Beberapa waktu yang lalu, pondok pesantren saya mengadakan sebuah kegiatan. Setelah semua kegiatan selesai, Pak Ustaz mengajak anak-anak untuk melepas penat barang sejenak. Destinasi yang kami pilih adalah Pantai Pangandaran. Saya baru sekali ini mengunjungi pantai yang lekat dengan nama Ibu Susi Pudjiastuti.
Kami berangkat ke Pantai Pangandaran dari Purwokerto pada pukul 22.00. Dua kendaraan membawa rombongan pesantren. Paginya, sekitar pukul 07.00, kami sampai di tujuan. Setelah melepas penat di pantai ini, ada beberapa “kegelisahan” yang ingin saya bagikan kepada pembaca.
Daftar Isi
#1 Hotel di bibir Pantai Pangandaran
Saya merasa sangat kagum ketika melihat beberapa hotel di Pantai Pangandaran sangat dekat dengan bibir pantai. Sebelumnya, saya belum pernah melihat letak hotel sedekat itu dengan tepi pantai. Yah, maksimal saya hanya ke area pantai di Kabupaten Cilacap yang, di mana setiap tepi pantainya dipenuhi gubuk pedagang kaki lima.
Saya sampai membatin dalam hati, kok bisa-bisanya ada orang yang berani mendirikan hotel sedekat itu dengan pantai. Apa nggak takut kalau ombak sewaktu-waktu pasang dan badai menyerang? Apalagi kalau terjadi Tsunami, sudah pasti hotel itu akan disapu ombak.
Keberadaan hotel yang begitu dekat dengan pantai ini memang menguntungkan pedagang kaki lima. Mereka jadi bisa lebih dekat dengan calon konsumen. Namun saya hanya bisa berdoa. Jika Tsunami memang sudah kehendak Yang Maha Kuasa, semua orang di sana mendapatkan keselamatan.
#2 Diomeli penjual kopi
Bicara soal pedagang kaki lima, saya punya pengalaman yang menjengkelkan di Pantai Pangandaran. Jadi, begitu sampai di lokasi, rombongan kami langsung memutuskan untuk sarapan bersama. Kebetulan, kami sudah membawa bekal nasi kotak dari Purwokerto.
Selesai makan, saya bergegas untuk mencari penjual kopi. Maklum, saya terbiasa mengawali hari dengan secangkir kopi setelah sarapan. Setelah membeli secangkir kopi hitam, saya mencari view yang tepat untuk duduk sembari membaca buku.
Nah, kebetulan, saya tidak duduk di bangku di mana saya membeli kopi. Saya memilih duduk di bangku yang jauh dari rombongan. Maksud saya ingin menikmati Pantai Pangandaran sembari bersantai dengan tenang.
Baca halaman selanjutnya
Dimarahi ibu-ibu penjual kopi…
Baru beberapa detik menaruh pantat, ibu-ibu penjual kopi memarahi saya. “Mas! Jangan duduk di situ! Wong belinya di samping kok duduknya di tempat saya!” Omelan itu mengagetkan saya. Saya nggak mau bikin ribut dan membalasnya dengan senyuman.
Karena agak kesal, saya langsung pergi menjauh. Saya kira bangku di sepanjang Pantai Pangandaran adalah fasilitas umum. Yah, setidaknya, si ibu penjual kopi bisa “menegur” dengan lebih halus. Semoga tidak semua penjual kopi dan kaki lima di sana mempunyai sifat seperti si ibu, ya.
#3 Sampah yang mewarnai Pantai Pangandaran
Sudah hal lumrah jika sampah akan muncul di mana kerumunan berada. Apalagi di sebuah tempat wisata seperti Pantai Pangandaran. Masalahnya, sampah di sini berserakan dan tidak segera ditangani. Terlebih, kesadaran banyak orang Indonesia untuk nggak nyampah itu sangat rendah.
Apakah fenomena ini terjadi karena ketersediaan tempat sampah yang minim? Saya rasa nggak juga. Hal ini lebih kepada kesadaran masyarakat yang nol besar! Sungguh sangat disayangkan jika mereka yang berlibur bukannya menjaga lingkungan tapi malah mencemarinya dengan berbagai sampah plastik.
Ini kondisi yang tidak baik. Saya yakin pemerintah setempat sudah memikirkan solusinya. Sampah plastik itu akan sangat “mematikan” untuk ekosistem pantai. Sayang sekali, Pantai Pangandaran yang kaya potensi dirusak oleh sampah.
Itulah tiga hal yang membuat saya agak prihatin ketika menyambangi Pantai Pangandaran. Semoga ke depannya bisa kembali ke sini dengan keadaan yang lebih menyenangkan.
Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Tragedi di Balik Indahnya Wisata Pantai Pangandaran