Menjadi mahasiswa Sosiologi memang sangat menyenangkan. Bisa jalan-jalan penelitian lapangan, tugasnya bergaul dengan masyarakat, diskusi asah idealisme, dan lain sebagainya. Namun, menjadi lulusan Sosiologi, terutama yang murni, adalah sebuah penderitaan. Nggak hanya beban status sebagai sarjana yang dipegang, melainkan penderitaan mengenai keberlangsungan hidup ke depan.
Saya adalah seorang lulusan Sosiologi murni di salah satu kampus negeri di Surabaya dan saya merasakan banyak penderitaan yang nggak enak. Bahkan nggak cuma saya, kebanyakan teman-teman saya merasakan hal serupa sebagai lulusan Sosiologi. Berikut beberapa hal nggak enaknya jadi lulusan Sosiologi murni. Siapa tahu tulisan ini bisa jadi pertimbangan kalian yang pengin masuk jurusan Sosiologi.
#1 Sulit cari kerjaan
Tantangan terberat dan yang pertama kali ditemukan saat menjadi lulusan Sosiologi adalah perihal pekerjaan. Kalau boleh jujur, sebenarnya pekerjaan yang sosiologi banget itu adalah menjadi peneliti sosial, konsultan sosial, pemberdayaan atau pembinaan masyarakat, analis sosial, dan pengamat sosial.
Sayangnya, mencari pekerjaan yang sosiologi banget itu ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Sulit banget. Pekerjaan-pekerjaan yang demikian hanya akan ditemukan di lembaga pemerintahan atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) alias Non-Governmental Organization (NGO).
Jadi PNS sendiri sulitnya minta ampun. Itu saja bukaannya hanya setahun sekali. Jadi pegawai non-PNS di lembaga pemerintahan juga sedikit kesempatannya. Kebanyakan yang dicari untuk posisi non-PNS paling mentok ya pramubakti, security, dan admin.
Sedangkan lowongan kerja untuk lulusan Sosiologi di LSM sendiri sangat minim. Kebanyakan LSM mencari orang-orang yang memang sudah mereka kenal dan sudah jelas kemampuannya. Nah, lulusan yang masih fresh graduate tentu saja bakal kalah saing dengan mereka yang lebih berpengalaman.
Makanya jangan heran kalau kebanyakan lulusan Sosiologi murni jadi pengusaha, entah apa pun jenis usahanya. Kalau anaknya good looking, ya alhamdulillah bisa jadi pegawai bank, pegawai kafe, atau pegawai restoran.
#2 Lanjut S2 dianggap sebagai pelarian
Lantaran mencari kerja dengan bekal sarjana Sosiologi murni memang sulit, beberapa lulusannya memutuskan untuk lanjut S2 dengan konsentrasi yang sama, yakni Sosiologi. Pasalnya, kebanyakan lowongan kerja peneliti sosial itu mencari dari kalangan S2 Sosiologi, misalnya seperti litbang di stasiun televisi, lembaga survei, dan lain sebagainya.
Selain itu, setelah mendapatkan gelar magister Sosiologi, setidaknya ada potensi untuk menjadi dosen. Pasalnya, lulusan magister Sosiologi masih sangat minim sekali.
Sayangnya, setelah banyak lulusan Sosiologi murni lanjut kuliah di jenjang magister, malah ada omongan yang timbul dari masyarakat bahwa lanjut studi adalah sebuah pelarian dari sulitnya cari kerja. Saya sendiri mengakui itu, sih, tapi pelariannya untuk kehidupan yang lebih menjanjikan.
#3 IPK tinggi dan lulus cepat dianggap biasa
Jika anak IPS dianggap lebih rendah daripada anak IPA, begitu juga dengan lulusannya. Hingga saat ini, lulusan dari jurusan humaniora atau sosial masih dianggap rendah jika dibandingkan lulusan dari jurusan saintek.
Misalnya, ada lulusan humaniora dengan IPK 3,5, maka akan dianggap biasa saja lantaran jurusannya dianggap mudah. Sedangkan untuk lulusan saintek dengan IPK 3,0, biasanya akan disanjung-sanjung lantaran kuliahnya lebih sulit.
Begitu juga dengan masa kuliah. Sarjana humaniora yang lulus 3,5 tahun akan dianggap biasa saja lantaran kuliahnya dianggap mudah. Sementara sarjana saintek yang lulus tepat 4 tahun akan dianggap luar biasa karena kuliahnya rumit dan sulit.
Wahai orang-orang yang punya pola pikir seperti ini, kami di jurusan humaniora, terutama Sosiologi murni juga berat kuliahnya. Kami harus menghafal berbagai rumus statistik, mempelajari teori yang ruwet, terjun langsung ke lapangan, hingga punya bobot SKS yang sebenarnya sama dengan saintek. Kalian masih menganggap kuliah kami gampang?
#4 Dianggap pengin nyaleg
Sering sekali saya temui lulusan Sosiologi murni yang dianggap bakal nyaleg setelah lulus alias mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Stigma ini diperoleh gara-gara banyak banget baliho kampanye caleg yang bergelar S.Sos. Sehingga banyak orang yang memukul rata gelar S.Sos untuk mereka yang memang pengin nyaleg.
Padahal, gelar S.Sos ini bukan untuk lulusan Sosiologi saja, ada juga beberapa lulusan Ilmu Komunikasi yang pakai gelar S.Sos. Lagi pula lulusan Sosiologi nggak diperuntukkan jadi penguasa begituan. Kami justru diperuntukkan berbaur dengan masyarakat.
Buat kalian yang pengin kuliah jurusan Sosiologi, coba pertimbangkan dulu berbagai hal nggak enaknya jadi lulusan Sosiologi yang saya sampaikan di atas. Mumpung belum nyemplung, kaaan.
Penulis: Mohammad Maulana Iqbal
Editor: Intan Ekapratiwi