MOJOK.CO – Bagaimana rasanya jadi anak yang dikasih nama cuma satu kata dan terdengar “old school” sekali? Dikira tua iya. Dikira ndeso? So pastiii~
Bapak saya petani sederhana di desa kecil pelosok Klaten. Saking sederhananya, saya cuma dikasih satu kata sebagai nama: Sugiyanto. Meski begitu bapak saya bukan satu-satunya yang kasih nama anaknya begitu.
Begitu banyak teman se-SD saya yang namanya juga begitu, seperti Sugiyono, Supriyanto, Sutaryo. Bahkan, kadang tiga murid sekelas namanya sama dan agar tidak tertukar harus ditambahi A, B, atau C.
Pembaca budiman yang punya nama lebih dari satu kata wajib bersyukur karena kamu mungkin tidak (akan) pernah mengalami hal-hal yang saya alami sebagai orang yang di lembar pertama paspornya tertulis FNU. Alias Family Name Unavailable.
Hal-hal yang saya ingin ceritakan ini terjadi ketika kuliah di Yogyakarta dan setelahnya, sebab di masa kecil dan remaja saya berkumpul dengan kebanyakan sesama pemilik satu nama juga sehingga semua terasa wajar-wajar saja.
Sebagai orang Jawa dengan nama yang sangat “Jawa”, saya merasa saya nggak jawa-jawa amat dan justru kerap mempertanyakan apa saya masih layak menyandang label itu. Soalnya, Macapatan nggak bisa, nabuh gamelan nggak mampu, apalagi baca naskah tulisan dengan hanacaraka. Ampun dah!
Akan tetapi, keraguan saya sendiri atas identitas kesukuan saya tumbuh kembali pada tahun 2005, ketika saya menjemput seorang berkebangsaan Australia di Bandara Adi Sucipto. Beginilah kira-kira percakapannya:
“Hello, Sir. Welcome to Yogyakarta. My name is Sugiyanto,” sambut saya pada si bapak paruh baya ahli biologi kelautan itu.
“Thank you. You must be Javanese,” balasnya.
“How did you know?” tanya saya.
Dia menyahut, “Your name starts with ‘S’ and ends with ‘O’. You know, like ‘Sukarno’ and ‘Suharto’. Just one name, right?”
Saya manggut-manggut dengan hati yang mongkok karena ke-jawa-an saya diakui dan sejak itu saya kembali bangga atas nama saya.
Jauh sebelum percakapan di atas berlangsung, ada satu kejadian yang meninggalkan luka batin dan mencederai kebanggaan identitas saya.
Awal tahun 2000-an, saya hendak menyewa beberapa keping VCD di salah satu persewaan di Jalan Kaliurang. Di depan kasir, saya ulurkan cakram berisi pilem barat itu untuk dicatat. Berhubung itu bukan kali pertama, mas-mas penjaga rental VCD tinggal mengetikkan nama saya sementara saya menunjukkan Kartu Mahasiswa.
Tak sampai dua detik kemudian dia bertanya, “Yang mana, Mas?”
Sederet nama, lebih dari tiga puluhan, baik yang sama persis (Sugiyanto) maupun yang cuman beda satu huruf (Sugianto) ada di layar. Nama saya ketemu setelah kami berdua mengurut berdasarkan alamat.
Pride saya sontak turun ke level medioker, macam AC Milan atau MU dalam beberapa dekade tahun terakhir. Benar bahwa setiap individu itu unik, tapi kalo di satu rental VCD saja kamu harus berbagi nama dengan 30 orang lain, saya ngerasanya kok I’m just one amongst millions. Hedeh, nggak cuma semenjana tapi udah nyaris nihil.
Dan dari situ saya merasa sedih, kenapa dulu Bapak nggak kreatif dikit aja sih?
Pengalaman unik lain soal nama satu kata dan sangat Jawa ini kembali terjadi pada musim semi 2009.
Dari Jakarta saya bertolak ke San Francisco (SF) dengan transit sejenak di Singapura. Hari Sabtu pukul dua siang saya berangkat dan tiba di sana Sabtu malam sekitar pukul delapan. Ini karena perbedaan zona waktu, padahal waktu tempuhnya lebih dari 20 jam.
Begitu memasuki terminal, mata saya tertuju pada salah satu dinding. Di sana tertera ucapan “Welcome” dan versi lain dalam berbagai bahasa. Tentu saja ada “Selamat Datang”. Simpel sih tapi membuat saya merasa diterima sama seperti warga dunia dari bangsa lainnya. Sayangnya perasaan itu tak bertahan lama.
