Perpisahan, dilakukan dengan cara sebaik apa pun tetap akan menimbulkan kesedihan. Itulah yang sedang dirasakan penggemar Valentino Rossi sekarang. Pasalnya, pembalap berusia empat puluh tahun tersebut resmi mengumumkan jika tahun ini adalah musim terakhirnya mengikuti gelaran MotoGP.
Secara pribadi, sih, saya merasa keputusan Vale (panggilan akrab Valentino Rossi) sudah tepat, mengingat beberapa tahun terakhir prestasinya terus menurun. Puncaknya terjadi pada musim ini, dia gagal finis sebanyak tiga kali dan hanya mengantongi tujuh belas poin. Hal itu membuatnya berada di urutan ke-19 dari 26 pembalap yang bertarung di kelas utama MotoGP tahun ini. Prestasi yang buruk dan tidak bisa dibanggakan sama sekali.
Akan tetapi, saya memaklumi kesedihan para penggemar karena Rossi tetaplah legenda hidup MotoGP. Selama kariernya, The Doctors (julukan Rossi) berhasil meraih sembilan gelar dunia. Satu gelar diperoleh dari kelas 125cc tahun 1997, satu lagi dari kelas 250cc tahun 1999 dan tujuh gelar didapatkannya dari kelas utama pada tahun 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2008, dan 2009. Rossi menempati posisi kedua sebagai pembalap dengan juara motogp terbanyak setelah Giacomo Agostini.
Selama dua dekade kariernya di MotoGP, Rossi adalah pembalap yang memiliki fanbase terbanyak di dunia. Sampai ada tribun khusus penggemar Rossi, seperti yang ada di sirkuit Sepang Malaysia. Sekedar informasi, tidak semua pembalap memiliki tribun khusus fans, loh. Di Sepang sendiri, hanya Marc Marquez dan Valentino Rossi yang memiliki tribun fans di sirkuit. Keberadaan tribun khusus adalah parameter tingkat kepopuleran pembalap tersebut.
Jika dilihat dari media sosial seperti Instagram, Valentino Rossi juga memiliki jumlah follower terbanyak di antara pembalap lain. Pengikut Rossi 10.9M, Marc Marquez 5.5M, Jorge Lorenzo 1.9M, dan Andrea Dovizioso 1.4M. Jumlah ketiga follower pembalap dijadikan satu sekalipun belum bisa menyamai jumlah penggemar Rossi. Saking populernya, sampai ada ungkapan, MotoGP tanpa Valentino Rossi bagaikan makan tanpa sambal, kurang nikmat.
Namun, keputusan sudah final. Tidak ada yang bisa dilakukan penggemar selain menerima keputusan idolanya dengan lapang dada. Daripada bersedih, mari kita coba memberikan saran kepada Rossi terkait profesi yang bisa dia coba setelah memutuskan pensiun. Menurut saya, sih, ketiga profesi berikut cocok dengan karakter Valentino Rossi.
Pertama, menjadi kreator konten. Kepopuleran Rossi di ajang MotoGP tidak hanya karena dia sering memenangkan balapan, melainkan juga kreatif mengelola penggemar. Asal tahu saja, Tavullia—kampung halaman Valentino Rossi—sampai disakralkan oleh para penggemarnya. Lebih dari 20.000 orang datang ke sana setiap tahunnya hanya untuk melihat tempat Rossi tumbuh dan berlatih balap.
Rossi sangat tahu bagimana caranya menyenangkan penggemar. Dia sering sekali melakukan selebrasi kemenangan dengan cara yang unik, kadang malah nyeleneh. Contoh selebrasi uniknya adalah berpakain Robin Hood di podium, berpura-pura menjadi narapidana, berdiri di atas motor sambil bergaya seperti sedang memainkan biola dan membonceng ayam. Rossi bahkan juga pernah selebrasi dengan adegan ditilang polisi usai finis terdepan di sirkuit Mugello pada tahun 2002.
Kepiawaian Rossi menarik simpati penggemar tentu saja modal yang menjanjikan bagi seorang kreator konten. Saya yakin, Rossi akan sukses jika menjadi kreator konten, bisa jadi mengungguli Atta Halilintar. Hehehe.
Kedua, wasit sepak bola. Valentino Rossi adalah orang Italia. Negara yang baru saja memboyong Euro 2020. Rossi juga menggemari Inter Milan dan berteman dekat dengan Materazzi. Sepak bola adalah olahraga yang dia gemari. Untuk menjadi pesepak bola profesional tentu saja tidak mungkin, selain dia tidak pintar bermain bola, usianya juga tidak lagi muda. Hehehe.
Akan tetapi, menjadi wasit patut dicoba. Meskipun kita melihat Rossi sebagai pembalap yang ceria, bagi sesama pembalap, Rossi adalah manusia temperamen yang suka menciptakan rivalitas. Dalam salah satu wawancaranya, Site Gibernau pernah berkata jika Rossi adalah pembalap yang suka menumbuhkan kebencian pribadi untuk mendapatka gelar juara dunia MotoGP.
Jadi, jangan heran jika Rossi memiliki banyak sekali rival, mulai dari Max Biaggi, Casey Stoner, Sate Giberneu, Jorge Lorenzo, sampai Marc Marquez. Menjadi wasit bisa digunakan Rossi sebagai terapi agar jiwa pemarahnya padam lantaran wasit dituntut untuk selalu tenang.
Menjadi wasit sepakbola memungkinkan Rossi banyak melihat rivalitas antar pemain di lapangan bola. Ada pemain yang pura-pura dijatuhkan lawan, ada yang saling lempar umpatan, bahkan ada juga yang sampai menggigit telinga lawan. Namun, semua itu hanya terjadi saat pertandingan dan dilupakan saat sudah di luar lapangan.
Semoga pengalaman menjadi wasit, bisa membuat Rossi menyadari kalau memiliki rival memang bisa membuatnya bersemangat, namun membiarkan rivalitas terus terjadi sampai di luar lintasan adalah kabar buruk. Jika sudah sadar, saya berharap Rossi menyampaikan pengalamannya kepada anak didiknya di akademi balap miliknya. Agar para pembalap di masa depan tidak memiliki hobi mancing kemarahan rider lain. Hehehe.
Ketiga, musisi. Mengapa musisi? Karena Rossi memang suka bermain musik terutama DJ. Dia sendiri mengakui, seandainya tidak menjadi pembalap dia ingin menjadi pemain musik di acara nikahan. Tapi, saya sarankan Rossi tidak menyanyi, sih, apalagi lagu berbahasa Inggris. Karena suara Rossi kurang sedap dan bahasa Inggrisnya—seperti yang kita tahu—buruk. Hehehe.
Meskipun tahun depan sudah pensiun, saya berharap Rossi tetap datang ke sirkuit Mandalika, Nusa Tenggara Barat. Ya minimal jumpa fans gitu, lho, hitung-hitung perpisahan secara langsung dengan penggemarnya di Indonesia. Bukannya sombong, gelaran MotoGP di Sepang Malaysia setiap tahunnya banyak diisi oleh penggemar Rossi dari negara kita, lho.
Ya kali, giliran Indonesia punya sirkuit sendiri, eh, Pakde Rossi pensiun. Kan nggaplei sekali~
Sumber Gambar: YouTube GoPro
BACA JUGA Tuan Rumah MotoGP dan Kekhawatiran Rossi Sakit Perut dan artikel Tiara Uci lainnya.