Wisata-wisata sejarah cenderung sepi peminat karena dianggap membosankan: hanya melihat situs-situs, fosil-fosil, dan informasi sejarah yang sudah diulang berkali-kali di bangku sekolah. Namun, ada yang berbeda saat mengunjungi Situs Patirtaan Ngawonggo, Kabupaten Malang.
Wisata sejarah ini menghadirkan pola ketulusan dan keikhlasan dalam menyambut dan menjamu tamu. Tamu bebas untuk makan minum tanpa dipungut biaya.
***
Situs Patirtaan Ngawonggo berlokasi di Dusun Nanasan, Desa Ngawonggo, Tajinan, Kabupaten Malang. Rabu (11/1) pagi saya mengunjungi situs tersebut dari Kota Surabaya. Kondisi medan menuju ke situs ini relatif mudah dan bisa ditempuh dengan mobil maupun motor bahkan gowes jika bersedia betah mengonthel seharian.
Jamuan seadanya yang sama sekali tidak seadanya
Cara berkunjung ke Situs Patirtaan Ngawonggo berbeda dengan situs-situs lainnya, sebab untuk mengunjungi situs ini pengunjung harus melakukan reservasi minimal H-1 terlebih dahulu.
Reservasi diperlukan untuk persiapan jamuan yang akan disuguhkan kepada pengunjung. Hal inilah yang menjadi satu di antara sisi unik dan menarik dari situs ini. Situs yang mulai dikelola sejak tahun 2017 ini mengusung pola ketulusan-keikhlasan.
Maksudnya, pihak pengelola situs ini sama sekali tidak menarik tarif untuk setiap pengunjung yang datang, bahkan pengunjung yang datang akan dijamu dengan berbagai suguhan seadanya yang menurut saya, sama sekali tidak seadanya.
“Pengunjung yang ke sini tidak perlu membeli apapun di sini, sebab tempat ini bukan warung. Monggo siapapun yang mau datang ke sini dan akan kami jamu seadanya,” ucap Mas Yasin, salah satu pengelola situs ini. Kerendahan hati pengelola situs ini juga membuat saya takjub, karena suguhannya yang sangat tidak pantas disebut seadanya gegara kelengkapan semua jenis hidangan.
Mulai dari minuman selamat datang, makanan utama, makanan ringan, hingga teh maupun kopi hangat yang cocok dinikmati dengan suasana tempo dulu situs ini kapan lagi berwisata gratis sekaligus dijamu dengan paripurna?
Bagian ini yang saya sebut pola ketulusan, sementara pola keikhlasan saya temui dari Kotak Asih yang disediakan di dekat gapura selamat datang. Kotak Asih disediakan untuk pengunjung yang ingin berpartisipasi terhadap keberlangsungan Situs Patirtaan Ngawonggo.
Partisipasi ini bersifat sukarela, sehingga tidak ada penjaga maupun penarik tiket yang menjaganya. Selain itu, lokasi Kotak Asih juga jauh dari lokasi utama tempat menjamu para pengunjung. Jadi, pengunjung tak perlu sungkan jika memang tak ada ‘sesuatu’ yang ingin di masukkan ke dalam Kotak Asih.
Konsep Veganisme
Sejak pertama memasuki wilayah situs, suasana yang saya rasakan memang suasana khas tempo dulu. Di area parkir, tampak ada hiasan rangka layang-layang besar sebagai penunjuk arah jalan menuju lokasi situs. Kemudian melewati satu dua rumah warga khas pedesaan, lalu disambut jalan setapak berbatu rapi yang kanan kirinya dipenuhi hijau pepohonan dengan dominasi pohon bambu.
Tepat sebelum gapura selamat datang, ada semacam pos penjaga yang terbuat dari bambu. Di pos tersebut ada semacam plakat bambu yang tertulis Hanya diperbolehkan membawa makanan berupa buah dan sayur saja dan kamis libur, buka 09.00-16.00.
Ketika sudah masuk dan menikmati jamuan, saya sempat bertanya kepada Mas Yasin terkait peraturan tersebut. “Kami mengusung konsep veganisme yang artinya hanya mengelola makanan dan minuman non-hewani,” katanya.
Hal ini terbukti dari sajian yang semuanya berasal dari olahan tumbuh-tumbuhan, bahkan termasuk sarana dan prasarana. Tak hanya itu, Situs Patirtaan Ngawonggo juga meminimalisasi penggunaan listrik dan sampah plastik, sebuah langkah nyata dalam menjaga hubungan baik dengan alam.
