Mimpi keris berujung tesis. Rentetan mimpi mistis yang saya alami dimulai pada 2021, tepatnya di awal tahun. Entah mengapa saya bisa bermimpi seperti itu. Padahal, seumur hidup, saya tidak pernah bermimpi keris. Saya juga tidak tertarik dengan benda-benda yang berhubungan dengan “keilmuan”.
Sebenarnya ini merupakan pengalaman horor yang saya alami. Namun, menurut beberapa orang, ini merupakan sebuah pesan. Menurut saya, mimpi ini memiliki vibes yang campur aduk antara seram dan aneh. Sejak mimpi kayak gitu, tingkat kesensitivitasan saya bertambah. Saya hanya ingin sharing pengalaman mimpi aneh.
Mimpi mistis berujung tesis muncul antara Januari hingga Maret 2021
Sebelum memulai cerita mimpi keris, saya ingin sekadar memberikan informasi singkat. Saya lahir di Semarang, sementara almarhum bapak berasal dari Jawa Timur. Bapak saya merupakan salah satu tokoh penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bisa dibilang bapak saya ini menganut sebuah kepercayaan bernama Sumarah. Biasanya, memang bapak saya mengadakan doa di joglo rumah setiap 2 minggu sekali di hari-hari tertentu. Bapak saya ini memiliki kolega-kolega yang berhubungan dengan kejawen, seni, dan juga ada pemerhati keris. Beliau juga mendapatkan penghargaan dari Kementrian Kebudayaan dan Pendidikan pada 2021 sebagai tokoh kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mimpi pertama
Mimpi pertama yang saya alami berlatar belakang di sebuah hutan gelap ketika malam hari. Di dalam mimpi itu saya melihat ada sebuah joglo ya lumayan agak luas di tengah hutan. Joglo itu terlihat terang karena ada lampu di bagian teras dan juga di bagian dalam bisa terlihat dari jendelanya.
Suasana sekitar joglo tersebut seperti berasap atau berkabut. Saya bisa melihat dari luar kalau joglo itu seperti banyak orang, cuma tidak terlihat ada orang. Saya jadi bingung.
Saya mencoba melihat diri sendiri. Saya melihat saya mengenakan kebaya, tidak menggunakan alas kaki, mengenakan kain jarik berwarna cokelat, dan baju saya berwarna hitam. Semakin aneh ketika di mimpi itu saya merasa saya tahu harus ke mana dan melakukan apa.
Saya mulai berjalan ke arah joglo yang terasa asing itu. Saya sadar kalau itu bukan joglo yang ada di rumah saya. Setelah masuk ke area teras, saya melihat ada bapak dan juga seorang temannya. Saya tidak bisa mengingat wajahnya.
Bapak saya mengenakan pakaian adat Jawa, yakni beskap lengkap dengan blangkon. Baju bapak juga berwarna hitam dengan kain jarik berwarna cokelat. Tiba-tiba, bapak mengulurkan keris berukuran sedang kepada saya. Itu keris luk 13. Anehnya, tanpa ragu atau takut, saya mengambil keris itu dan membawanya ke dalam joglo.
Di dalam joglo, saya melihat ruangan luas. Di kanan dan kiri ada 2 patung berwarna abu-abu. Saya juga tidak bisa mengingat wajah kedua patung itu.
Saya berjalan menuju ke salah 1 satu patung dan seketika saya duduk dengan posisi seperti orang rakaat terakhir saat salat dan mengangkat keris tersebut dengan kedua tangan saya dengan ujung keris menghadap ke atas. Posisi saya pada waktu itu seperti menyembah patung tetapi tidak betul-betul bersujud. Begitulah mimpi pertama saya berakhir.
Setelah itu, saya terbangun dengan perasaan bingung dan takut. Saya langsung menemui bapak yang berada di teras. Saya menceritakan mimpi tersebut. Bapak saya mengatakan bahwa saya harus selalu ingat kepada Tuhan. Menurutnya, keris itu wujud objek hubungan manusia dengan Tuhan. Saat itu, saya masih tidak mengerti dan mengelak. Keris yang saya lihat di mimpi ternyata pernah dimiliki oleh bapak, tetapi sudah diberikan ke orang lain.
Mimpi Kedua
Mimpi kedua ini mungkin bisa dikatakan lebih ekstrem. Kali ini, saya mengalami apa yang disebut mimpi di dalam mimpi.
Jadi, dalam mimpi tersebut, saya sedang tidur di kamar. Saya terbangun karena sudah pagi. Sinar matahari menerobos masuk ke kamar. Tiba-tiba saya mendengar suara gamelan dari telinga kanan. Suara gamelan itu sangat dekat sekali seperti di sebelah saya persis. Tetapi, gamelan ini hanya berupa suara saja, tidak ada wujudnya.
Saya mencoba bangun, tapi badan saya berat sekali. Saya mencoba teriak tapi tidak ada suara yang keluar dari mulut. Saya akhirnya menangis tetapi tidak ada suara. Semakin saya berusaha berteriak, semakin keras suara gamelan itu.
Posisi saya masih mencoba bangun dari tidur itu dan pada akhirnya tiba-tiba badan saya bisa digerakan. Masih di dalam mimpi, dengan terburu-buru, saya bangun dari tempat tidur dan berlari ke lantai bawah untuk menemui bapak.
