Kayaknya mahasiswa Universitas Negeri Malang bakal kesel setengah mati kalau disodori pertanyaan-pertanyaan ini, deh.
Mahasiswa dan stereotip itu dua hal yang punya hubungan unik. Kedua hal itu sebenarnya tidak ditakdirkan untuk berkaitan terus-menerus. Tapi, kenyataan berkata lain. Mahasiswa dan stereotip nyatanya adalah dua hal yang entah mengapa selalu terkait. Apalagi kalau sudah spesifik berbicara mengenai mahasiswa dari kampus-kampus tertentu. Sudah pasti akan ada stereotip yang melekat.
Perkara mahasiswa dan stereotip nyatanya tidak berhenti di situ saja. Awalnya hanya stereotip, tapi lama kelamaan menjadi sebuah anggapan yang kadang suka salah kaprah. Dan anggapan yang kadang salah kaprah ini biasanya dibalut dengan pertanyaan-pertanyaan yang kelewat melelahkan untuk didengar. Itulah yang dialami—atau setidaknya saya alami beberapa kali—waktu saya masih berstatus sebagai mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM).
Kalau boleh jujur, UM itu sebenarnya bukan kampus yang asing di telinga kita. Bisa dibilang UM adalah kampus terbaik kedua di Malang setelah UB. Kampusnya besar, lokasinya di tengah kota pula. Pamornya nggak kalah sama kampus-kampus negeri di Indonesia. Secara peringkat, Universitas Negeri Malang ini bahkan masuk 15 besar kampus terbaik di Indonesia. Bahkan, untuk kampus bidang keilmuan pendidikan, kampus ini jadi kampus dengan peringkat teratas.
Sayang, fakta ini belum juga membuat orang-orang “mengenal” Universitas Negeri Malang dan mahasiswanya dengan tepat. Masih saja banyak orang-orang yang bertanya tentang UM dan mahasiswa UM, mempertanyakan tentang apa, gimana, bagaimana UM itu. Seperti beberapa pertanyaan di bawah ini.
Daftar Isi
#1 “UM itu Universitas Muhammadiyah Malang, ya?”
Ketika ditanya kuliah di mana dan dijawab kuliah di UM, beberapa orang pasti akan langsung mengatakan, “UM Universitas Muhammadiyah Malang?” atau “UM itu Universitas Muhammadiyah Malang, kan?”. Entah sudah berapa kali saya—atau beberapa mahasiswa UM lainnya—menerima pertanyaan seperti ini. Teknologi sudah semakin maju, informasi sudah terbuka lebar, tapi masih saja ada pertanyaan seperti ini.
Padahal, UM dan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini beda. Kampusnya beda, karakter mahasiswanya juga sangat beda. Satunya UM, satunya UMM. Yang satu kampus negeri, satunya swasta. Satunya punya jaket almamater merah, satunya biru tua. Satunya boleh gondrong, satunya tidak boleh. Benci banget pasti mahasiswa UM dapat pertanyaan begini. Saya saja dulu benci banget, kok. Capek menjelaskannya.
#2 “Kenapa singkatannya Universitas Negeri Malang singkatannya UM? Bukannya harusnya UNM, ya?”
“Universitas Negeri Malang kok disingkat UM? Bukannya UNM, ya?” Nggak sekali dua kali pertanyaan ini mendarat di telinga saya atau mungkin di telinga mahasiswa UM lainnya. Pertanyaan tentang mengapa Universitas Negeri Malang yang punya tiga kata, tapi disingkat menjadi UM saja (dua huruf), bukan UNM (tiga huruf).
Jawabannya sederhana: UNM sudah dipakai oleh Universitas Negeri Makassar. Nggak tahu kampus mana yang duluan pakai (karena UM dan UNM sama-sama berubah dari IKIP sejak Agustus 1999). Intinya, Universitas Negeri Malang itu singkatannya UM, bukan UNM. Kalau UNM itu sudah beda kampus lagi. Udah, jangan tanya perkara singkatan itu lagi.
#3 “IKIP, kan?”
Ini adalah pertanyaan yang kerap keluar dari mulut orang-orang tua, orang-orang yang kuliahnya di dekade 90-an atau di atasnya. Iya, sebelum menjadi Universitas Negeri Malang, dulunya kampus ini memang Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Bahkan UM lebih lama menyandang nama IKIP (sejak 1963-1999) ketimbang menyandang nama UM (dari 1999-sekarang). Tidak heran kalau masih ada pertanyaan seperti ini.
Namun, pertanyaan ini sudah tidak relevan lagi. UM ya UM, bukan IKIP. Kalau bicara IKIP di Malang, ada lagi kampus yang namanya IKIP, yaitu IKIP Budi Utomo Malang. Jadi, kalau sekarang ada yang tanya lagi apakah UM itu IKIP, jawabannya adalah tidak. UM ya UM, IKIP ya IKIP. Konteksnya sudah beda, entitasnya sudah beda. Kecuali kalau bicara kalian punya cukup banyak waktu dan tenaga untuk menjelaskan sejarah bagaimana transformasi UM dari IKIP. Saya, sih, males. Capek!
#4 “Kalau lulus mau jadi guru, kan?”
Kayaknya pertanyaan ini bukan hanya nggak disukai oleh sebagian mahasiswa Universitas Negeri Malang saja. Pertanyaan ini mungkin juga nggak disukai oleh mahasiswa kampus-kampus negeri yang dulunya bernama IKIP (UM, UNY, dsb.).
Pertanyaan ini juga masih nyambung dengan poin nomor tiga, terkait hubungan antara UM dan nama terdahulunya, yaitu IKIP. Sejak bernama IKIP hingga sekarang jadi UM, kampus ini memang didominasi oleh pendidikan guru. Banyak sekali “jurusan pendidikan” di kampus Universitas Negeri Malang ini. Tak heran jika banyak yang menganggap lulusan kampus ini pasti jadi guru.
Namun, nggak semua fakultas dan jurusan di UM itu adalah fakultas/jurusan ilmu pendidikan. Nggak semua mahasiswa yang kulian di UM itu pengin atau bercita-cita jadi guru. Ada banyak fakultas/jurusan non-pendidikan di UM.
Saya, misalnya, memilih kuliah di Sastra Indonesia (murni, non-pendidikan) UM dan tidak bercita-cita jadi guru. Makanya saya capek banget ketika ditanya kuliah di mana dan saya jawab kuliah di UM, terus ditanya lagi, “Kalau lulus pasti jadi guru, kan?” Nggak! Saya nggak mau jadi guru. Tentu bukan hanya saya yang mengalami ini. Ada banyak mahasiswa UM lain yang bernasib sama seperti saya.
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mungkin nggak disukai mahasiswa Universitas Negeri Malang. Mungkin nggak keseluruhan mahasiswa UM emosi sama pertanyaan ini. Tapi saya, yang pernah kuliah di UM, dan mungkin sebagian mahasiswa yang juga pernah atau masih kuliah di UM, nggak suka sama pertanyaan-pertanyaan ini.
Penulis: Iqbal AR
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.