Beberapa waktu lalu saat berkendara, tiap beberapa kilometer, sering sekali saya melihat ada layos atau tenda hajatan yang terpasang. Pertanda bahwa si pemilik rumah sedang punya gawe. Entah itu khitanan, pernikahan, ataupun tasyakuran. Mau nggak mau saya jadi teringat dengan selembar undangan pernikahan yang saya terima sekira empat hari yang lalu.Ah, saya jadi mikir. Apakah bulan Agustus dipercaya banyak orang sebagai bulan baik, sehingga banyak yang menggelar hajatan di bulan ini? Atau, pertanyaannya kita buat lebih spesifik, apakah worth untuk menggelar hajatan di tengah pandemi sekalipun?
Soal bulan baik ini, harus kita akui bahwa hal tersebut adalah salah satu kepercayaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat secara turun temurun, terutama masyarakat Jawa. Kalau menurut kalender Jawa, bulan yang dianggap sebagai bulan baik untuk melangsungkan hajatan adalah bulan Ruwah, Rajab, Syawal, Jumadil Akhir dan Besar. Nah, momen selepas Iduladha sampai pertengahan Agustus ini, termasuk bulan Besar dalam penanggalan Jawa. Konon, melangsungkan pernikahan di bulan ini bisa mendatangkan rejeki berlimpah dan hubungan rumah tangga yang terjalin pun akan senantiasa bahagia dan jauh dari masalah. Bisa jadi itulah sebabnya kenapa banyak layos terpasang beberapa waktu terakhir ini.
Masalahnya adalah, pandemi belum usai. Covid-19 masih jadi ancaman terbesar. Tapi, kenapa ada saja orang yang tak mau bersabar? Tetap menggelar hajatan di tengah pandemi dengan abai.
Daripada kusut dengan pikiran sendiri, saya mencoba untuk mengulik alasan dari beberapa kenalan yang diketahui menyelenggarakan hajatan di tengah pandemi. Siapa tahu bisa jadi semacam panduan biar kita bisa tahu isi kepala mereka.
Pertama, once-in-a-lifetime. Lagi-lagi, alasan momen sekali seumur hidup jadi pembenaran. Mulai dari dibela-belain bayar MUA mahal, latah wedding cinematic, dan sekarang… Tetap buka tamu meski tahu pandemi belum berlalu.
Oke, mereka buka jasa nggak masalah. Toh, menikah kan nggak mesti harus dirayakan. Dapur harus tetap mengebul.
Sebenarnya, kelihatan mendahului takdir nggak sih kalau kita menganggap pernikahan itu momen sekali seumur hidup? Keknya yakin banget bakal selama-lamanya sama dia. Padahal, lagi-lagi, bukankah umur, jodoh, dan rejeki itu rahasia Tuhan? Ya maaf, beberapa orang di sekitar saya, nyatanya, menjalani pernikahan seumur jagung. Itu menjadi bukti bahwa tidak ada yang benar-benar sekali seumur hidup dalam dunia ini. Jadi, buat apa diromantisasi? Lagi pandemi kayak gini loh, ya.
Kedua. Memenuhi keinginan orang tua. Nah, mantan murid saya yang bulan ini menikah, menyebut bahwa keinginan orang tua adalah alasan kenapa ia tetap menggelar pernikahan meski tahu kondisi saat ini masih pandemi.
“Saya anak bontot, Bu. Jadi bapak pengen banget pernikahan saya dirame-rame.” Begitu katanya.
Bahkan ketika saya tanya kenapa masih tetap menyalakan speaker, padahal yang saya tahu penggunaan speaker ini dilarang supaya tidak menimbulkan kerumunan, jawabannya sama: Keinginan orang tua.
“Lurahnya sih sudah wanti-wanti jangan pakai speaker. Tapi kalau mau tetap pakai speaker, terserah. Tapi lurahnya nggak mau tanggung jawab kalau ada apa-apa.”
Ketiga. Menghindari omongan tetangga. Jauh sebelum corona mengganas, terlebih dahulu kita mengenal cocote tangga yang nggak kalah cadas. Ibarat kata, tetangga adalah wartawan tanpa wawancara. Mereka bisa menyebarkan berita tanpa melihat fakta tapi berdasarkan apa yang mereka yakini. Maka coba bayangkan berita apa yang kiranya bisa tersebar ketika mereka tahu ada yang menikah tapi nggak rame-rame? Yap. Betul. Yang cewek dikira sudah hamil duluan. Dan yang bikin makin menyebalkan adalah, kejadian ini bakal terus diungkit-ungkit. Nggak sengaja ketemu di warung, diungkit. Papasan di gang, diungkit. Ungkit aja terus sampai Ikatan Cinta tamat!
Pada akhirnya, menggelar hajatan di tengah pandemi adalah sebuah pilihan yang bisa banget untuk kita tolak. Masa bodo dengan once-in-a-lifetime fafifu dan cocote tangga. Kalau soal keinginan orang tua, ayolah, masa sih nggak bisa dibicarakan? Gini loh, jangan sampai keegoisan kita menggelar hajatan di tengah pandemi menimbulkan klaster baru penyebaran Covid-19, yang kemudian bisa dijadikan senjata bagi Pemerintah untuk menyalahkan rakyat atas kegagalan penanganan pandemi. Dibilang rakyatnya nggak pada patuh. Hilih. Keenakan nanti mereka.
BACA JUGA Jangan-jangan Negara yang Sering Disindir Film India Itu Indonesia? dan artikel Dyan Arfiana Ayu Puspita lainnya.