4 Alasan Orang Malas Naik Transportasi Umum di Jabodetabek

4 Alasan Orang Malas Naik Transportasi Umum di Jabodetabek

Tak ada yang bisa membantah bahwa tingkat kemacetan Jakarta dan sekitarnya alias Jabodetabek sungguh luar biasa. Dalam berbagai kajian dan survei, Jakarta bahkan selalu masuk dalam daftar kota termacet di dunia. Bahkan, ia sempat beberapa kali menempati peringkat pertama.

Ngomong-ngomong soal kemacetan Jakarta dan sekitarnya ini, pemerintah sebenarnya sudah sering menyuruh warga Jabodetabek untuk lebih memilih naik transportasi umum. Tujuannya ya jelas, supaya mengurangi kemacetan.

Sebab, 30 orang yang ditempatkan dalam satu bus lebih sedikit memakan badan jalan ketimbang jika mereka semua bawa mobilnya masing-masing. Demikian juga 100 orang yang ada di dalam gerbong kereta tentu tidak menyebabkan macet dibanding jika mereka bawa kendaraan pribadinya masing-masing.

Tapi ada beberapa hal yang sering jadi penyebab orang malas naik transportasi umum di Jabodetabek. Di tulisan ini akan dijabarkan satu per satu penyebab berdasarkan pengalaman penulis.

Satu: Nggak Terhubung Satu Sama Lain

Di Jabodetabek ada beberapa layanan transportasi umum yang bisa dibilang sudah nyaman, aman, dan layak. Jelas angkot atau kopaja dan metromini butut nggak masuk hitungan. Yang masuk kategori di sini kayak Transjakarta, KRL Commuterline, atau MRT. Tapi disadari atau tidak, masih banyak rute-rute dari ketiga layanan ini yang nggak terhubung satu sama lain atau bahasa kerennya ter-in-te-gra-si.

Contoh, kalau kamu warga Ciledug yang doyan naik Transjakarta Koridor 13 yang jalannya layang itu, kamu pasti akan sadar bahwa nggak mudah untuk pindah ke MRT. Kalau dilihat di peta transportasi, layanan Transjakarta Koridor 13 bersinggungan dengan MRT di perempatan Kejaksaan Agung.

Tapi nggak ada halte TJ ataupun stasiun MRT yang lokasinya deketan. Kalau kamu mau pindah dari TJ ke MRT, kamu mesti jalan jauh yang lumayan bikin pegel kaki dan bikin basah kemeja kerja. Hal yang sama berlaku sebaliknya.

Denger-denger sih pemerintah lagi bangun jembatan penghubung yang akan mempermudah orang kalau mau pindah dari TJ ke MRT, begitu juga sebaliknya. Tapi nggak tahu juga kapan terealisasi. Mudah-mudahan sih secepatnya.

Dua: Akses Nggak Mikirin Wanita Hamil

Poin kedua masih ada hubungannya dengan yang pertama. Pasalnya, gara-gara kasus di poin pertama, layanan transportasi umum di Jabodetabek masih banyak yang nggak mikirin untuk penggunanya yang wanita hamil. Ataupun para lansia dan orang-orang berkebutuhan khusus.

Contohnya bisa dilihat di layanan KRL ke arah Bogor dengan TJ rute Manggarai-Stasiun UI. Kalau kamu naik TJ dari arah Pasar Minggu mau ke Depok, kamu akan sadar nggak mudah untuk berpindah ke KRL. Apalagi jika kamu adalah perempuan yang lagi dalam posisi hamil (pengalaman penulis saat nemenin istri hamil).

Bus TJ-nya sebenarnya berhenti di depan Stasiun KRL Tanjung Barat. Tapi buat masuk ke stasiunnya harus naik turun tangga penyeberangan yang tergolong tinggi buat wanita hamil. Bayangin aja masa wanita hamil disuruh naik turun tangga tinggi, bisa-bisa brojol tuh orok di atas jembatan!!!

Situasi yang sama juga terjadi saat bus berhenti di depan Stasiun Lenteng Agung. Sebab akses masuk ke stasiunnya cuma disediakan jembatan tinggi. Memang sih bisa nyelonong nyeberang di jalan, tapi masalahnya nggak ada zebra cross. Ya jelas lah rawan ditabrak. Apalagi wanita hamil kan nggak bisa jalan cepat-cepat.

