Solo mungkin bukan destinasi utama dalam hal wisata. Memangnya ada tempat wisata apa di Solo? Begitu umumnya orang bertanya-tanya, syukurlah pertanyaan tersebut terjawab di tulisan ini. Sungguh artikel yang mencerahkan bagi orang-orang yang ngertinya di Solo cuma ada keraton saja. Oh, tambah satu lagi yang ada di Solo, ada Mas Gibran. Blio terkenal banget, kan.
Nah, kebetulan, beberapa waktu lalu saya berkesempatan berpetualang di Solo selama 3 hari. Sebagai pendatang, ada beberapa hal yang membuat saya melongo selama berada di sana. Apa saja?
#1 Biaya parkir
Gosip semua masih murah di Solo memang sudah sering saya dengar. Dan saat liburan tiba, saya membuktikannya sendiri. Bayangkan, parkir mobil cuma Rp3.000, Gaes!
Saya kasih uang Rp5.000 ke tukang parkir, eh, dikasih kembalian. Padahal biasanya tu duit langsung masuk kantong dan nggak keluar lagi. Salut!
#2 Pasar Gede Solo
Berdasarkan penelusuran di Google, menikmati kuliner di Pasar Gede adalah hal yang nggak boleh dilewatkan saat berada di Solo. Itu sebabnya di hari pertama tiba di Solo, saya memutuskan untuk cari sarapan di Pasar Gede. Ealah ternyata zonk, Gaes!
Saya ke Pasar Gede sekitar pukul 06.30 pagi dan pasarnya belum buka. Menurut tukang parkir di sana, jam buka sentra kuliner di Pasar Gede memang agak siangan, sekitar pukul 10.00 pagi. Duh, kecewa, deh. Maklum di daerah asal saya, pasar termasuk kulinerannya sudah buka sejak pagi-pagi buta.
Baca halaman selanjutnya
#3 Lampu jalan
Menyusuri tempat yang baru pertama kali didatangi tentu kurang mantap jika nggak menikmati suasana malamnya. Sayang, pengalaman menyusuri jalan saat malam hari di Solo, tepatnya di Solo Baru, kurang menyenangkan buat pendatang kayak saya. Lampu jalannya mati!
Kalau dibilang ada pemadaman listrik, kayaknya nggak juga. Lha, wong rumah dan kafe di kiri kanan jalan terang, kok. Hanya lampu jalan dari ujung ke ujung yang mati. Asli, jalanan jadi gelap. Saya jadi bertanya-tanya, memang seperti itukah Solo Baru setiap malamnya?
#4 Pak Ogah
Kalian tahu Pak Ogah? Bukan. Bukan si gundul yang ada di serial Si Unyil, ya. Pak Ogah ini adalah sebutan bagi orang yang membantu mengatur lalu lintas. Biasanya mereka standby tepat di pertigaan atau perempatan untuk membantu mobil atau motor yang akan menyeberang jalan. Peluit jadi senjata mereka untuk mengatur lalu lintas. Kadang, ada pula yang membawa tongkat.
Nah, selama di Solo, nggak pernah sekalipun saya melihat pengendara motor ataupun mobil yang memberikan uang pada Pak Ogah. Kendaraan-kendaraan itu melaju begitu saja. Tentu saja bagi saya yang pendatang, ini adalah pemandangan yang nggak biasa.
Di Tegal, adalah lumrah memberi tips untuk Pak Ogah. Lumrah, ya, bukan wajib. Besarannya juga nggak ada patokan. Nah, selama 3 hari di Solo, pemandangan pengendara mobil mengulurkan rupiah dari balik jendela, sama sekali tak terlihat. Atau saya yang terlewat? Entahlah. Yang jelas, anak sulung saya sampai komentar, “Mungkin mereka sudah digaji sama Mas Gibran.”
#5 Alun-alun Solo
Terakhir, yang bikin melongo saat di Solo adalah alun-alunnya. Duh, Mas Gibran, itu alun-alunnya kok gitu, ya? Mau bilang jelek dan tak terawat kok nggak tega. Bayangan bakal foto-foto cantik di alun-alun pupus sudah. Bingung angle-nya. Nggak estetik blas. Akhirnya saya cuma numpang lewat, deh. Semoga Alun-alun Solo bisa secepatnya direvitalisasi. Jadi, pengunjung bisa betah berlama-lama nongkrong di sana
Itulah 5 hal yang bikin pendatang seperti saya melongo di Solo. Kenapa nggak mencantumkan harga makanan yang murah? Ya, bagi kalian yang tinggal di kota gede kaya Jakarta, pasti bakal melongo melihat harga makanan di Solo yang murah-murah. Kalau bagi saya yang tinggal di Tegal sih “B” aja.
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Revitalisasi, Langkah Pertama Meromantisasi Solo.