Perjalanan panjang saya rupanya belum berhenti di situ. Ya, saya mesti menghabiskan dua jam tambahan di Bandara SF, yang tak lain dan tak bukan gara-gara nama.
Tiba giliran saya maju ke loket imigrasi. Saya serahkan paspor ke petugas perempuan yang bernama Thompson.
Dia bolak-balik melihat antara layar komputernya, lembar paspor, dan saya yang berdiri di belakang garis kuning sesuai perintahnya. Merasa ada yang tidak beres, saya memberanikan diri untuk bertanya.
“Is there any problem, Mam?”
“Yes. You have no surname.”
Saya menjelaskan bahwa saya dari Indonesia dan Kedutaan Besar Amerika tidak mempermasalahkan hal ini.
Belum sempat saya menjelaskan bahwa tradisi di belahan dunia selain Amerika, lazim belaka ada orang punya nama tanpa nama keluarga, sambil saya akan menghardiknya, “Don’t you know Soeharto? Soekarno?”
Namun sebelum kalimat itu keluar, petugas sudah menunjuk ke mana saya harus bergeser: Secondary Check Room.
“Mampus aku!” saya membatin. Hanya ada satu hal yang bisa saya bayangkan: Deportasi.
Beruntung, saya cuma “ditanya-tanya” hampir selama dua jam dan diperbolehkan masuk ke Negara Adigang Adigung Adiguna Adidaya itu. Koper hitam saya merupakan bagasi terakhir yang ada di conveyor belt yang entah sudah berapa lama berhenti berputar.
Saya menyeretnya sambil dalam hati menggerutu, “Oalah Pak, Pak! Kalau saja Bapak tahu yang barusan terjadi, Bapak dulu pasti akan bela-belain cari wangsit sebelum kasih aku nama!”
Cerita terkait nama juga muncul pada tahun 2017, kali ini karena nama saya terdengar sangat “old school”. Suatu ketika saya dihubungi Fakultas Ilmu Budaya UGM mengisi satu sesi persiapan wawancara kerja bagi adik-adik mahasiswa tingkat akhir.
Pada hari H, saya tiba di lokasi 30 menit sebelum jadwal acara dan menemui narahubung acara. Sambil tersenyum, beliau berujar, “Masih muda, toh, Mas. Kirain, hehe.” Sumpah, awalnya saya tidak paham dengan ketawa kecil—yang jebul penuh kepalsuan itu.
Nama saya memang edisi tua, kalau tidak bisa dibilang purba. Saya maklum saja atas respons si narahubung acara. Masalahnya, yang tidak saya sangka, begitu di dalam ruang acara, saya disodori lembar untuk saya tandatangani.
Nama saya sih tersurat dengan benar. Hanya saja, di depannya ada tambahan kecil: Drs.
Oalah, nggapleki!
Persoalan lain punya nama cuma satu kata adalah mengisi isian data di laman internet. Untuk mengakali isian berbasis internet yang mengharuskan dicantumkannya nama belakang, saya biasanya menuliskan nama saya dua kali: Sugiyanto Sugiyanto.
Sejauh ini tidak pernah timbul masalah. Sayangnya, trik ini tidak bisa diterapkan oleh bagian personalia kantor terakhir saya.
Di kantor saya dulu itu, nama keluarga tidak boleh dikosongkan sementara saya memang tidak punya. Akhirnya staf admin menaruh tanda dash: –. Sehingga, jika ada blast email dari kantor pusat di Washington, pada pembukaan email nama saya akan disebut begini:
Dear – ,
atau
Dear Mr. – ,
Tobat, punya bapak satu kok ya nggak visioner blaaas.
Bukan hanya soal sebelnya perasaan, tapi juga kadang rumitnya urusan teknis yang bikin saya nggak enak hati dengan teman saya.
Pernah satu kali bonus lembur teman sekantor malah nyelonong ke rekening saya. Saya dihubungi rekan admin bahwa ada kesalahan transfer.
Usut punya usut, teman saya juga “Mr. –” lainnya dengan nama satu kata yang dikasih oleh orang tuanya… ta daaaa… (((((Sugianto))))). Yap, hampir sama cuma tanpa huruf “y”.
Oleh karena itu, saya bubuhkan nama Bapak di belakang nama saya untuk artikel ini. Bukannya mau soksokan mau membanggakan Bapak, ini lebih agar Redaktur Mojok tidak harus berurusan dengan kepelikan yang tidak perlu soal nama saya. Tentu kalau tulisan ini dimuat.