Beberapa olahan makanan serta minuman yang disuguhkan adalah tomboan, nawonggo, apem, gatot, nasi jagung, pecel, lodeh, tempe menjos, serta teh dan kopi. Tomboan dan nawonggo sendiri merupakan minuman olahan rempah-rempah yang diberi tomboan dan nawonggo sebagai minuman selamat datang, di hotel-hotel disebut dengan nama welcome drink.
Sementara apem dan gatot menjadi jajanan/makanan ringan yang bisa dinikmati setelah atau sebelum menikmati menu utama/makanan berat. Apem merupakan jenis jajanan yang terbuat dari tepung beras, sedangkan gatot adalah jajanan dari olahan singkong yang diberi taburan kelapa yang sudah diparut.
Satu hal yang membuat menikmati makanan di sini sangat menyenangkan adalah suasana tradisional khas tempo dulu seperti di rumah nenek. Makanan juga disajikan secara prasmanan agar para pengunjung tidak merasa sungkan saat ingin menambah nasi, sayur, maupun lauk.
Seorang ibu-ibu yang berada di bagian dapur juga tampak sangat ramah menyambut saya. Ia berkata dengan senyum sumringah, “monggo mas, sekecaaken. Sampean tanduk, mboten usah sungkan. Nek ngersaaken kopi nopo teh sampean sanjang mawon.”
Setelah mengambil semua suguhan dengan tanpa sungkan, saya berpindah dari pawon dhaharan menuju area gubuk-gubuk tempat beberapa pengunjung yang sudah datang duluan menyantap makanan. Gubuk-gubuk ini dialasi sebuah tikar dengan hiasan tempelan-tempelan aksara jawa.
Makanan utama sudah habis, apem dan gatot juga bersih dari piring, kini waktunya menelusuri situs yang terletak di seberang gubuk makan. Lokasi situs dipisahkan sebuah sungai yang diberi nama Kali Manten.
Pesona Kali Manten dan mitos yang menaunginya
“Masyarakat sini menyebutnya Kali Manten karena dulu ada sepasang pengantin yang hanyut di sungai ini, namun pasangan tersebut tak pernah berhasil ditemukan,” tutur Mas Yasin saat saya bertanya tentang latar belakang nama sungai yang unik ini.
Kali Manten memiliki struktur yang unik, karena keberadaan batu-batu padas tinggi yang menjelma mirip green canyon. Hanya saja air sungai Kali Manten terbilang sangat dangkal hingga bagian dasarnya terlihat jelas. Keindahan Kali Manten menjadi pelengkap nuansa alam yang ada di Situs Patirtaan Nawonggo.
Bagian terpenting yang ada sekaligus dijaga di situs ini adalah area petirtaan yang berjumlah empat. Petirtaan ini diperkirakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur telah ada sejak masa peralihan Kerajaan Kediri ke Kerajaan Singasari berdasarkan hasil ekskavasi dan zonasi.
Kegunaan dari patirtaan ini dulunya adalah sarana peribadatan dan tempat bersuci. Menurut Mas Yasin, masih banyak pelaku-pelaku spiritual yang mengunjungi situs ini pada hari-hari tertentu.
Hampir seluruh ukiran di situs ini sudah terkikis karena bahan dari batu padas sendiri memang mudah terkikis. Satu di antara ukiran yang cukup jelas bisa dikenali adalah ukiran makhluk mitologi Ghana.
“Ghana berbentuk seperti seorang raksasa dengan tubuh pendek yang mengangkat dua tangannya ke atas seolah sedang menyangga. Oleh sebab itu, Ghana dianggap sebagai penjaga kesucian candi dari orang orang yang berniat buruk,” jelas Mas Yasin.
Karena dulunya digunakan sebagai tempat ibadah dan mensucikan diri, siapapun yang memasuki area situs harus melepas alas kakinya. Selain itu, perempuan yang sedang datang bulan dilarang memasuki area patirtaan.
“Air di patirtaan ini tidak seperti di patirtaan lain yang memiliki khasiat memudahkan jodoh atau sejenisnya. Kami selaku pengelola lebih ingin menggiring pengunjung untuk memahami bahwa air di patirtaan ini memiliki khasiat dalam hal kesehatan karena berasal langsung dari sumbernya,” kata Mas Yasin menambahkan.
Ketika hari mulai memasuki waktu zuhur, saya pamit undur diri kepada Mas Yasin dan ibu-ibu yang ada di area pawon dhaharan untuk mengucapkan terima kasih dan sampai bertemu kembali. Terima kasih atas ketulusan sekaligus kehangatan dan harapan untuk perjumpaan yang lain di waktu-waktu yang akan datang.
Penulis: Akhmad Idris
Editor: Agung Purwandono