Ojol. Ojek online. Simbol zaman digital. Solusi modern untuk mobilitas kota. Menjadi pintu rezeki di tengah sulitnya cari kerja. Namun, hari ini, hidup profesi ini semakin memprihatinkan.
Bukan cuma soal cuan. Mulai dari harga diri, tenaga, notifikasi order, bahkan hingga nyawa. Sehari-hari adalah perjuangan.
#1 Ojol hidup dalam genggaman aplikasi
Aplikasi menentukan segala urusan ojol. Dari situ lahir satu realita: driver hanya angka dan titik hijau di peta. Yang ada hanya jarak, tarif, dan rating.
Setiap bunyi notifikasi adalah undangan sekaligus kutukan. Kalau diambil, artinya kerja keras. Kalau ditolak, artinya ancaman suspensi. Hidup driver dikurung algoritma yang dingin, tanpa hati.
#2 Tarif yang semakin turun
Dulu, katanya, tarif bisa bikin hidup layak. Sekarang, tarif makin tipis. Kilometer dihargai receh. Perjalanan jauh dibayar murah. Waktu habis di jalan, bensin terbakar, ban aus, tubuh remuk. Uangnya? Tidak sebanding.
Penumpang senang karena murah. Perusahaan senang karena tetap dapat potongan. Yang jadi tumbal? Driver ojol. Mereka sering pulang dengan kantong kosong. Kadang cuma cukup buat bensin dan makan seadanya. Kadang malah nombok. Semakin hari, semakin parah.
#3 Jalanan yang tidak pernah ramah
Ojol hidup di jalan. Jalanan kota yang menjadi kantor mereka. Tapi kantor itu penuh bahaya. Macet, hujan, panas, debu, knalpot, dan klakson. Semua jadi santapan harian.
Senggol dikit, jatuh. Salah belok, dimaki. Lambat sedikit, diklakson. Cepat sedikit, dikejar polisi. Jalanan tidak pernah ramah pada mereka.
Mereka harus menembus hujan deras. Menahan panas terik. Menghirup asap bus dan truk. Semua demi mengantar orang yang seringnya bahkan tidak menoleh wajah mereka.
#4 Status ojol yang setengah-setengah
Ojol bukan pegawai, tapi juga bukan pemilik. Mereka berdiri di ruang abu-abu. Tidak ada gaji tetap, jaminan, dan perlindungan yang jelas.
Kalau sakit, hilang penghasilan. Kecelakaan, tanggung sendiri. Motor rusak, repot sendiri. Mereka dianggap “mitra”. Kata yang manis, tapi kosong.
Mitra seharusnya setara. Tapi nyatanya, aplikasi adalah bos besar. Driver ojol cuma pasukan suruhan. Dari hari ke hari, status itu semakin menyiksa.
Baca halaman selanjutnya: Penderitaan ojol yang kamu harus tahu.
#5 Persaingan yang tidak ada habisnya
Jumlah driver ojol terus bertambah. Jalanan penuh dengan para driver dari berbagai aplikasi. Semua berebut order yang semakin tipis.
Kadang satu order diperebutkan belasan orang. Kadang nunggu setengah jam, tidak ada satu saja masuk. Persaingan semakin brutal. Sesama driver ojol akhirnya jadi musuh diam-diam.
#6 Penumpang yang semakin manja
Bukan rahasia lagi. Ada penumpang yang semena-mena. Seenaknya minta dijemput di gang sempit, batal tanpa alasan, dan memberi rating rendah.
Driver ojol tidak bisa melawan. Rating lebih berkuasa daripada suara. Rating buruk berarti ancaman putus mitra. Semua harus ditelan. Dari hari ke hari, perlakuan itu semakin menyakitkan. Ojol jadi pelayan tanpa hak protes.
#7 Beban psikologis ojol yang tidak terlihat
Banyak orang melihat ojol cuma dari luar. Jaket, helm, motor, senyum dipaksakan. Tapi tidak banyak yang sadar beban mental di balik itu.
Bangun pagi dengan ketidakpastian. Pulang malam dengan kelelahan. Nunggu order sambil dihantui pikiran: cukup nggak buat bayar kontrakan? Bisa nggak beli susu anak? Itu tekanan yang tidak terlihat. Tapi nyata. Pelan-pelan menggerogoti kepala para driver ojol.
#8 Identitas yang hilang
Sebelum jadi ojol, banyak dari mereka punya profesi lain. Ada yang buruh, pedagang, pegawai kecil. Semua punya identitas.
Begitu masuk dunia ojol, identitas itu hilang. Semua dilebur dalam satu seragam. Tergantung dengan aplikasi di mana dia bekerja. Tidak ada nama. Tidak ada latar belakang. Hanya “driver”.
Masyarakat memandang mereka dengan cara yang sama: tukang antar, jemput, kirim. Padahal setiap orang punya cerita.
#9 Ritual menunggu yang menyedihkan
Ada pemandangan yang sering terlihat. Driver ojol nongkrong di pinggir jalan. Duduk di atas motor. Pandangan kosong. Mata menatap layar HP. Menunggu order.
Menunggu itu jadi rutinitas. Rutinitas yang menyiksa. Tidak ada jaminan kapan order masuk. Hari-hari habis dalam menunggu. Waktu terbuang. Hidup jadi sekadar menanti bunyi notifikasi.
#10 Masa depan ojol yang samar
Dari hari ke hari, jadi ojol bukan makin jelas. Justru makin buram. Tidak ada kepastian jenjang, apalagi naik kelas. Tidak ada masa depan yang bisa dipegang.
Banyak driver ojol yang sudah bertahun-tahun, tetap di posisi yang sama. Tetap di jalan, dikejar order, dan dihantui suspensi.
Profesi ini lahir dari teknologi. Tapi juga terjebak di teknologi. Driver ojol hanyalah bagian kecil dari mesin besar. Mesin yang bisa kapan saja membuang mereka.
Itulah 10 potret menyedihkan dan memprihatinkan sehari-hari. Jadi ojol memang terlihat sederhana. Jaket, motor, aplikasi. Orang mengira mudah. Padahal di balik itu ada penderitaan yang tidak pernah selesai. Tarif makin tipis. Jalanan makin keras. Penumpang makin manja. Hidup makin susah.
Dari hari ke hari, jadi ojol itu semakin mengenaskan. Semakin menyedihkan. Dan ironisnya, semakin banyak orang terpaksa masuk ke dunia itu. Karena hidup tidak memberi pilihan lain.
Penulis: Marselinus Eligius Kurniawan Dua
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Satu Driver, Tiga Jaket Ojol: Bukti Penghasilan Ojek Online Makin Tak Bisa Diandalkan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