Stasiun KRL yang ramah ibu hamil sebenarnya adalah Stasiun Universitas Pancasila. Sebab, akses masuknya nggak perlu naik turun jembatan tinggi, tapi cukup lewat zebra cross yang ada lampu merahnya. Tapi ajaibnya, bus TJ-nya yang nggak berhenti di situ. Malah lewat jalan lain~

Tiga: Waktu Tempuh Lama

Memilih naik transportasi umum bisa dibilang butuh pengorbanan dalam hal kenyamanan yang ada di mobil pribadi. Karena sudah rela berkorban kenyamanan, sudah selayaknya pengguna transportasi umum mendapatkan manfaat pengganti, yakni kepastian waktu tempuh yang lebih cepat.

Tapi kenyataannya, waktu tempuh transportasi umum kadang sama aja dengan kendaraan pribadi jenis mobil, bahkan lebih lama kalau pembandingnya motor.

Pengguna KRL dari arah Bogor mungkin sudah familiar dengan kereta yang harus tertahan lama setiap mau masuk Stasiun Manggarai, bahkan kadang-kadang bisa lebih dari 15 menit. Waktu terbuang gitu aja. Sementara kamu nggak punya pilihan selain bersabar karena nggak bisa juga turun dari kereta di situ. Emangnya angkot bisa turun sembarangan?

Kasus lain bisa dilihat di TJ. Kayaknya satu-satunya TJ yang rutenya steril cuma Koridor 1 yang lewat Sudirman-Thamrin. Selain itu, nggak ada sama sekali yang steril, termasuk koridor 9 yang lewat MT Haryono dan Gatot Subroto.

Di TJ koridor 9 ini, jalurnya benar-benar nggak steril. Banyak mobil dan motor yang bebas masuk. Akibatnya, bus TJ jadi ikutan macet. Selain koridor 9, masih banyak rute-rute TJ lain yang tidak steril sehingga bikin waktu tempuh jadi lama.

Buat apa coba, sudah naik transportasi umum masih harus ikutan macet dan lama di jalan? Mending naik mobil pribadi saja sekalian. Jelas adem dan nggak perlu desak-desakan kayak pepes di dalam bus.

Empat: Ongkosnya Mahal

Transportasi umum yang baik adalah yang bisa membuat orang beralih dari kendaraan pribadi. Tapi tujuan itu tentu nggak akan bisa terealisasi kalau ongkos untuk bertransportasi umumnya mahal. KRL sama TJ mungkin tarifnya sudah murah, tapi MRT belum.

Saat ini, tarif maksimal MRT Jakarta untuk sekali jalan adalah Rp 14.000 untuk jarak penuh dari Lebak Bulus ke Bundaran HI. Kalau bolak-balik artinya Rp 28.000. Iya kalau tempat kerja kamu masih di sekitar Bundaran HI dan rumah masih di sekitar Lebak Bulus. Kalau nggak, maka kamu harus merogok biaya tambahan untuk nyambung angkutan lain. Biasanya, sih, pilihan yang paling mudah ya naik ojek online.

Jadi bayangkan saja, sudah harus ngeluarin biaya Rp 28.000, masih harus ada biaya tambahan pula. Mungkin biaya segitu masih lebih murah buat pengguna mobil. Tapi nggak masuk akal buat pengguna motor sejenis Beat dan Mio. Karena dengan biaya segitu, mereka bisa buat ngisi 4 liter premium yang dipakainya bisa buat beberapa hari.

Mungkin ada yang bilang, “Kan MRT nyaman, wajar dong. Ada harga ada rupa.” Plis deh, transportasi perkotaan itu bukan transportasi antar kota yang memberi pilihan penggunanya untuk memilih mau ekonomi atau bisnis. Transportasi perkotaan apa pun itu sudah sepatutnya mengedepankan cepat, nyaman, dan murah. Karena memang tujuannya mengurangi macet, ya jadi dia harus punya keunggulan yang nggak didapatkan orang yang naik kendaraan pribadi.

Kalau memang untuk memurahkan biaya MRT butuh tambahan subsidi, ya mungkin ambil saja dari biaya jalan-jalan studi banding pejabat dan anggota dewan. Jadi biarkan mereka yang berkorban demi rakyat, jangan rakyatnya terus yang disuruh berkorban.

BACA JUGA Kasta Penumpang dalam Angkutan Umum atau tulisan Sadad lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version