Berbicara tentang kuliner Jawa Tengah, khususnya Wonosobo, tentu tak dapat dilepaskan dari menu nasi megono (sega megana). Rekan saya, sesama cah Wonosobo, Mas Dhimas Raditya, sudah menjelaskan panjang lebar tentang kuliner ini di sini.
Sebagai penikmat nasi megono Wonosobo, setidaknya ada beberapa varian yang pernah saya jumpai. Secara sederhana, saya membaginya berdasarkan cara pengolahan, sayuran pelengkap, dan lokasi penjualan.
Tentang cara pengolahan, ada yang sudah ditanak (atau dikukus) dalam kondisi mixed dengan sayurnya. Jadi, nasi putih dicampur dengan sayur kubis tua dan berbagai bahan pendukung lain, dan ditanak bersamaan.
Keunggulannya, keseluruhan cita rasa sejati muncul dalam sajian yang begitu mengundang selera. Para generasi pendahulu begitu mengagungkan jenis megono ini. Katanya, inilah megono sejati.
Minusnya, bagi pihak penjual, tentu saja kalau dagangannya tidak habis, akan terbuang sia-sia, mengingat sayur-mayur yang digunakan mudah busuk. Jadi ya tidak efisien dari segi bisnis.
Sementara, kebanyakan penjual saat ini tidak mencampur nasi dan sayur mayur sedari proses menanak/mengukus. Biasanya nasi dan sayur disiapkan secara terpisah. Ketika ada pembeli datang, barulah nasi dicampur dengan sayur kubis/kol dan bahan pendukung lain. Kelebihannya, tentu bila ada sisa dagangan yang tidak habis, nasi putih masih bisa “diselamatkan”, untuk diolah dalam bentuk lain.
Kekurangannya, bagi para penikmat rasa, mereka berpendapat ada yang kurang dari rasa megono tersebut. Rasanya tidak senendang varian yang sudah dicampur sejak awal.
Selanjutnya, berdasarkan sayuran pelengkap, selain campuran sayur kubis tua (kol), dan parutan kelapa, ada yang menggunakan kecombrang sebagai penggugah selera. Sebagai orang Batak yang pernah menikmati nikmat kecombrang dalam arsik ikan mas, saya tentu lebih menikmati nasi megono yang menggunakan kecombrang. Aromanya lebih tajam.
Lantas, tentang lokasi penjualan. Di Wonosobo penjual kuliner ini begitu menjamur. Hampir di tiap desa ada setidaknya satu penjual nasi megono. Ada yang menjual di warung khusus, namun banyak juga yang menggunakan gerobak, sehingga pergerakannya lebih mobile.
Sehubungan dengan harga jual, semakin ke arah pusat kota, harganya relatif semakin mahal. Biasanya, harga pasaran kuliner ini biasanya sekitar Rp3000. Masuk area alun-alun, megono dibanderol mulai Rp4.000,00.
Oke, sekarang bagian rekomendasi nasi megono mana yang patut dicoba kalau Anda ke Wonosobo.
#1 Toko Djawa
Untuk varian kukus, yang nasi dan sayurnya sudah dicampur, Anda dapat mencoba nasi megono kukus di toko jajanan “Djawa”, pojokan Longkrang. Rasanya jelas nylekamin lah ya.
#2 Warung Bu Wal
Sedangkan bagi yang ingin mencoba varian yang dicampur dengan kecombrang, bisa menjajal megono di warung Bu Wal, daerah Kejiwan.
#3 Sudagaran atau Manglongsari
Kalau Anda termasuk orang yang tidak terlalu kebanyakan syarat untuk menikmati megono, Anda dapat menjajal di gerobak-gerobak pinggiran, area Sudagaran, atau di Manglongsari. Tentu saja selain itu masih buanyak penjual lainnya.
Oh ya, satu lagi. Sepanjang pengamatan saya, semakin ke sini, semakin sedikit penjual kuliner ini yang secara khusus hanya menjual menu nasi khas Wonosobo itu. Biasanya, selain menjual nasi megono, mereka juga menyediakan nasi kuning dan nasi rames sebagai menu alternatif. Kembali ke pembahasan tentang sayur yang dipisah dan tidak dipisah tadi. Kalau si pembeli memesan nasi megono, barulah nasi putih dicampur dengan sayur kol yang sudah disiapkan.
Lagi-lagi kembali ke selera, sih. Satu hal yang perlu diingat, tambahan tempe kemul hangat yang baru mentas dari wajan, kenikmatan kuliner ini makin berlipat ganda. Dan kenikmatan itu hanya dapat ditemui di Wonosobo. Nggak percaya? Datang saja dan buktikan.
Penulis: Yesaya Sihombing
Editor: Rizky Prasetya