Griya Welas Asih didirikan Rosalia Amaya bersama sahabatnya sebagai rumah singgah bagi perempuan korban perkosaan. Kehadirannya jadi ruang aman bagi ibu hamil tanpa suami untuk terus melanjutkan hidupnya.
***
Sabtu itu (29/2) pukul 10.00 WIB, kala matahari mulai meninggi di Kota Semarang, saya mengunjungi sebuah rumah yang di depannya terpampang papan putih dengan corak ungu berpadu merah muda bertuliskan Rumah Singgah “Griya Welas Asih”. Lokasinya tak jauh Tugu Muda Semarang serta Lawang Sewu.
Lantai dengan keramik lawas menyambut saya kala memasuki Griya Welas Asih. Ketika masuk ke dalam, pohon cemara yang dibuat dari sejumlah foto nampak menghiasi sudut rumah. Foto-foto itu ditata rapi, potret bayi mengisi setiap bingkai foto yang disusun menyerupai pohon cemara itu. Ketika tengah fokus melihat detail ratusan foto tersebut, suara tangis bayi memecah konsentrasi saya.
Suara tersebut menyeruak dan terdengar hingga ke seluruh sudut rumah berwarna kuning yang saya datangi di jalan Seteran Tengah nomor 52, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang itu. Saya pun mencari-cari asal suara rengekkan bayi tersebut sampai ke ruangan tengah, di sana, empat perempuan belia sedang duduk melingkari meja makan sembari berbincang satu sama lain.
Sapaan ramah seorang wanita paruh baya berkacamata berkulit kuning langsat menyambut saya. Wanita itu tak segan dan mempersilahkan saya untuk duduk. Namanya Rosalia Amaya (55), ia merupakan penggagas Rumah Singgah Griya Welas Asih. Kami pun berbincang sembari duduk di kursi panjang berwarna coklat berbalut kulit sintetis.
Sembari menimang bayi perempuan yang belum genap berusia 3 bulan, Rosalia mengatakan tangisan tersebut berasal dari bayi yang tengah ia timang-timang. Saya pun dibuat tertegun kala Rosalia menceritakan bayi di hadapannya bukanlah anak kandungnya, melainkan anak asuhnya.
Meski bukan darah dagingnya, Rosalia menganggap bayi yang belum genap 3 bulan itu layaknya keluarga sendiri. “Bayi ini memang bukan darah daging atau anak keluarga saya, namun sudah saya anggap seperti cucu saya sendiri,” ucap Rosalia sembari memanjakan bayi tersebut.
Dalam benak saya bertanya-tanya, kalau bayi itu sudah dianggap seperti cucunya sendiri, berarti orang tua si bayi bukan anak kandung Rosalia. Rasa penasaran pun muncul, tak pikir panjang saya pun memberani kan diri untuk bertanya lebih dalam mengenai kegiatan yang ada di Griya Welas Asih.
Hal itu lantaran ada satu bayi, dan tiga perempuan hamil di dalam Rumah Singgah Griya Welas Asih, serta puluhan foto bayi yang dibentuk menyerupai pohon cemara. Jawaban yang saya dengar langsung dari Rosalia pun membuat saya tertegun cukup lama. Pasalnya, ia mengatakan Griya Welas Asih merupakan rumah aman bagi para perempuan yang hamil tanpa suami.
“Rumah Singgah Griya Welas Asih ini saya dirikan sejak 2018 lalu bersama Ruth sahabat saya. Tempat ini merupakan rumah aman bagi para perempuan yang hamil tanpa suami, serta mereka perempuan yang menjadi korban pemerkosaan lantas hamil dan tidak diterima oleh keluarga atau masyarakat sekitar,” jelasnya.
Penolakan dari masyarakat
Rosalia lantas bercerita, perjalanan mendirikan Rumah Singgah Griya Welas Asih tak selalu berjalan mulus, karena acap kali mendapat penolakan dari masyarakat. Bahkan, saat berencana mengontrak rumah untuk dijadikan rumah singgah bersama sahabatnya Ruth di sekitar Semarang Barat, tokoh masyarakat secara terang-terangan melayangkan penolakan.
“Harapan saya waktu itu sempat pupus, lantaran tokoh masyarakat dan warga sekitar beranggapan bahwa rumah singgah yang saya kelola akan menimbulkan keresahan di lingkungan sekitar,” katanya.
Meski mendapatkan penolakan, namun keyakinan dan tekad kuat Rosalia, mendorongnya untuk mendapatkan rumah kontrakan dengan lingkungan yang bisa menerima kondisi anak asuhnya. “Waktu awal cari rumah kontrakan sempat dapat penolakan dari RT, karena saya cerita rumah yang akan saya kontrak akan dijadikan rumah singgah untuk perempuan hamil korban pemerkosaan dan hamil tidak ada suami. Tapi ditolak Ketua RT karena ditakutkan akan menjadi aib di lingkungan sekitar,” tutur Rosalia.
