Sudah 26 tahun saya tinggal di Palembang, dan nyatanya kota ini tambah bikin saya menderita setiap harinya. Bukan bermaksud untuk menjelekkan kota sendiri, ya. Tapi faktanya emang begitulah kondisi yang ada: penderitaan demi penderitaan silih berganti datang ke kota.
Di sini, saya akan memaparkan 4 hal yang bikin saya menderita tinggal di Palembang, meski saya tinggal di kota ini hampir 3 dekade.
#1 Kabut asap di Palembang yang bikin stres
Hal pertama yang membuat saya menderita ialah kabut asap yang menerpa kota Palembang. Kabut asap ini asalnya dari Ogan Komering Ilir—sebuah kabupaten yang tidak jauh dari Palembang—yang sedang mengalami kebakaran hutan dan lahan di sana.
Sejauh ini, sekitar sebulan terakhir, warga Palembang termasuk saya sedang tidak baik-baik saja kesehatannya. Lha gimana, hari demi hari kami menghirup udara yang berganti dengan asap karhutla. Bahkan kabut asapnya pun menutupi pandangan kami sehingga sulit untuk berkendara secara leluasa.
Walau sudah memakai masker, tetap saja kabut asapnya bikin pernafasan kami jadi bermasalah. Setelah seminggu kabut asapnya terbawa angin ke Palembang, kesehatan saya pelan-pelan mulai menurun: batuk-batuk, pilek, sampai akhirnya demam tinggi.
#2 Pemalakan berkedok jaga parkir
Hal kedua yang bikin saya menderita ialah pemalakan berkedok jaga parkir. Misalnya gini, waktu itu sedang viral es teler campur es krim, dan tempat jualannya tepat di samping jalan raya yang memang bebas parkir.
Waktu awal-awal beli, emang nggak ada pemungutan uang parkir di situ. Tapi semenjak esnya tambah ramai, kok tiba-tiba ada tukang parkirnya. Malah di sepanjang deretan pagar depan Universitas Muhammadiyah Palembang itu jadi banyak pungutan parkir yang entah untuk biaya apa.
Yang bikin saya menderita adalah paksaan tukang parkirnya. Mereka ini kalau nggak dikasih pasti akan memberikan ancaman fisik. Jadi daripada disebut tukang parkir, mereka ini lebih layak dipanggil tukang palak berkedok jaga parkir.
Baca halaman selanjutnya