Setahu saya, Roti’O selalu eksis di stasiun kereta mana pun. Bahkan setiap memasuki stasiun atau saat pertama melangkah keluar dari kereta api, hal yang paling cepat menyambut penumpang adalah aroma rotinya yang sangat menggiurkan. Penganan yang beraromakan kopi ini biasanya menjadi pilihan utama para penumpang untuk mengganjal perut sebelum atau selepas perjalanan. Nggak salah kalau Roti’O menjadi menu andalan yang identik dengan stasiun.
Konsumen yang selalu mengidentifikasi keberadaan Roti’O dengan stasiun, bisa dibilang merupakan akibat dari brand positioning yang dibangun oleh perusahaan Roti’O. Beberapa konsumen pun kadang bukan berasal dari kalangan penumpang kereta, melainkan orang luar yang sengaja datang ke stasiun lantaran tahu kalau Roti’O pasti dijual di sana.
Selain efek positioning tadi, banyaknya peminat roti kopi ini juga tak lain karena rasanya yang lezat dan ukurannya yang pas untuk mengisi perut. Namun kadang kala, para pembeli nggak tahu kalau ada beberapa kesalahan yang mereka lakukan ketika membeli Roti’O di stasiun, dan hal ini berdampak pada berkurangnya kenikmatan roti itu sendiri, lho. Kesalahan apa saja yang biasanya dilakukan orang tanpa sadar? Berikut penjelasannya.
#1 Beli karena tergoda dengan aroma
Sudah menjadi rahasia umum kalau daya tarik utama Roti’O adalah aromanya. Perpaduan antara wangi kopi dan mentega auto bikin otak mengaktivasi dorongan untuk membeli roti saat itu juga. Godaan untuk membeli pun semakin besar lantaran aroma khasnya benar-benar memenuhi seisi stasiun dari mulai pintu masuk, loket, hingga bagian dalam stasiun.
Kendati demikian, membeli Roti’O dengan alasan nggak tahan dengan aromanya adalah salah satu hal yang harus dihindari. Sebab, godaan aroma yang nggak diimbangi dengan perut yang kosong, akan membuat kenikmatan roti ini mendarat di hidung saja, nggak sampai ke perut. Dengan kata lain, kalau nggak laper, mending nggak usah beli.
Mengonsumsi satu Roti’O itu sudah cukup mengenyangkan, lho. Makanya kalau kondisi perut masih full tapi tetep maksain makan roti, ya jangan salahin kalau yang timbul justru rasa enek. Alhasil kamu bakal kurang mendapat kenikmatan mutlak dari Roti’O.
#2 Beli untuk dibawa pulang
Pembeli, baik dari kalangan penumpang maupun non-penumpang, kadang sengaja membeli roti kopi ini untuk dibawa pulang. Sebenarnya suka-suka mereka saja sih, mungkin mereka kurang nyaman makan langsung di stasiun atau lagi buru-buru pengin segera sampai rumah. Namun bukan itu poin pentingnya. Yang menjadi masalah di sini adalah Roti’O itu enaknya disantap selagi hangat. Kalau dibawa pulang, kemungkinannya cukup kecil untuk menjaga roti masih tetap hangat sampai tujuan.
Selain itu, perubahan suhu roti juga berpengaruh terhadap berubahnya tekstur dan ukuran. Saat roti keluar fresh dari oven, teksturnya empuk, butter di dalamnya masih lumer, dan ukuran roti masih mengembang sempurna. Beda kalau sudah dingin. Tekstur lembutnya sudah berkurang dan ukurannya cenderung mengempis. Kalau punya oven di rumah, mungkin akan jauh lebih baik jika roti kamu hangatkan kembali sebelum dimakan. Kalau nggak keberatan menyantapnya dalam kondisi dingin juga nggak masalah, rasanya nggak berubah, kok.
#3 Menyisakan remahannya
Roti dengan topping krim kopi ini punya tekstur renyah karena melalui proses pemanggangan. Dan karena toppingnya itu kering, wajar kalau kadang kurang melekat sempurna di permukaan atas roti. Nah, hal ini yang kadang membuat Roti’O selalu menyisakan remahan di dalam wadahnya yang terbuat dari kertas. Siapa pun yang punya kebiasaan membeli roti ini tapi selalu membuang remahannya, lain kali tolong jangan diulangi.
Karena topping garing dari Roti’O itu jujurly nggak boleh disia-siain, Gaes. Krim kopi yang dijadikan topping terus dioven sampai garing itu sumpah uenaaak pol. Pokoknya plis banget, jangan pernah memandang sebelah mata remahan Roti’O kalau nggak mau kehilangan sisa-sisa kenikmatan terakhir dari roti kopi ini.
Itulah tiga kesalahan yang kerap dilakukan namun jarang disadari saat membeli Roti’O. Meski demikian, semua itu kembali ke pribadi masing-masing, tugas saya pokoknya cuma mengingatkan.
Penulis: Adissa Indriana Putri
Editor: Intan Ekapratiwi