Untuk bocah tua yang menjadi penikmat musik tahun 2000-an, musik dari band emo pastilah pernah mewarnai masa mudanya. Meski mungkin saja yang didengerin cuma Simple Plan dan yang paling dihafal cuma bagian “welcome to my life…”. But after all, emo pernah singgah di hati banyak rombongan broke and bleeding heart, bahkan sebelum Laskar Sobat Ambyar-nya Almarhum Godfather of Broken Heart menjadi fenomenal sebagai laskar yang menyatukan kita semua.
Saya pun pernah menikmati masa-masa menjadi anak (sok) emo lengkap dengan aksesoris tas distro, baju serba hitam, celana pensil ketat, eyeliner hitam, lalu disempurnakan dengan poni lempar. Ah, menuliskannya membuat saya bernostalgia ke era di mana saya rajin main dari distro ke distro hanya untuk mengemis lagu. Memindahkan beberapa album sekaligus ke USB lalu pulang dan mengisi Winamp dengan musik emo hasil malak di distro. Dulu, cara ini lebih irit dari download di warnet, meski butuh modal percaya diri rai gedek level dewa.
Bagi saya, lagu-lagu emo adalah lagu yang menunjukkan sisi emosional lewat lirik-lirik yang mengeksplorasi perasaan emosional dan ekspresi para musisinya. Perasaan emosional nggak hanya soal kesedihan dan kekecewaan, lagu emo yang nadanya ceria juga ada, yang mewakili emosi kemarahan juga ada. Biasanya lagu-lagu emo makin dramatis karena ditambah dengan bumbu screamo, teriakan yang emo bingits itu.
Ada beberapa band emo yang sukses dikenal dan sulit dilupakan, bahkan kadang malah dianggap nge-pop karena meski alirannya emo tapi banyak telinga bisa menerima musik mereka. Misalnya Simple Plan, Panic at The Disco, Paramore, dan My Chemical Romance. Lagu-lagu mereka sudah dibahas sebagai salah satu pintu masuknya musik emo ke pasar yang lebih luas oleh Mas Muhammad Sabilurrosyad.
Lagu-lagu dramatis dari band emo menarik kelompok tertentu menjadi pendengar setianya. Mereka adalah anak-anak emo yang seringnya punya masa kekelaman depresif yang serupa. Mereka banyak bicara tentang menjadi manusia yang sulit masuk dalam kelompok-kelompok populer dan normal. Bukan lantas mempopulerkan rasa depresi dan penolakan, mereka memilih untuk membuat musik atas apa yang dirasakannya.
Musik emo, pernah menjadi katarsis saat belum ada layanan-layanan kesehatan mental di media sosial seperti sekarang. Ya, setidaknya begitulah yang saya rasakan dulu meski ya saya nggak emo-emo amat. Nggak penah berangkat nonton konser My Chemical Romance, gitu lho. Saya cukup puas menikmati lewat Winamp dan YouTube aja.
Beberapa waktu lalu, saya mendengar dari Prambors, radio legendaris itu, bahwa The Chainsmokers sedang terlibat dalam pembuatan film “Every Nite is Emo Nite”. Batin saya, wow, akan kembalikah kejayaan musik emo? Dilansir dari CNN Indonesia, The Chainsmokers sendiri mengatakan bahwa kehidupan dan musik yang mereka buat dipengaruhi oleh musik emo. Film itu juga nantinya direncanakan akan menghadirkan Post Malone, Demi Lovato, dan Good Charlotte sebagai cameo.
Pernyataan The Chainsmoker saya rasa tak berlebihan. Bahkan saat ini, meski emo tak lagi populer, namun saat mendengarkan Post Malone, Badflower, dan Twenty One Pilots, saya tetap yakin musik emo hadir lewat lagu yang mereka buat meski kalau ditanya genrenya apa ya pasti nggak bilang emo. Badflower dan Twenty One Pilots lebih dikenal sebagai pengusung jenis musik alternatif, bukannya emo meski terdengar sangat emo di telinga saya.
Setidaknya ada lima lagu dari lima band emo paling emo yang kalian perlu dengerin musiknya. Walaupun mereka ini tidak seterkenal My Chemical Romance dengan “I’m Not Okay”. Barangkali dengan coba mendengarkannya, kalian bisa merasakan menjadi sadboy dan sadgirl jadul hahaha.
The Used
Sulit menentukan mana lagu The Used yang paling emo. Hampir semua lagu The Used dibuat dengan sangat apik. Liriknya seakan mewakili semua rasa kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan yang mendalam. Lagu macam “Buried Myself Alive”, “All That I’ve Got”, “The Taste of Ink”, dan “Blue and Yellow” bisa jadi pilihan untuk memulai mengenal The Used.
Finch
Lagu cintanya anak emo dibawakan Finch lewat lagu “Letters to You”. Lagu dengan tema rindu memang nggak pernah gagal mencuri hati pangsa pasar bukan? Finch membawakannya dengan hentakan-hentakan dan suara vokalis yang enak didengar, setidaknya meski sama-sama emo, nada-nada Finch tak se-menye-menye The All American Reject.
Taking Back Sunday
Band ini pernah punya lagu berjudul “The Photograph is Proof” yang populer berkat Spider-Man 2. Film yang bikin Tobey Maguire menjadi sulit dilupakan dengan ciuman jungkir baliknya itu berisi beberapa lagu emo. Selain Taking Back Sunday ada juga Dashboard Conventional, Yellowcard, Lostprophets, dan The Ataris. Wah, apakah Spider-Man sebenarnya anak emo?
Story Of The Year
Story of The Year dikenal dengan lagu “Anthem of Our Dying Day” dan “Until The Day I Die”. Tapi, lagu favorit saya dari Story of The Year adalah “Sidewalks”. Menurut saya, Story of The Year punya lagu yang terlalu mirip-mirip dan sering banget berteriak, yah, namanya juga band emo.
Funeral for a Friend
Inilah band emo dengan suara yang mampu mengusik rasa, lirik berdarah-darah, komplit dengan nama band yang emo abis. Selain “Escape Artist Never Die” dan “Juneau”, ada juga lagu “Roses for the Dead” yang video klipnya bercerita tentang seorang ibu yang membersihkan kamar anaknya seusai anaknya bunuh diri. Sungguh sad, sad, sad stories, bukan?
BACA JUGA Lagu-lagu yang ‘Dianggap’ Emo yang Bikin Orang Suka sama Emo dan tulisan Butet Rachmawati Sailenta Marpaung lainnya.