Setiap tahun saya berlibur di rumah kakek yang ada di desa, namun memiliki pengalaman terlibat dalam hajatan adalah kesempatan yang langka. Suatu ketika, pernikahan sepupu saya diselenggarakan tepat saat musim liburan. Jadilah saya bisa terlibat langsung dalam acara sakral tersebut sebagai salah satu penerima tamu.
Soal prosesi adat di desa yang lebih lengkap, tentu bukanlah hal yang mengejutkan. Mengingat di desa masih banyak sesepuh yang merawat ingatan mengenai bagaimana pakem ritual yang seharusnya. Tentu saja hal ini juga diimbangi dengan kepatuhan generasi yang lebih muda kepada adat setempat.
Sedangkan di kota, menjalankan ritual adat sesuai pakem adalah suatu kemewahan yang langka. Selain minim peran sesepuh, soal kepraktisan dan bujet juga jadi faktor yang menentukan mengapa hajatan di perkotaan lebih ringkas. Makanya mendatangi hajatan di pedesaan terasa sangat menarik karena kita bisa sekaligus menyaksikan kemurnian budaya daerah.
Soal budaya rewang dan sinoman barangkali juga menjadi keunikan tersendiri bagi warga kota. Walaupun saya nggak terlalu heran untuk perkara yang satu ini. Sebab di perkampungan tempat saya tinggal, budaya rewang masih bisa dijumpai. Meskipun nggak ada acara njenang yang masih pakai tungku kayu bakar seperti di pedesaan.
Selain ritual adat dan tradisi rewang, ada 4 tradisi kondangan lain yang perlu diketahui orang kota biar nggak terlalu heran saat menghadiri kondangan di desa:
#1 Ada tukang undang
Saya sepakat dengan tulisan Mas Zaid Su’di beberapa waktu lalu tentang beratnya tugas tukang undang. Sebab di desa kakek saya, sistem serupa juga masih digunakan. Tukang undang ini memang harus mendatangi satu rumah ke rumah lain, masuk terlebih dulu ke rumah yang akan diundang, dan bercengkerama dengan pemilik rumah sambil mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan.
Sementara itu di tempat tinggal saya, perkara sebar undangan nggak perlu seformal itu yang penting undangannya sampai. Di kota, undangan bisa diberikan saat berpapasan di jalan. Bahkan kalau pemilik rumah sedang nggak ada, undangan bisa diselipkan di bawah pintu atau dititipkan pada tetangga sebelah. Dan ini sah-sah saja, nggak ada yang menganggapnya nggak sopan.
Sedangkan untuk kerabat dekat dan tetangga kanan kiri, undangan dihaturkan langsung oleh orang tua penyelenggara hajat. Tujuan lain dari undangan langsung ini adalah meminta kesediaan orang-orang terdekat untuk membantu kelancaran acara. Bisa sebagai tenaga rewang, ikut mengantar pengantin, atau menjadi petugas terima tamu.
Baca halaman selanjutnya
#2 Mencatat amplop kondangan di meja tamu
#2 Mencatat amplop kondangan di meja tamu
Datang membawa amplop atau kado seolah jadi tradisi kondangan yang sudah mendarah daging, baik bagi orang kota maupun orang desa. Kalau di kota, hadiah biasa dibubuhi nama orang yang memberikan. Tujuannya agar yang punya hajat tahu kalau kita sudah datang dan memberi sesuatu. Namun, ada juga yang nggak memberi nama pada hadiah atau amplop yang diberikan. Dan itu sah-sah saja.
Namun di desa, memberi nama pada amplop seolah menjadi keharusan. Sebab, nama pemberi amplop dan nominalnya akan ditulis dalam sebuah buku. Di desa kakek saya, hal seperti ini juga lumrah terjadi. Tujuannya jika suatu saat orang yang sudah kita undang mengadakan hajatan, kita bisa memberi hadiah lebih baik atau minimal setara dengan hadiah yang kita terima untuk menghindari memberi hadiah yang lebih rendah.
Uniknya, di desa, pencatatan ini dilakukan di meja tamu setelah undangan melenggang pergi meninggalkan meja tamu. Kadang malah ada yang dicatat langsung setelah sang tamu memberikan amplopan. Hal ini menjadi suatu kewajaran di sana. Mungkin maksudnya untuk memudahkan si pemilik hajatan biar bisa langsung istirahat.
#3 Bingkisan sembako dan hasil bumi
Tradisi kondangan di desa yang cukup mengejutkan adalah soal bingkisan. Jika biasanya hanya amplop dan kado yang dibawa sebagai bingkisan ke kondangan, maka lain cerita di desa. Di sana, kita bisa menjumpai ibu-ibu membawa sembako, tempe, seember tahu, telur, bahkan beragam sayuran. Saya cukup kaget saat pertama kali mengetahuinya. Bahkan di desa kakek saya sangat ngetren tas kondangan khusus untuk memuat sembako. Desainnya unik, ditambah ukiran nama si pemilik tas agar nggak tertukar dengan yang lain.
Mungkin karena di desa masih banyak orang yang menggeluti bidang agraris, makanya mereka bisa membawa hasil panen sendiri ke hajatan. Toh kebanyakan hajatan di desa juga masih menggunakan sistem rewang yang yang apa-apa dimasak sendiri, sehingga bahan mentah tadi akan sangat terpakai.
#4 Asul-asul nggak cuma sejenis
Di kota, sudah jadi tradisi sepulang kondangan kita akan mendapat kue kering atau roti dan suvenir sebagai ucapan terima kasih karena sudah berkenan datang. Sementara itu di desa, asul-asul nggak hanya sebatas kue-kuean dan suvenir. Ada asul-asul spesial berupa nasi berkat untuk undangan yang membawa bingkisan bahan makanan mentah.
Para penerima tamu harus jeli memperhatikan siapa saja yang membawa barang mentah dan mana yang bawa amplop atau kado. Informasi itu penting untuk menghitung berapa jumlah berkat yang perlu disiapkan oleh petugas dapur.
Tugas tukang masak dan orang-orang di dapur juga dobel. Mereka nggak cuma masak buat makanan di pesta, tapi juga masak dan meracik nasi berkat. Kalau lagi ramai, rasanya hectic banget harus mondar-mandir dari dapur ke meja depan.
Itulah tradisi kondangan di desa yang bikin saya dan mungkin orang kota yang baru pertama kali menjumpai pengalaman serupa. Sah-sah saja kalau heran, yang nggak boleh kan menghakimi tradisi yang berlainan dengan kebiasaan kita. Sebab, tiap tempat punya budaya dan standar moral masing-masing yang nggak perlu dibanding-bandingkan. Gitu.
Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kondangan Sendirian Itu Nggak Apa-apa, Penting Wani!