Ramadan tiba, sudah sepantasnya kita menyambutnya dengan riang gembira. Ramadan adalah bulan di mana pintu surga dibuka seluas-luasnya dan pintu neraka ditutup serapat-rapatnya, serta setan-setan dibelenggu tangan dan kakinya. Betapa mulia bulan ini, segala amal baik dilipatgandakan, amalan wajib diganjar dengan pahala yang berlipat, amalan sunnah diganjar seperti pahala wajib, segalanya menjadi terlihat sangat jelas. Bahasa kiwari-nya Allah sedang diskon besar-besaran—mengobral pahala sejadi-jadinya. Ramadan adalah bulan di mana umat Islam di seluruh dunia melakukan kewajiban puasa. Puasa sendiri sederhananya diartikan dengan menahan. Tapi di bulan Ramadan ini, ternyata puasa tidak bisa menjadikan seseorang menahan daya konsumerismenya. Malah di bulan yang mulia ini seperti ada fenomena “balas dendam” saat berbuka puasa.
Segala yang ingin dibeli sebisa mungkin dibeli—beli makanan yang enak-enak—sebanyak mungkin kalau bisa. Seseorang menjadi rakus dengan tiba-tiba—tepat di bulan Ramadan—sangat berkebalikan dengan spirit puasa itu sendiri. Logika awamnya ketika kita berpuasa harusnya apa-apa yang dikonsumsi menjadi berkurang dan menjadi hemat.
Tapi faktanya ternyata tidak. Kita bisa melihat pasar tumpah di mana-mana, sampah rumah tangga bertambah berkali lipat, pengeluaran di bulan Ramadan membengkak. Orang mungkin bisa berargumentasi bahwa ini adalah salah satu keistimewaan Ramadan—berkah Ramadan. Jika memang seperti itu lantas di mana spirit puasa untuk menahan nafsu-nafsu yang bersemayam di tiap diri manusia? Spirit menahan dan mengendalikan hawa nafsu.
Baik, sebenarnya di sini saya tidak akan membahas fenomena pemborosan “balas dendam” di bulan puasa ini, saya terlalu daif jika harus menguak itu semua. Yang ingin saya fokuskan adalah alternatif mengawali ibadah berbukanya saja.
Dalam satu hadis yang sangat populer saat bulan Ramadan tiba adalah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, dan At-Tirmizi disebutkan satu hadis yang artinya
“Dari Anas bin Malik RA, ia berkata Rasulullah Saw berbuka puasa dengan beberapa kurma matang dan basah sebelum melangsungkan salat. Kalau tak ada kurma basah, Rasulullah berbuka dengan kurma kering. Bila tak ada kurma kering, ia meminum beberapa teguk air.”
Beberapa ulama memandang kesunahan berpuasa dengan mengonsumsi kurma terletak pada sifat manis yang terkandung di dalam kurma. Bukan kurma itu sendiri, jadi apa-apa yang bersifat manis maka itu adalah sunah. Tapi ada juga yang memandang kesunahannya terletak pada makanannya, bukan sifat atau substansinya itu sendiri. Perbedaan pendapat antar ulama tidak apa-apa selama masih dalam satu koridor yang tidak melanggar hak dan kewajiban manusia lain.
Hadis ini kemudian menjadi populer di masyarakat Indonesia di bulan Ramadan, seperti berbukalah dengan yang manis, karena itu adalah sunnah Rasul. Kemudian generasi kiwari saat ini terinspirasi dari hadis tersebut dan menambah warna dan romantisme tragis dalam menjalankan ibadah puasa. Kemudian saya bertanya apa mengawali berbuka harus selalu dengan yang manis? Kalau ternyata di hadapan kita saat berbuka adanya yang pahit atau yang asin bagaimana? Maka dari pertanyaan ini saya akan memberikan 5 alternatif berbuka puasa selain dengan yang manis
1. Berbukalah dengan yang direstui, percuma manis kalau nggak direstui
Adakah yang lebih utama dari sebuah restu? Entah itu restu dari orang tua atau calon mertua. Restu merupakan titik balik di mana seseorang yang pada awalnya tidak dikenal, kemudian masuk ke dalam hidup keluarga dan hidup seseorang. Kemudian ia di sana berjuang mati-matian untuk mendapatkan sang pujaan hati—dan restu tentu saja.
