Pariwisata Jogja bisa sesukses ini bukan tanpa sebab
Sebelumnya saya ingin klarifikasi dahulu. Saya adalah orang asal Magelang orisinil yang pernah mengecap romantisme Jogja. Dengan begitu sudah jelas bahwa saya tak ber-KTP Jogja. Nah, semoga dengan ini tak ada yang komen “KTP ngendi, Buos?” kecuali jika situ malas baca!
Didukung dengan memiliki bandara dan rajin digunakan sebagai spot syuting FTV, Jogja adalah salah satu dari penguasa utama pariwisata Indonesia. Sudah barang tentu menjadi magnet healing yang kuat. Bahkan, kawasan wisata yang berbatasan langsung dengan dirinya seringkali berkoalisi tanpa persetujuan. Buktinya adalah Borobudur yang masuk paket wisata Jogja. Cobalah ke sana, niscaya kaos bertuliskan Jogja akan mudah ditemui di hampir semua lapak cinderamata, sama mudahnya dengan menemukan kaos bergambar candi Borobudur. Bahkan jauh lebih mudah dari menemukan kaus bertuliskan Magelang Gemilang, secara memang tak ada yang jualan kaos macam itu.
Lho, kalian masih ragu dan merasa pariwisata Jogja itu biasa saja? Lha rumangsamu “Sesuatu di Jogja” itu sedang ngomongin apa? Pariwisatanya lah. Kayaknya.
Tentu muncul pertanyaan ini dalam sukma dan kalbu Anda. Apa yang menyebabkan pariwisata Jogja bisa sehebat ini?
Setelah menyelami makna dan tujuan hidup lumayan intens, saya sadar banyak faktor yang menyebabkan pariwisata Jogja bisa sesukses ini. Dari yang bisa terasa secara jasad, jiwa, dan sukma, semua rupanya ada. Ia punya resep rahasia macam krabby patty, yang sudah sepantasnya kita semua sadari sejak awal. Bahkan, Magelang mulai menerapkan resep yang hampir sama, layaknya Plankton yang berhasil mencuri resep rahasia. Dan agar wilayah Anda sekalian bisa seperti Jogja, persiapkan beberapa bahan berikut:
Pertama, menjunjung tinggi budaya. Ini adalah faktor yang bukan lagi terasa, namun menusuk ke dalam raga dan jiwa semua orang yang pernah menginjakkan kaki di Jogja. Baru masuk bandaranya saja, alunan gamelan sudah menyeruak ke telinga dan mampir hingga kalbu, sungguh sangat berbudaya. Jangankan gamelan, semua yang ada di Jogja bisa dianggap sebagai budayanya.
Sebut saja angkringan, bakpia, hingga profesi-profesi yang ada di sana. Mulai dari tukang becak, buruh tani, buruh gendong pasar, para pengamennya, dan lain sebagainya. Semua itu dianggap bagian dari apa yang membentuk Jogja hingga sekarang ini. Soal bagaimana kehidupan mereka, itu bukan fokus utamanya. Yang penting mereka dinarasikan sebagai bagian dari budaya Jogja. Apalagi peninggalan budayanya yang bersejarah macam tugu Jogja dan alun-alun, sudah pasti terawat dan direnovasi terus secara besar-besaran.
Kedua, humanis. Menyambung poin pertama tadi, semua yang dilakukan oleh pemerintahan Jogja semata-mata hanya untuk para penghuninya. Jogja katanya cocok untuk healing, meski saat saya tinggal di sana justru tak begitu. Ah, mungkin saya yang kurang cocok saja. Intinya, setiap kebijakan yang dibuat bertujuan untuk menyejahterakan rakyatnya. Terbukti dengan banyaknya dana keistimewaan yang terkuras untuk memperindah kotanya.
Semakin banyak yang diperbaiki, seharusnya warganya makin bahagia. Bukankah idealnya begitu? Semua lebih indah dan makin tertata, walau dalam hal ini saya meyakini banyak permasalahan yang lebih mendesak untuk dituntaskan ketimbang renovasi dan poles sana sini. Tapi, ini adalah usaha baik yang membuat Jogja semakin istimewa. Dengan banyaknya wisatawan, mereka berharap warga Jogja makin sejahtera. Meski survey menyatakan sebaliknya, pun UMR segitu-gitu saja, kita tak boleh melupakan prinsip narimo dan nderek Sultan. Kalau Sultan bilang baik-baik saja, ya, tinggal narimo ing pandum lagi.
Apalagi wisata di Jogja sangat menghargai para manusianya. Sebut saja patung buruh gendong, yang dianggap sebagai penghargaan akan profesi mereka. Belum lagi blusukannya para petinggi di kawasan pasar untuk bersilaturahmi dengan para warganya. Soal bagaimana kesejahteraan mereka setelah dibangunkan monumen dan bertemu petinggi hobi blusukan, itu nanti dulu. Karena kesejahteraan sering kali hanya bisa didapat dengan kerja nyata, tak bisa didapatkan dari monumen dan blusukan semata. Humanis itu tak hanya sekedar apa yang terlihat, namun harus benar-benar dirasakan. Tapi, saya sih, yakin Jogja tak seperti itu.
TLDR: sifat humanislah yang bikin pariwisata Jogja bisa sehebat ini. Oh, yang kalian lihat sebaliknya? Itu pasti ulah pendatang.
Ketiga, promosi yang hebat. Citra itu yang utama, karena itu adalah nyawa dari promosi. Jogja adalah kawasan healing yang telanjur dikenal seantero negeri. Ia dipromosikan sebagai kawasan wisata murah, berbudaya, romantis, tenang, ramah, dan hal yang baik-baik lain. Mana ada kejahatan serius di Jogja? Nggak ada. Klitih? Ah, itu sekarang jadi kejahatan jalanan biasa.
Lalu, agar semua bahan itu bisa matang dengan sempurna, harus dimasak dengan cara paling tokcer dan merupakan satu-satunya cara yang ada. Apalagi kalau bukan romantisisasi tanpa batas.
Itulah beberapa alasan pariwisata Jogja bisa sesukses ini. Diolah dengan sedemikian rupa, menjadikan kota ini akan selalu jadi jujugan para orang yang hidupnya healing-healing. Bahkan bisa dibilang, pariwisata Jogja yang bikin kota ini tetap kelihatan spesial di mata orang-orang. Kalau nggak, berita miring macam UMR rendah, ketimpangan ekonomi, keamanan yang dipertanyakan, dan tata kota semrawut sudah menenggelamkan kota ini.
Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mendukung Ide Hebat Rompi Penangkal Korupsi Ciptaan KPK