Saat pertama kali mengunjungi Jogja, banyak hal yang langsung mencuri perhatian saya. Seperti halnya pengalaman awal di kota mana pun, ada kejutan dan pembelajaran yang datang dari berbagai aspek kehidupan lokal.
Tapi pembelajaran ini tidak sederhana, tidak sama sekali. Jogja sudah kesohor dengan banyak hal-hal indah yang disematkan padanya. Tak berlebihan jika ada yang bilang Kota Istimewa ini kota terindah di dunia, semua karena hal-hal yang dianggap dipunyai oleh Jogja.
Hanya saja, kedatangan saya ke Jogja mengubah hal itu semua. hal-hal indah yang disematkan di video romantisasi, dengan sound indah itu, menguap jadi mitos yang patah begitu saja.
Dan inilah 3 hal indah yang disematkan kepada Jogja, tapi kenyataannya jauh dari yang dicitrakan.
Daftar Isi
Biaya hidup di Jogja yang tidak murah
Mitos umum tentang Jogja adalah bahwa kota ini menawarkan biaya hidup yang sangat terjangkau. Hal ini memang benar dalam konteks tertentu, seperti harga makanan di warung-warung lokal atau biaya transportasi. Namun, realitas sering kali berbeda bagi wisatawan yang tidak familiar dengan harga lokal. Saya mengalami sendiri betapa mahalnya barang dan layanan yang ditawarkan di area wisata populer, seperti Malioboro.
Di Malioboro, misalnya, harga-harga yang tertera di lapak-lapak pedagang bisa melonjak tajam. Menurut pengalaman saya, harga barang sering kali dinaikkan hingga dua kali lipat dari harga asli untuk wisatawan. Tapi biaya hidup jelas tentang tidak bisa dilihat dari barang-barang di tempat wisata.
Sudah banyak artikel ngomongin biaya hidup Jogja yang memang mahal. Yang saya rasakan, Jogja tidak semurah yang mereka gemborkan. Tak bikin saya kecewa, tentu saja, tapi sedikit mengganjal mengingat kampanye ini begitu masif.
Isu intoleransi dan diskriminasi etnis
Selain aspek ekonomi, saya juga merasakan ketegangan sosial di Jogja yang berhubungan dengan isu etnis. Saya mengetahui adanya intoleransi dan diskriminasi yang kadang terjadi terhadap mahasiswa dan penduduk dari Indonesia Timur. Kasus-kasus yang melibatkan mahasiswa dari wilayah tersebut sering kali menciptakan stereotip dan prasangka di masyarakat lokal.
Diskriminasi ini bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari perlakuan tidak adil di lingkungan kampus hingga pengucilan sosial. Beberapa mahasiswa dari Indonesia Timur mungkin menghadapi tantangan tambahan dalam beradaptasi dan diterima di lingkungan baru mereka.
Masalah ini memang kompleks, tak bisa dipandang secara hitam putih. Tapi ya, tetap tidak sesuai dengan citra Jogja yang selama ini digembar-gemborkan.
Kesenjangan pendidikan di Kota Pendidikan
Jogja dikenal sebagai kota pendidikan dengan banyak perguruan tinggi dan institusi pendidikan yang berkualitas. Namun, saya juga menemukan kenyataan yang kontras dengan reputasinya sebagai kota pendidikan, yaitu kesenjangan dalam akses pendidikan. Meskipun ada banyak fasilitas pendidikan tinggi, banyak warga Jogja, terutama dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, yang masih belum mampu melanjutkan pendidikan mereka hingga ke jenjang kuliah.
Banyak anak muda di Jogja yang harus berhenti sekolah setelah menempuh pendidikan dasar atau menengah karena keterbatasan finansial atau kurangnya dukungan. Meskipun ada berbagai program bantuan dan beasiswa, tantangan ini tetap nyata dan memerlukan perhatian lebih dari pemerintah dan masyarakat untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk mengejar pendidikan tinggi.
Kunjungan pertama saya ke Jogja memberikan gambaran yang kompleks tentang kota ini. Baiklah, mungkin karena ini kedatangan pertama, jadi tak bisa saya ambil kesimpulan bahwa Jogja begini begitu. Tak bijak, tentu saja. tapi, ini harusnya jadi sinyal bahwa ada PR besar yang harus diselesaikan oleh pemerintah.
Maksudnya, jika saya yang datang pertama kali saja langsung tahu bahwa ada perbedaan antara citra dan kenyataan, bayangkan bagaimana penilaian mereka yang sudah hidup di sini lebih lama?
Penulis: Kholilatur Rahmah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jogja Mahal, karena yang Murah Hanya Upah Pekerjanya