Simpang Lima Semarang memang telah banyak berubah. Dulunya tersohor dengan imej ciblek alias “cilikan betah melek”, sekarang menjadi ruang publik yang dicintai warga Semarang. Dari lapangan berhiaskan tenda remang-remang, beralih dimeriahkan dengan kegiatan positif masyarakat, termasuk jogging.
Sayangnya, acara jogging mengitari Simpang Lima tak lagi terasa menyenangkan. Berlari membakar kalori di alun-alun itu serasa mendaftar sebagai kontestan acara Ninja Warrior. Bukannya berhasil menempa kaki dan sistem pernapasan yang semakin kuat, jogging di Simpang Lima Semarang saat ini justru sukses mengasah keahlian misuh para warganya.
#1 Dulu lari-lari sambil menghirup udara segar, sekarang sembari batuk seperti korban kebakaran
Simpang Lima adalah pusat kota. Tak heran, volume kendaraan yang lalu lalang di sekitaran sana cukup padat. Akibatnya, polusi dari kendaraan bermotor yang bercampur dengan debu dan asap rokok mampu menciptakan asupan racun bagi para pelari.
Paru-paru yang seharusnya mendapat asupan oksigen segar malah dipaksa menyaring partikel berbahaya. Ironisnya, ancaman ini berbanding terbalik dengan nilai luhur eksistensi Simpang Lima Semarang sebagai paru-paru kota. Kalau dulu selepas jogging badan terasa bugar, sekarang pulang dengan membawa sakit tenggorokan. Masa iya harus lari sambil mengenakan masker N95?
#2 Tegel jebol di sana-sini, risiko cedera kaki mengintai pelari
Permukaan tegel yang retak dengan lubang-lubang menganga yang siap memangsa kaki pelari menjadi pemandangan sehari-hari. Setiap langkah seakan menuntut perhitungan matang guna menghindari cedera pergelangan kaki atau tersandung. Seandainya mata kaki memang dapat digunakan untuk melihat, kebrutalan ini mungkin tak jadi masalah.
Lucunya, kerusakan yang terbilang cukup parah tersebut terkesan kurang serius ditangani. Paling-paling hanya ditambal ala kadarnya atau dibiarkan begitu saja. Mungkin, pemerintah setempat mempunyai niat mulia yang baik di balik kemirisan ini, yakni menyediakan uji ketahanan kaki cuma-cuma. Siapa tahu, nanti bakat atlet parkour akan tumbuh dengan sendirinya.
#3 Invasi sepeda listrik di Simpang Lima Semarang, bikin penggiat jogging panik
Diakui atau tidak, kehadiran sepeda listrik di trotoar Simpang Lima telah menciptakan bahaya baru bagi pelari amatir. Berbeda dengan sepeda konvensional yang masih bisa dideteksi dari suara kayuhan, sepeda listrik muncul tiba-tiba layaknya hantu tanpa peringatan. Jelas, hal ini bersimpangan dengan fungsi asli trotoar.
Ditambah lagi, banyak pengendara yang tidak menghormati hak pejalan kaki. Sebaliknya, mereka bersikap seolah trotoar adalah jalur cepat mereka. Dibandingkan area ideal menyalurkan aktivitas jogging, sepertinya Simpang Lima Semarang lebih cocok disebut arena sirkuit mini para pengendara sepeda listrik. Lagi pula, sebenarnya apa faedah berkeliling lapangan dengan sepeda listrik tanpa tujuan? Kalau mau olahraga, mengayuh sepeda statis di sisi lain lapangan jauh lebih berguna.
#4 Siulan nakal para pengendara motor yang lewat membuat penat
Bagi pelari perempuan, Simpang Lima Semarang kini menjadi ajang uji kesabaran menghadapi pelecehan verbal. Siulan, komentar tidak senonoh, hingga teriakan mengganggu dari pengendara yang melintas telah menjadi risiko tak terelakkan. Perilaku ini tidak hanya mengganggu konsentrasi berlari, tapi juga menciptakan rasa tidak nyaman dan tidak aman. Padahal ruang publik seharusnya menjadi tempat yang nyaman bagi semua kalangan tanpa diskriminasi gender.
#5 Banyaknya sepeda hias yang parkir sekenanya di trotoar Simpang Lima Semarang
Meski tujuannya sebagai daya tarik wisata, keberadaan sepeda hias warna-warni yang diparkir sembarangan di trotoar Simpang Lima Semarang justru menyempitkan ruang gerak pejalan kaki dan pelari. Penataan sepeda-sepeda ini sering kali memakan lebih dari separuh lebar trotoar. Sedihnya, kawasan yang semestinya menjadi ruang publik untuk aktivitas sehat, kini berubah menjadi lahan parkir.
Pemkot seyogyanya perlu mengevaluasi kembali kebijakan ini. Bukan tidak mungkin cara pemindahan sepeda hias yang serampangan turut menyumbang kerusakan tegel di seputar Simpang Lima. Lagi-lagi, para pelari diharuskan mengalah di sini.
Fenomena di Simpang Lima Semarang ini mencerminkan kegagalan tata kota dalam melindungi ruang publik. Pembangunan kota semestinya memprioritaskan kesehatan warga, bukan kepentingan komersial sesaat. Jangan sampai zona tempat dulu melepas penat, kini berubah menjadi sumber stres baru orang yang mencari sehat.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Membayangkan Betapa Malang Warga Semarang Seandainya Simpang Lima Tidak Pernah Ada.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















