4 Cara Efektif Mengatasi Superiority Complex

4 Cara Efektif Mengatasi Superiority Complex

4 Cara Efektif Mengatasi Superiority Complex (Shutterstock.com)

Pernah dengar soal superiority complex? Superiority complex adalah kondisi di mana seseorang memiliki kepercayaan bahwa dirinya selalu jauh lebih hebat, benar, atau superior daripada yang lain. Mungkin kamu pernah bertemu dengan orang-orang berkarakter seperti ini, yakni orang yang sombongnya minta ampun.

Cuma sayang, klaim atau anggapan mereka seringkali tidak selaras dengan kenyataan. Misal, mereka selalu berpikir bahwa mereka benar, padahal kenyataannya belum tentu. Atau mereka senantiasa mengira bahwa keputusannya adalah keputusan paling bagus daripada keputusan milik semua orang, padahal kenyataannya tidak juga.

Makanya mispersepsi diri yang salah ini membuat mereka (penderita superiority complex) menjadi seseorang yang sulit menerima realitas. Yang kerap membuat mereka berpikir bahwa mereka adalah seseorang yang paling baik dalam konteks apa pun itu.

Dan kalau kamu punya teman seperti ini, saran saya cuma satu: banyak-banyak bersabar. Kenapa? Karena kalau kamu selalu mengajaknya berargumentasi untuk membuktikan bahwa mereka itu salah, yang ada nggak akan selesai-selesai. Sebab, mereka pasti nggak bakal terima. Jadi, anggap saja ini adalah pelatihan uji kesabaran.

Agresif karena merasa superior (Pixabay.com)

Tapi, lain cerita kalau kalau ternyata kamu sendiri adalah seseorang yang memiliki tanda-tanda karakter atau sikap seperti di atas. Buat kamu yang mau mengakui kesombonganmu kekurangan dengan berlapang dada, saya punya beberapa saran yang bisa kamu lakukan. Harap disimak baik-baik!

#1 Sadari dan terima kekuranganmu

Nggak ada manusia yang benar-benar sempurna. Jadi hal pertama yang harus kamu lakukan adalah dengan menyadari dan menerima bahwa kamu juga memiliki kekurangan, sama seperti orang-orang.

Dan saya rasa, kalau kamu sudah mau mengakui bahwa kamu adalah orang yang sombong kebangetan dan menyebalkan, maka kamu telah melewati tahap awal ini.

#2 Berhenti jadi perfeksionis

Superiority complex erat kaitannya dengan perfeksionisme. Seseorang meninggikan derajat lewat ucapannya itu bukan tanpa alasan, melainkan semuanya tentu karena sifat “kesempurnaan” yang melekat dalam diri.

Perfeksionis (Shutterstock.com)

Memiliki kepribadian perfeksionis sebenarnya nggak seratus persen salah. Tapi, jika pikiran “harus serba sempurna” malah mengganggu kualitas hidupmu, dan membuat kamu jadi membenci orang-orang yang lebih baik daripada kamu. Sebenernya, nggak ada salahnya juga untuk mengurangi kadar perfeksionis, atau malah hilangkan sama sekali.

#3 Belajar mengapresiasi orang lain

Kalau kamu sudah bisa melalui dua tahapan di atas, seharusnya langkah ini mudah untuk dilakukan. Meski begitu saya paham, mengapresiasi orang lain untuk beberapa orang memang susah-susah gampang. Nggak ada salahnya juga untuk saling menghargai.

Ketika kamu sudah berjuang keras untuk meraih sesuatu, yang kamu butuhkan adalah kalimat penyemangat dan apresiasi dari orang lain, kan? Nah, begitupun sebaliknya. Apa yang kamu butuhkan, sebenarnya juga apa yang dibutuhkan oleh orang lain. Jadi cobalah untuk belajar memberikan apresiasi-apresiasi kecil juga kepada mereka dengan tulus dan ikhlas.

Apresiasi (Pixabay.com)

#4 Learn to unlearn

Menurut Alfred Adler (psikologis asal Austria dan penemu studi psikologi individual), ketika seseorang tertekan dengan ekspektasi-ekspektasi di atas dirinya, secara ekstrem orang tersebut akan jatuh kepada: (1) pandangan diri yang rendah atau inferiority complex, dan (2) melebih-lebihkan kemampuan diri atau superiority complex. Apa maksudnya?

Alasan dari mengapa seseorang bisa berperilaku demikian adalah disebabkan kita sebagai individu memiliki tekanan untuk menjadi dan merasa signifikan (berguna) pada lautan manusia. Nantinya, kita akan mengalami apa yang dikatakan Adler dalam paragraf sebelumnya. Kalau nggak merasa inferior atau insecure, pasti merasa superior atau percaya diri berlebih demi melindungi harga diri.

Dan nggak jarang, tekanan atau ekspektasi-ekspektasi ini yang bikin kita jadi lebih mudah burnout. Oleh karena itu aku menyarankan kamu agar learn to unlearn atau “belajar kembali”.

Konsep ini bisa diterapkan ke dalam apa saja. Misalnya seperti belajar kembali mencintai diri, belajar lagi untuk mengenal diri. Atau belajar apa pun itu yang sebetulnya pernah kamu pelajari.

Kenapa? Karena sejatinya orang-orang yang memiliki superiority complex acap kali sudah merasa cukup hebat dengan ilmu yang dimiliki, sehingga tidak tertarik lagi untuk belajar. Oleh karenanya, tips terakhir ini akan sangat bermanfaat dalam mengatasi kondisi mental yang senantiasa merasa superior.

Itulah saran-saran sederhana nan efektif yang bisa saya berikan untuk kamu yang ingin hijrah menjadi lebih baik lagi. Saya optimis, mau sebejat atau semenyebalkan apa pun sikap seseorang, ia masih pantas diberi kesempatan kedua.

Penulis: Faizah Eka Safthari
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Inferiority Complex dalam Dunia Doktor: Inferior Boleh, Kompleks Jangan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version