Ada sebuah kelainan yang menurut orang-orang dampaknya bakal nggak bisa merasakan asyiknya bermain game Zuma, yaitu buta warna. Sialnya, saya terkena penyakit buta warna parsial semenjak lahir dan sering sekali menjadi bahan bully-an teman maupun sanak famili.
Yang membuat saya heran ialah bully-annya nggak dibarengi oleh literasi yang baik, seperti salah satu teman yang seenak jidat bilang bahwa saya cuman bisa melihat warna yang gelap-gelap.
“Eh, lo tuh buta warna? Pasti cuman bisa liat warna yang gelap-gelap doang ya? Apalagi kalau ngeliat masa depan, pastinya gelap juga dong? Bhahaha,” tuturnya.
Aduhhh, mama sayangeee….
Pernyataan tersebut, ya, sampe Ronaldo pindah ke Persija Jakarta juga tetep akan salah. Ya masak, sih, pengidap kelainan ini cuma liat benda yang gelap, emangnya mata kita lagi liat barang black market? Nggak ih.
Begini. Buta warna itu adalah suatu abnormalitas yang membuat mata menjadi sulit mengidentifikasi warna. Jadi, mata masih bisa liat warna cuman agak bias.
Kesulitan itu bisa disebabkan karena sel kerucut pada mata yang nggak mampu menangkap si spektrum warna. Alhasil, objek seperti warna seperti bendera merah putih pun bisa terlihat menjadi hijau putih. Penjelasan kompletnya sudah terdapat pada artikel Apa sih yang Dilihat oleh Mereka yang Buta Warna Parsial?.
Kurangnya pemahaman terhadap pengidap kelainan ini, baik dari informasi ataupun psikologis si pengidap, menimbulkan macam-macam stigma nggak enak pada pengidap. Untuk meluruskan stigma tersebut, saya mencoba menjawab beberapa berdasarkan pengalaman yang pernah saya alami.
#1 Nggak boleh jadi anak teknik
Dulu ketika masih duduk di bangku SMA, saya pernah berencana kuliah di jurusan teknik. Tapi, apa daya, saya yang baru mengetahui belakangan bahwa saya mengidap buta warna. Impian itu hancur. Dan yang ada malah munculnya perkataan dari orang sekitar, seperti:
“Orang buta warna emang nggak pantes buat masuk teknik.”
“Udah deh, lo lepas aja cita-cita lo.”
Mungkin, perkataan itu dilontarkan dengan nada yang begitu nyelow. Tapi bagi saya, dampaknya bisa sampai mematahkan semangat hingga mungkin terkena penyakit yang lagi ngetren di masyarakat, yaitu anxiety.
Tapi, jangan jadikan itu sebagai hal yang sifatnya pesimistis. Rupanya, setiap kampus memiliki kebijakan berbeda. Pada faktanya, nggak semua jurusan teknik nggak menerima mahasiswa yang buta warna.
Contohnya Universitas Brawijaya pada 2018, ada program studi yang nggak memerlukan surat keterangan buta warna, di antaranya teknik mesin, sipil, pengairan, perencanaan wilayah dan kota, industri, ilmu kelautan, dan masih banyak lagi tentunya.
#2 Sering maling sandal masjid
Kejadian itu terjadi ketika suatu waktu saya pulang dari masjid. Saat itu, saya pergi dengan menggunakan sandal berwarna merah tapi pulang-pulang menjadi sandal hijaunya Pak RT. Bukan karena niatnya nyolong, tapi emang karena salah ambil sandal yang warnanya mirip banget. Hehe.
Kemudian datang kabar simpang siur yang menuduh saya telah mencuri sandal tersebut. Sialnya, mulai dari kejadian itu, saya malah selalu terkena tuduhan jika ada sandal warga yang hilang. Huft.
Respons saya, ya, pastinya mangkel. Dan teruntuk masyarakat yang pernah menuduh saya, kalian sesungguhnya telah melakukan salah satu sesat pikir, yaitu fallacy of dramatic instance, di mana kalian cenderung hanya menganalisa suatu masalah sosial dengan menggunakan satu-dua kasus.
#3 Nggak bisa dapat SIM
Berkendara dan mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) itu hak setiap orang. Namun, dalam banyak kasus, pengidap buta warna dipersulit dalam membuat dan memperpanjang SIM. Di bagian ini sih saya nggak ada klarifikasi, tapi saya mau menggugat dikit.
Jujur saja, apa urgensi kami nggak boleh membuat SIM seumur hidup dan kenapa harus melewati tes Ishihara?
Saya tau lampu lalu lintas yang seharusnya merah-kuning-hijau akan menjadi hijau-oranye kuning di mata saya. Namun, jika masalahnya itu, solusinya kan bisa dengan menghafal penempatan warnanya. Mau itu lampu lalu lintas yang bentuknya vertikal ataupun horizontal.
Jadinya, kan, saya menjadi skeptis bahwa peraturan pembuatan SIM ini bisa saja merupakan bentuk dari agenda para elite pengusaha. Dan jika benar, masa iya selamanya saya harus memakai ojek online dan transportasi umum?
#4 Bodoh dalam bermain game
Dalam satu kasus, jika orang normal kalah bermain Winning Eleven, pastinya akan langsung menyalahkan stik game. Lain halnya dengan pengidap buta warna, mereka akan langsung menyalahkan kostum tim bola yang mirip satu sama lain.
Dari situlah muncul diskriminasi berupa olokan, “Ah, lo itu bukan buta warna, tapi emang dasarnya bodoh.” Sungguh kata-kata ini bikin hati nyesek sampai lubuk hati terdalam.
Eh, tapi tenang. Sekarang, para game maker sudah banyak kok yang sadar dengan kehadiran pengidap buta warna. Mereka telah memberikan fitur mode buta warna pada game.
Nggak jauh-jauh, game sejuta umat seperti PUBG dan Mobile Legends pun sudah dilengkapi oleh fitur colorblind ini. Hal tersebut mungkin juga dihadirkan alih-alih untuk menyelamatkan pengidap buta warna agar nggak terus-terusan main game bapak-bapak kantoran yang warnanya simpel, seperti Solitaire.
Terakhir, menjadi seorang pengidap buta warna bukanlah suatu hal yang dapat membuat kita putus asa, apalagi kalau sampai buat overthinking setiap malam. Intinya adalah ikhlas menerima dan bersyukur.
Selain itu, kalian yang punya teman buta warna juga tolong lah toleransinya. Pada dasarnya kan pem-bully lebih penyakitan daripada kami. Kalian mungkin anggap lucu tebak-tebakan warna yang sering kalian sajikan kepada kami, tapi kami lama-lama bisa muak juga.
Dan terakhir, untuk pemerintah, tolong sekali kalau bikin kebijakan jangan terlalu membebani pengidap buta warna.
BACA JUGA Kamu Kila Cadel Itu Lucu? Sembalangan! dan tulisan Fathur Rachman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.