Ketika konteks berbuka puasa di sini kita kaitkan dengan restu, maka kita akan menemukan benang merah yang sederhana sekaligus kompleks. Maksudnya adalah sejatinya berbuka tidak selalu dengan yang manis, tapi yang terpenting adalah direstui, karena percuma kita berbuka dengan yang manis kalau pada akhirnya tidak direstui. Ingat rida Allah adalah ridanya orang tua.
2. Berbukalah dengan yang dimiliki, percuma manis kalau bukan milikmu
Ya iyalah, masa apa-apa yang bukan milik kita harus kita akui sebagai milik kita—zalim itu namanya—malah bisa jadi haram. Jangan sekali-kali kita merasa memiliki apa-apa yang bukan milik kita. Jangan lalu kita menjadi seorang yang rakus akan sesuatu, dan ingin memiliki apapun itu, sampai lupa dengan apa yang ada di sekitar kita dan benar-benar milik kita.
Maka alternatif berbuka di sini adalah hak milik—yang milikmu dan bersedia menjadi milikmu—yang dengan kata lain saling memiliki. Entah kepada apapun, Karena akan menjadi sia-sia ketika berbuka puasa, ketika kita berbuka dengan apa-apa yang bukan milik kita, apalagi ia menolak untuk dimiliki meski manis sekalipun. Maka syukuri apa-apa yang menjadi milikmu dan bersedia dimiliki.
3. Berbukalah dengan yang menerima, percuma manis kalau nggak mau menerima
ini adalah hal krusial selanjutnya, alternatif yang sangat mungkin untuk dicoba. Apalagi kita semua di dunia adalah hamba yang daif. Sejatinya kita adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah dan kita harus menerima itu.
Penerimaan ini bisa kita adaptasi dengan alternatif berbuka selain dengan yang manis. Karena akan menjadi problem ketika berbuka dengan yang tidak menerima. Maka penerimaan ini sangat penting dalam kehidupan kita sehari-hari, apalagi kalau konteksnya kita bawa pada ibadah berbuka, maka aktivitas menerima dan penerimaan menjadi suatu yang niscaya sebagai alternatif untuk berbuka selain dengan yang manis.
4. Berbukalah dengan yang sayang dan menyehatkan, percuma manis kalau nggak sayang dan menyakiti
Nah inilah yang jadi problem kita selama ini. Kita terlalu terpaku kepada fisik, kulit dan lupa menanyakan substansi isi hati. Kita terlalu asik mengidamkan berbuka dengan yang manis-manis, tapi lupa bertanya apakah yang manis itu selalu menyehatkan dan sayang kepada kita. Jangan-jangan yang manis itu nggak sayang dan menyakiti?
Ini menjadi penting, karena apa-apa yang dibangun dengan kasih sayang dan menyehatkan insyaallah akan berbuah manis pada akhirnya. Memang kalo manis terus nggak sayang dan menyakiti emang kenapa? Nah kan, dibilangin nyolot. Ini sih cuma alternatif saja agar saat berbuka tidak ngilu hatinya. Karena mungkin akan jadi percuma ketika berbuka dengan yang manis, eh gataunya nggak sayang dan hanya menyakiti. Sakit tauk.
5. Berbukalah dengan yang mencintai dan dicintai, percuma manis tapi nggak mencintaimu
Hal ini tentu saja menjadi sangat pelik. Betapa tidak, ketika kita memutuskan untuk mengawali berbuka dengan yang manis, tapi di lain sisi ternyata yang manis itu tidak mencintaimu atau tidak kamu cintai. Coba bayangkan bagaimana rasanya kamu mengawali berbuka dengan yang tidak kamu cintai, meskipun dia manis sekalipun. Di situ akan ada dua perasaan yang terluka, yang mencintai sekaligus yang tidak mencintai—dua-duanya sama terlukanya.
Maka seyogyanya berbukalah dengan apa-apa yang kamu cintai dan juga mencintaimu. sehingga berbuka di sini akan menambah keberkahan dan kebahagiaan saat berbuka puasa. Ingat kebahagiaan saat berbuka puasa adalah saat seseorang mendengar azan maghrib, dan saat orang tersebut bertemu dengan Rabb-nya. Dan kunci atau syarat orang itu bahagia adalah karena dia memiliki cinta dan dia menggunakan cinta itu untuk mencintai sekaligus dicintai—bukan hanya sekedar manis.
Wallahu’alam bisshawab. Selamat menunaikan ibadah puasa. Tabik.