5 Alasan Franchise Warteg sulit Menggeser Kejayaan Warmindo di Jogja

5 Alasan Bisnis Warmindo Nggak Bakalan Laku di Madura, Salah Satunya karena Bebek Bumbu Hitam! warmindo jogja warteg

5 Alasan Bisnis Warmindo Nggak Bakalan Laku di Madura, Salah Satunya karena Bebek Bumbu Hitam! (Mufid Majnun via Unsplash)

Franchise warteg boleh melebarkan sayapnya seluas mungkin di Jogja, tapi, mereka tidak akan pernah bisa menggeser warmindo

Berbicara tentang Jogja, kita akan membahas warmindo, otu pasti. Memang angkringan lebih dikenal luas oleh masyarakat di luar Jogja. Namun bagi orang-orang yang pernah merantau di Jogja, terutama anak kuliah pasti akrab dengan warmindo atau burjo. Keberadaan warmindo di Jogja sudah menjamur ke seluruh pelosok Jogja.

Bertahun-tahun sudah warmindo merajai posisi tempat makan favorit di Jogja. Namun dalam beberapa tahun belakangan, mulai muncul pesaingnya. Warmindo harus berbagi ruang dengan franchise warteg dan warung padang murah. Padahal 5 tahun lalu keberadaan warteg dan warung padang murah bukan merupakan pemandangan yang umum. Namun demikian, kejayaan warmindo tidak akan mudah tergantikan begitu saja karena alasan berikut ini:

Konsep Warmindo yang multifungsi lebih menarik

Sejak awal, warmindo memang membidik pasar perantau. Sedangkan perantau di Jogja didominasi oleh mahasiswa, mengingat banyaknya kampus unggulan di sana.

Mahasiswa punya kecenderungan makan yang berbeda dengan kaum pekerja. Mahasiswa punya lebih banyak waktu luang untuk mengobrol sembari mengisi perut. Kehadiran warmindo sanggup menjawab dua kebutuhan tersebut sekaligus. Jadi, bisa dibilang kalau warmindo itu tempat yang multifungsi. Bisa jadi tujuan nongkrong yang murah meriah sekaligus mengenyangkan. Cocok banget untuk kaum pas-pasan yang sulit menjangkau mewahnya café.

Sudah mengakar kuat dalam budaya Jogja

Tidak bisa dimungkiri bahwa warmindo sudah terlanjur mengakar kuat dalam budaya Jogja. Warmindo telah setia menemani hari-hari mahasiswa yang silih berganti setiap tahunnya. Setiap alumni dari kampus-kampus Jogja pasti pernah merindukan momen makan di Warmindo bersama teman-teman. Kemudian mereka akan mewariskan kultur tersebut ke generasi selanjutnya.

Ikatan emosional ini akan sulit digantikan oleh franchise warteg. Apalagi keberadaannya di Jogja masih seumur jagung. Tentu butuh waktu yang cukup lama untuk menyaingi Warmindo yang sudah begitu melekat dengan kehidupan mahasiswa Jogja

Pilihan menu di warmindo dianggap lebih aman

Sebenarnya warteg punya pilihan menu yang lebih beragam, membuat pembelinya tidak mudah bosan dengan menu-menu yang disediakan. Bonusnya, asupan nutrisi yang didapatkan lebih seimbang. Masakan warteg juga bisa menjadi obat untuk perantau yang rindu masakan rumahan. Di sisi lain, warmindo menyediakan pilihan menu yang lebih monoton. Variasi menunya tidak jauh-jauh dari mi instan, nasi, telur, ayam, dan sayur sekedarnya.

Dari segi menu yang ditawarkan, warteg jelas lebih unggul. Namun, tak jarang mahasiswa lebih suka makanan warmindo karena lebih simpel. Nggak perlu acara galau menentukan pilihan sebab pilihannya memang itu-itu saja.

Selain itu rasa masakan warteg bisa berlainan tergantung peraciknya. Berbeda dengan olahan menu di warmindo yang mengandalkan bahan-bahan instan. Rasa masakannya lebih jarang meleset meskipun diracik oleh tangan yang berbeda. Ya kecuali pesannya kayak magelangan yang mungkin punya rasa beda di tangan yang berbeda. Tapi ya nggak banget-banget sih perbedaannya.

Lagipula merantau adalah kesempatan untuk merasakan hidup bebas. Misalnya bisa makan mi instan yang konsumsinya dibatasi dengan ketat selama tinggal di rumah. Tapi ingat, harus tetap tau batasan ya.

Suasana yang lebih akrab

Warmindo terkenal dengan tempat duduknya yang menggunakan bangku-bangku panjang. Penataan tempatnya memungkinkan pengunjung untuk makan sekaligus nongkrong secara berkelompok. Agaknya tata bangku yang demikian sudah menjadi template yang populer dan digemari di Jogja. Mengingat warung prasmanan yang sudah eksis sebelum warteg juga mengadopsi pengaturan tempat seperti itu.

Warteg tidak menyediakan tempat yang demikian. Sedari awal warteg memang difungsikan sebagai tempat makan, bukan tempat nongkrong. Meja yang dibuat melingkari etalase menu membuat pelanggan sulit berlama-lama untuk mengobrol.

Tentu ini jadi pembeda dan keunggulan utama. Untuk orang yang hidup di Jogja, makan tak sekadar makan. Tempat makan adalah ruang interaksi sosial, jadi ketika tempat makan tak nyaman untuk bercengkerama, sulit untuk dilirik.

Ongkos makan yang cenderung lebih murah

Variasi makanan warteg yang beragam ternyata juga menjadi kekurangan baginya. Meskipun harganya murah, pembeli masih khawatir pengeluarannya membengkak lantaran lapar mata. Berbeda dengan makanan warmindo yang sudah pasti kombinasi lauknya. Misalnya nasi telur, isinya sudah jelas nasi, telur, tumis sayur, dan sambal. Paling-paling tambahannya gorengan. Nggak ada pilihan lauk lainnya yang bisa mendatangkan godaan hingga membuat kantong jebol. Maka dari itu makan di warmindo dianggap lebih aman dan murah saat kondisi berhemat.

Memang bukanlah perkara mudah untuk menyaingi kejayaan warmindo di Jogja. Namun tidak bisa dimungkiri bahwa kehadiran franchise warteg dan warung padang murah menjadi angin segar bagi para perantau. Minimal bisa memperkaya referensi tempat makan. Biar makanan yang dinikmati nggak itu-itu saja.

Tapi ya itu tadi, memperkaya referensi. Untuk bikin orang pindah ke lain hati, sudah bahasan yang berbeda.

Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Warmindo Generasi Tertua di Jogja yang 42 Tahun Menolak Jualan Lauk Kayak Warteg, Setia dengan Burjo dan Indomie

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version