5 Alasan Masuk Akal untuk Tidak Tinggal di Jakarta

5 Alasan Masuk Akal untuk Tidak Tinggal di Jakarta

5 Alasan Masuk Akal untuk Tidak Tinggal di Jakarta (Pixabay.com)

Tinggal di Jakarta, nyatanya, tak seindah angan yang sering didengungkan oleh orang-orang

Banyak yang menganggap Jakarta sebagai the city of opportunities, kota idaman yang selalu diincar untuk tempat bekerja. Alasan ini masuk akal, toh memang banyak perusahaan-perusahaan dari A sampai Z, dari BUMN sampai internasional yang berdomisili di kota ini. Ada yang berhasil meraih mimpi, ada yang gagal.

Sebagai orang yang berkuliah di Bandung, berkunjung ke Jakarta sudah seperti agenda rutin karena semua-semua selalu diadakan di sana. Entah lomba-lomba, konferensi, kegiatan kunjungan kampus, pelatihan kerja, dan lain-lain. Selain itu, keluarga juga ada yang orang Jakarta, sehingga terkadang juga berkunjung untuk silaturahmi.

Nah, sebagai fresh graduates, tidak jarang saya mendapatkan tawaran dan melihat lowongan kerja di Jakarta. Namun, selama ini saya belum berani mengambil tawaran tersebut (dan akhirnya sampai sekarang masih WFH).

Banyak yang bilang ke saya “Wah, sayang banget sih! Kok nggak diambil?” Well, sebetulnya saya punya beberapa alasan logis yang membuat saya nggak sreg untuk tinggal di Jakarta.

#1 Mahal

Kalau ini rasanya tidak perlu dijelaskan panjang lebar, ya. Biaya hidup di kota ini jelas lebih mahal dibandingkan kota-kota kabupaten di Jawa Timur. Hal ini menjadi pertimbangan, apalagi kalau gaji masih ngepas dengan UMR. Di Jakarta, biaya sewa kos dan makan bisa menjadi alasan utama gaji terkuras. Gaji UMR di kota lain mungkin masih ada sisa untuk ditabung setelah dikurangi pengeluaran primer. Kalau tinggal di Jakarta? Belum tentu.

#2 Macet

Ini juga saking terkenalnya, semua orang se-Indonesia pasti sudah tahu. Teman-teman yang tinggal di Jakarta mengeluh kalau telat berangkat semenit, efek terjebak macetnya bisa sejam lebih. Punya kendaraan pribadi masih bisa terjebak macet, apalagi ada aturan nopol ganjil-genap. Kalau tidak punya kendaraan pribadi, harus berebut dan buru-buru naik transportasi umum setiap hari. Intinya, untuk commute di Jakarta butuh perjuangan ekstra!

#3 Lingkungan kurang sehat

Hal ini saya tulis berdasarkan pengalaman pribadi. Kalau di Bandung biasanya kulit saya aman-aman saja, sehari di Jakarta saya langsung mendapatkan jerawat baru di wajah. Betul, tingkat polusi Jakarta memang sejelek itu sehingga amannya memang ke mana-mana pakai masker.

Nggak hanya itu, barusan ini Jakarta menempati peringkat pertama kota dengan indeks udara terburuk sedunia. Selain itu, kalau di musim penghujan beberapa daerah di Jakarta juga sudah pasti jadi langganan banjir. Duh… saya malas kalau harus menghadapi hal-hal seperti ini.

#4 Serba cepat

Jakarta adalah kota profesional, tempat para pekerja kerah putih dan kerah biru tumpah ruah bercampur jadi satu. Sehingga, budaya yang ada di sana adalah budaya yang mau semuanya serba cepat dan buru-buru. Hal ini saya rasakan di banyak tempat; di tempat terbuka, halte kendaraan umum, dan bahkan di wilayah perkantoran dan sekolah. Wah, pokoknya kurang cocok dengan orang-orang dari daerah luar Jakarta yang gaya hidupnya cenderung slow life dan santuy seperti saya, hehehe.

 Kalau kalian kepikiran untuk pindah dan tinggal di Jakarta, dan kalian kebetulan adalah orang yang nggak mengejar duniawi hingga ngoyo, mending pikir-pikir lagi.

#5 Jauh dari daerah pegunungan

Nah, ini juga salah satu alasan yang berdasarkan preferensi pribadi. Saya tipe orang yang suka healing dengan jalan-jalan ke tempat tinggi dan menghirup segarnya udara pegunungan. Karena Jakarta adalah daerah dataran rendah yang justru dekat dengan pantai, otomatis udaranya dan hembusan anginnya terasa lebih panas dan agak gersang.

Orang Jakarta kalau mau ke gunung atau ke tempat dingin pasti selalu kabur ke Puncak. Sedangkan Puncak sendiri tahu sendiri lah ya macetnya seperti apa. Lha, kalau di daerah asal saya? Enak, mau dingin-dingin dikit bisa melipir ke Malang atau Batu, kalau mau lebih dekat malah bisa ke Tretes. Alhasil, rasanya saya akan lebih sejahtera kalau bekerja di Jawa Timur karena akses ke pegunungan masih mudah dan tidak semacet Puncak.

Saya yakinnya alasan jauh dari pegunungan ini bakal diamini banyak orang sih. Sebab, pegunungan bisa jadi destinasi untuk healing. Terlihat dari banyaknya orang Jakarta yang ke Puncak. Kalau punya gunung indah sendiri kan enak, ya kan?

Nah, kelima alasan ini lumayan masuk akal, kan? Kira-kira ada yang sependapat nggak ya dengan saya? Atau adakah teman-teman domisili Jakarta yang sekiranya mau melakukan rebuttal dan meyakinkan saya kalau tinggal di Jakarta itu enak? Hehehehe, ditunggu nih!

Penulis: Eunike Dewanggasani W. S.
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 4 Stereotip Jakarta yang Diamini Banyak Orang, padahal Keliru

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version