Sebagai generasi 90an, saya ingat betul salah satu film paling berkesan yang saya tonton sepanjang hidup saya. Film itu adalah Petualangan Sherina. Saya tidak menontonnya di bioskop, hanya menontonnya di VCD beberapa bulan setelah tayang di bioskop. Yang membuat saya terkesan tentu saja adalah jalan cerita yang begitu indah tentang cinta dan persahabatan, lagu-lagu yang dibawakan Sherina yang sangat berkesan, dan juga Bandung—lebih banyak di Lembang sih—sebagai setting film ini yang membuat seolah saya ikut terlibat, padahal mah nggak sama sekali.
Petualangan Sherina menceritakan tentang Sherina Munaf yang baru saja terpaksa pindah ke Bandung karena ayahnya mendapatkan pekerjaan impiannya sebagai sarjana pertanian untuk mengurus kebun milik Keluarga Ardiwilaga di Lembang. Di sekolah barunya, Sherina bertemu dengan Sadam, anak paling nakal di sekolah yang ternyata anak bungsu dari Ardiwilaga.
Hal ini diketahui Sherina saat berlibur ke rumah Ardiwilaga sekaligus menemani ayahnya ke sana. Sialnya, dalam momen tersebut Sherina dan Sadam ini diculik oleh bos properti bernama Kertarajasa karena Ardiwilaga keukeuh nggak mau menjual kebunnya tersebut untuk dijadikan real estate. Singkat cerita, filmnya terus berlanjut dan berakhir bahagia. Katanya akan ada sekuelnya, tapi saya nggak akan bercerita tentang filmnya di tulisan ini.
20 tahun berselang dari kemunculan film ini, saya benar-benar melihat banyak sekali perubahan di Lembang, di tempat Sadam dan Sherina ini berpetualang di perkebunan dan hutan di kawasan tersebut.
Banyak Kertarajasa baru yang bermunculan di sana. Banyak sekali perkebunan warga Lembang yang saat ini berubah menjadi tempat wisata yang nggak ada unsur alam-alamnya sama sekali meskipun marketing dan brandingnya selalu menyebutkan wisata alam. Kalau nggak jadi tempat wisata, ya berubah jadi cafe, restoran, juga perhotelan. Benar-benar berubah deh. Kalau film ini dibuat pada 2021, Sherina dan Sadam nggak akan bisa lari-lari di perkebunan dan hutan karena lahannya sudah terlalu sempit.
Saking berubahnya, saat tidak ada pandemi, Lembang ini macetnya bisa bikin nangis, terutama bagi wisatawan dan juga warga Lembang itu sendiri. Akses menuju Lembang dari Kota Bandung hanya ada tiga, yakni via Jalan Setiabudi, via Ciumbuleuit (Punclut), atau via Jalan Dago. Ketiga akses jalan tersebut sangat sempit jalannya, hanya muat dua mobil saja. Belum lagi banyak sekali bus pariwisata dan truk yang melintas sehingga tambah macet. Setiap long weekend di luar pandemi, dari Lembang ke Bandung bisa memakan waktu lebih dari empat jam kalau pakai mobil. Motor tentu saja bisa lebih cepat. Warga Lembang juga nggak bisa ke mana-mana karena begitu keluar dari pagar rumah, sudah macet sejak siang sampai tengah malam.
Saking berubahnya Lembang atau Kawasan Bandung Utara dengan banyaknya pembangunan secara masif, kawasan Bandung, terutama yang berada di dataran rendah seperti Dayeuhkolot, Baleendah, dan Rancaekek pun selalu terendam banjir ketika musim hujan karena di fungsi kawasan konservasi (penahan laju air) di Kawasan Bandung Utara terganggu dengan masifnya pembangunan di sana.
Juga, meskipun Lembang selalu penuh oleh wisatawan di akhir pekan, yang bertambah kaya hanyalah para pemilik lahan besar saja. Warga Lembang sih cuma jadi pekerja aja di sana, ataupun memilih usaha dengan membuka warung dan kedai kecil saja. Yang punya tempat wisata besar ya tentu saja para pengusaha dan investor kaya raya seperti Kertarajasa dalam Petualangan. Sungguh tidak adil. Saat ini kerap disebut dengan gentrifikasi, seperti yang terjadi di Yogyakarta ataupun Bali.
Saya sendiri tentu saja tidak menyalahkan siapapun karena warga yang menjual lahannya tentu saja perlu uang. Warga Lembang yang membuka tempat usaha di sana juga tentu saja hanya ingin sesuap nasi. Tapi, ya pemerintah setempat harusnya tidak mengizinkan kawasan konservasi tersebut dibangun secara masif dong. Banyak banget bangunan tinggi di sana yang tentu saja menutup serapan air, jadinya kalau hujan, yang di bawah jadi kena imbasnya dari mulai banjir sampai tanah longsor.
Petualangan Sherina yang tayang pada 2000 seperti meramalkan kejadian 10 hingga 20 tahun kemudian yang saya tuliskan dalam tulisan ini, di mana banyak orang seperti Kertarajasa yang saat ini menguasai Lembang. Usaha sih boleh saja, tapi ya tanam pohon lagi dong yang banyak sebagaimana sebelum dijadikan bangunan bertingkat tersebut, jangan bisanya merusak lingkungan doang.
Mungkin nanti sekuel Petualangan Sherina bisa mengambil isu ini, di mana Lembang sudah benar-benar berubah, terutama dari aspek lingkungan hidup dan perekonomiannya. Saya percayakan saja untuk para sineas film tersebut untuk berkarya. Untuk Mas Riri Riza dan Mbak Mira Lesmana, kalau butuh pemeran utama setelah Derby Romero dan Sherina Munaf, saya siap kok!
BACA JUGA Persikab Kabupaten Bandung Mati di Tanahnya Sendiri dan tulisan Raden Muhammad Wisnu lainnya.