3 Hal Lumrah bagi Pengemudi Jakarta, tapi Tidak Lumrah Dilakukan di Jogja

Ritual Memutari Ring Road Jogja, Wahana Pelepas Galau ala Muda-mudi Setempat terminal mojok.co

Ritual Memutari Ring Road Jogja, Wahana Pelepas Galau ala Muda-mudi Setempat terminal mojok.co

Saat pertama kali masuk universitas di kota Jogja, hal pertama yang bikin saya kaget adalah betapa tertibnya pengendara motor dan mobil di Jogja. Walau makin hari, teman kuliah saya yang memang warga lokal selalu mengeluh bahwa jalanan kota ini makin semrawut, ada perasaan bahwa sekacau-kacaunya jalanan Jogja, masih lebih mending dari Jakarta. Saya sebagai pengemudi Jakarta saksinya.

Mungkin bisa dibilang “cultural shock”, tapi setelah beberapa tahun kuliah di sini, saya sadar gaya mengemudi ala orang ibu kota nggak bisa diterapkan di Jogja. Dari situ saya lihat ada tiga hal yang bisa dibilang lumrah bagi pengemudi Jakarta, tapi bisa membuatmu diliatin sama pengemudi lainnya kalau hal “lumrah” itu dilakukan di Jogja.

#1 Helm hukumnya wajib

Kita semua tahu bahwa berdasarkan peraturan, helm itu wajib dipakai semua pengendara motor, baik pengemudi Jakarta, Jogja, dan di mana pun seluruh Indonesia. Cuma kalau meminjam bahasa anak Fakultas Hukum, itu das sollennya atau hukum tertulisnya saja. Das sein atau praktiknya, imbauan menggunakan helm di Jakarta lebih seperti sebuah panduan.

Kalau jaraknya jauh dan masih siang hari di mana kemungkinan razia polisi tinggi, hampir semua orang pakai helm. Namun, mulai masuk magrib saja, jumlah pengemudi Jakarta tanpa helm sudah bertambah. Masuk jalan raya yang lebih kecil lagi, kemungkinan bisa ketemu triple kill alias anak muda bonceng tiga tanpa helm. Fenomena yang belum pernah saya lihat di Jogja, tapi sering terjadi di jalanan kampung Jakarta.

Beda sama di Jogja, mau jarak dekat atau tengah malam pun, kebanyakan pengemudi motor tetap pakai helm. Alasan cuma ke minimarket atau panas nggak berlaku di sini. Bahkan saya sempat kena peringatan saat keluar ke minimarket pukul 23.00 tanpa pakai helm. Peringatan bukan dari polisi tentunya, tapi malah dari tukang parkirnya.

#2 Berhenti pada tempatnya dan jalan pada waktunya

Saya masih ingat pengalaman pertama saya hampir ditilang adalah saat saya dihampiri polisi yang menegur bahwa saya berhenti di zebra cross waktu lampu merah. Boro-boro berhenti di zebra cross, pengemudi motor Jakarta berhenti bisa di depan lampu merah. Belum lagi semakin lama lampu merahnya, pasti ada satu pengemudi motor makin maju ke tengah perempatan, diikuti sepuluh lebih motor lainnya. Bahkan di beberapa perempatan yang terkenal lampu merahnya lama seperti di Raden Intan, Jakarta Timur, setengah badan perempatan jalan bisa penuh puluhan motor.

Beda di Jogja, pengemudi bukan hanya berhenti di belakang zebra cross, tapi di belakang zona khusus sepeda kalau ada. Saya saja harus membiasakan mundur beberapa centimeter saat saat berhenti di lampu merah, maklum terbiasa kebablasan. Belum lagi membiasakan bahwa lampu kuning berhenti artinya baru bersiap untuk berjalan. Kalau di Jakarta, itu mah artinya antara langsung tancap gas atau tarik gas lebih dalam lagi.

Oh dan walau ada flyover, belum pernah saya lihat ada yang berhenti buat jualan kopi pakai motor dan melayani orang nongkrong malam minggu dari atas jembatan layang. Kira-kira bagaimana rasanya kalau jembatan layang Lempuyangan dijadikan tempat nongkrong kayak jembatan layang Klender ya?

#3 No salip menyalip club

Sekarang waktunya ngomongin pengemudi mobil. Walau gak punya mobil sendiri di sini, beberapa kali saya ikut kendaraan teman sekampus saya. Bisa diperhatikan pengendara mobil di Jogja cenderung enggan menyalip kendaraan lain. Kayaknya memang budaya ewuh pakewuh ala Jogja bisa dilihat sampai di jalan raya. Pengemudi Jakarta mah nggak gitu.

Kontras dengan bapak saya yang suka nyalip di jalan raya Jakarta, bahkan jika ada lebih dari 2 mobil di depan, gas saja. Lebih hebat lagi teman saya yang dari Sumatera. Saat pengemudi Jogja jarang membunyikan klakson, dengan beraninya dia menekan tombol klakson setiap mau menyalip. Gara-gara hal tersebut, saya sampai menolak naik mobil saat dia supirnya dan menyarankan motor sebagai moda transportasi yang lebih cocok bagi penikmat salip-menyalip.

Pengalaman ini membuat saya sadar bahwa efek peer pressure di jalan raya sama tingginya kayak di SMA. Kalau satu pengendara nggak pakai helm di area tersebut, yang lainnya ikut-ikutan. Satu orang maju ke tengah perempatan saat lampu merah, dan puluhan pengemudi lainnya ikut. Ada mobil satu nyalip, mobil dan motor lainnya ikut nyalip di belakang.

Akibat berkendara di Jogja, gaya berkendara saya juga jadi lebih halus dan tertib karena tekanan dari sesama pengemudi motor. Efek positifnya tentu membuat saya lebih sadar akan tata tertib lalu lintas. Cuma efek negatifnya, setiap balik ke Jakarta dan nongkrong bareng teman, saya merasa jadi yang paling lelet pas diajak jalan hehehe.

BACA JUGA 3 Rekomendasi Anime untuk Penonton Dewasa yang Bakal Mengubah Konsepsimu dan tulisan lainnya dari Raynal Arrung Bua.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version