Bapak saya sedang di meja makan sambil minum secangkir kopi. Saya langsung duduk di sebelah bapak dan mulai bercerita.
“Ayah, aku tadi ketindihan. Ada suara gamelan di sampingku keras banget.”
Bapak saya terdiam sejenak lalu dan menjawab. “Iyo, koe wes ditandai.”
Saya bingung dan bertanya lagi.
“Ditandai apa?”
“Lha yo koe ki nek tuku keris ojo sembarangan”
Lalu saya bingung. Saya tidak pernah membeli keris.
“Maksudnya? Aku ora tau tuku keris, Yah.”
Mendengar jawaban saya, bapak lantas bergegas ke kamar dan membuka lemari yang biasanya digunakan untuk menyimpan keris. Bapak mengeluarkan sarung keris berwarna hijau lalu berkata, “Iki lho keris sing wes mbok tuku.”
Lalu saya menatap keris itu dan langsung mengelak.
“Mboh piye carane, aku rak gelem urusan karo sing ngene-ngene iki, Yah. Baleke wae.”
Bapak saya seketika menelepon temannya untuk membantu mengembalikan keris itu. Mimpi kedua selesai dan saya terbangun dari tidur dan segera berlari menemui bapak saya yang lagi-lagi sedang di teras rumah.
Anehnya, baju yang saya dan bapak kenakan sama dengan yang di mimpi. Saat saya menceritakan mimpi itu kepada bapak, dia saya tersenyum dan terdiam sebentar.
“Ya artinya kamu itu harus ingat sama Tuhan, jangan sama yang lain. Kalau ada apa-apa ya minta sama Tuhan, jangan menyembah yang lain,” jawabnya.
Saya heran kenapa 2 mimpi yang saya alami berhubungan dengan Tuhan. Memang, saya adalah orang yang malas berdoa. Saya juga tidak terlalu kuat memegang kepercayaan seperti itu. Menurut saya, keberhasilan seseorang bukan semata bantuan Tuhan, tetapi lebih kepada usaha diri sendiri.
Mungkin bapak saya menyuruh saya untuk tetap mendekatkan diri kepada Tuhan. Saya menjawab bapak seperti ini:
“Tapi, Yah, aku takut dan nggak mau kalau misalnya dikasih mimpi seperti ini.”
Ayah saya menjawab dengan tegas, “Harusnya kamu nggak boleh takut, wong dikasih kelebihan. Kamu itu sama kayak Ayah. Diterima aja”.
Mimpi ketiga
Setelah 2 mimpi yang aneh itu, saya jadi takut untuk tidur. Oleh sebab itu, saya terpaksa berdoa ala-ala saja. “Tolong jangan kasih saya mimpi aneh lagi. Saya mau tidur nyenyak.”
Mimpi ketiga tidak berhubungan dengan keris, tetapi masih berhubungan dengan “kemampuan” di luar nalar. Saya bermimpi ada bapak saya di hadapan saya dan bapak memberikan secarik kertas berisikan nama Tionghoa yang saya lupa, tetapi saya ingat ada 2 kata.
Di mimpi itu, bapak berpesan bahwa saya harus menyimpan kertas itu dan mengingat namanya baik-baik. Tentu saya nggak ngerti maksud bapak. Saya lantas membawa kertas tersebut dan mulai berjalan meninggalkan bapak. Saat berjalan, saya melewati jalan setapak yang berada di tengah 2 gedung bertingkat yang terlihat seperti sekolah.
Saat sedang melewatinya, tiba-tiba saja terjadi gempa bumi yang mengakibatkan 2 gedung tersebut runtuh. Pada saat itu, saya terbangun dari mimpi.
Saya terbangun dengan perasaan kesal karena selalu bermimpi aneh. Seperti sebelumnya, saya lantas turun ke bawah dan mencari bapak yang sedang berada di ruang tamu.
Saya bertanya, “Mimpi apa lagi ini? Kenapa Ayah ngasih secarik kertas isinya nama orang Tionghoa?”
Bapak saya tertawa sedikit lalu menjawab, “Kamu ingat namanya?”
“Enggak. Itu siapa, Yah?”
“Ada, teman Ayah. Dia berasal dari etnis Tionghoa yang ingin belajar Sumarah.”
Seketika itu saya kaget dan bingung. Semenjak mimpi ketiga itu ada dan dikonfirmasi langsung oleh bapak, saya mulai menerima itu semua. Saking tidak bisa melupakan ketiga mimpi tersebut, saya memilih topik penelitian tesis saya bertemakan ketis. Dan alhamdulillah, sampai pada detik ini, saya selalu dilancarkan dalam membuat penelitian tersebut. Saya juga semakin penasaran oleh pengetahuan berkaitan dengan keris, dan berniat ingin mempunyai keris yang mencerminkan diri saya.
Sebenarnya saya mulai memahami bahwa sebelum meninggal, bapak memberikan sebuah “hadiah” untuk saya. Hadiah yang diharapkan selalu menuntun saya untuk mengingat Tuhan.
Penulis: Gayatri Rachmi Agusti
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Pengalaman Masuk Grup Kejawen