamongan awalnya dikiritik habis-habisan karena nggak memiliki rasa yang “nendang” sehingga dianggap sebagai makanan berkuah bening. Alhasil ketika memasak soto, orang Lamongan menambahkan banyak bumbu agar terhindar dari kritik tersebut. Lamongan memang keras, Hyung.
Budaya tersebut cukup menjelaskan kalau masakan orang Lamongan nggak perlu diperdebatkan lagi. Kami masih memiliki makanan lain seperti sego boran, siwalan, es batil, dan masih banyak lagi. Kuliner tersebut rasanya sudah pasti enak. Jika nggak percaya, mampir saja, lidah kalian nggak bakal bisa bohong~
Sumber Gambar: food.detik.com
BACA JUGA Mengenal Kata Umpatan Jogja yang Nggak Ada Serem-Seremnya dan tulisan M. Afiqul Adib lainnya.