Dari perjuangannya untuk membantu korban pemerkosaan dan hamil tanpa suami yang tidak diterima keluarga, Rosalia pun akhirnya mendapatkan tempat di daerah Tanjung Emas Semarang Utara. “Pada 2018 lalu, Griya Welas Asih menempati sebuah rumah petak di sekitar Tanjung Emas. Saat itu saya masih mendampingi dua perempuan yang tengah hamil tua,” lanjutnya.
Kegigihan Rosalia untuk mencarikan ruang hidup yang aman dan layak bagi anak-anak asuhnya pun tak berhenti sampai di situ. Tahun 2019 lalu, Griya Welas Asih kembali pindah, bahkan mendapatkan rumah secara sukarela dari seorang dermawan, yang mau meminjamkan rumahnya untuk dijadikan rumah singgah.
“Saya sangat bersyukur sekali dan selalu berdoa agar anak-anak asuh saya dapat tempat yang layak. Dulu sempat kontrak di Semarang bawah tapi rumahnya kecil. Rumah yang ditempati sekarang itu berkat bantuan dari donatur, yang mengizinkan rumahnya untuk ditempati tanpa minta imbalan,” ucap Rosalia dengan mata berkaca-kaca.
Kegiatan sosial yang dilakukan Rosalia beberapa tahun terakhir bukan tanpa alasan. Deretan pengalaman dan kisah pahit perempuan korban pemerkosaan dan kekerasan seksual yang ia temui menyentuh hati Rosalia dan menjadi alasannya mendirikan rumah singgah.
Perempuan kelahiran, Kupang, Nusa Tenggara Timur 55 tahun silam tersebut juga telah lama aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Rosalia bercerita, ia pernah terjun menjadi relawan bersama tenaga kesehatan di perbatasan Nusa Tenggara Timur dengan Timor Leste di era 2000-an. Di sana, Rosalia mendampingi dan memberikan terapi psikologi kepada gadis belia berusia belasan tahun yang telah terinfeksi sifilis.
“Waktu saya melihat anak-anak usia 13-15 tahun yang sudah terinfeksi penyakit kelamin, hati saya benar-benar hancur dan sedih. Apa yang bisa saya bantu untuk hidup mereka. Tapi, saya harus tetap tegar di hadapan mereka. Mendampingi mereka memberikan dukungan moril dan memberi pengertian bahwa mereka harus tetap melanjutkan hidup serta cita-cita,” tutur Rosalia mengenang.
Kisah pilu yang dihadapi Rosalia tidak hanya berhenti di situ saja. Puncaknya, pada tahun 2016 lalu. Kerabatnya yang masih duduk di bangku kuliah terpaksa melakukan aborsi. Hal tersebut dilakukan lantaran bayang-bayang ketakutan tak bisa diterima oleh orang tua dan lingkungan sekitar karena hamil tanpa suami.
“Saya dapat kabar kalau keponakan saya pendarahan habis aborsi. Rasanya seperti disambar petir, dari situ saya kaget sekali. Saya berpikir dan bertekad ingin sekali memberikan ruang aman bagi perempuan malang yang harus hamil tanpa suami dan dipenuhi rasa ketakutan karena ditolak,” jelas Rosalia.
Rosalia kembali mengenang cerita pahit yang dialami anak asuh pertamanya karena hamil di usia sekolah dan terpaksa disembunyikan karena mendapat stigma negatif dari lingkungan sekitar. “Anak asuh pertama saya berusia 15 tahun, ia masih sekolah. Karena hamil ia disembunyikan oleh kedua orang tuanya di pelosok desa, padahal anak tersebut butuh dukungan moril bukan disingkirkan,” kata Rosalia.
Rosalia mengatakan hal yang membuatnya bahagia adalah tatkala melihat anak asuhnya mampu melewati masa-masa kelam selama memperjuangkan masa kehamilan hingga melahirkan. Tak hanya pasca melahirkan dan merawat sang buah hati. Namun, melanjutkan hidup dengan masa depan tetap menyelesaikan sekolah dan kembali diterima oleh keluarga mereka.
“Saya selalu memberikan dukungan secara psikis bahwa mereka tidak sendirian dan masih bisa melanjutkan sekolah. Seperti kepuasan batin tersendiri jika melihat mereka bisa kembali pada keluarga dan menerima mereka dengan anaknya,”jelasnya.
Selama hampir lima tahun berdiri, sudah lebih dari 25 perempuan hamil tanpa suami dan tersingkirkan dari keluarga hingga lingkungan diasuh oleh Griya Welas Asih. Hingga kini, Rosalia Amaya masih bertekad membantu dan memberikan ruang aman untuk perempuan korban pemerkosaan dan hamil tanpa suami.
Jargon “mengasihi tanpa membedakan” pun ia junjung tinggi, dan disematkan dalam aksi sosialnya di Griya Welas Asih. Ia berpesan kepada orang tua dan orang-orang yang memiliki anak, saudara atau kerebat perempuan yang hamil tanpa suami, supaya memberikan dukungan moril dan menerima kondisi mereka.
“Tolong jangan kucilkan para perempuan hamil yang tanpa suami, karena yang mereka butuhkan adalah diterima dan dikasihi,”imbuhnya.
Reporter: Aninda Putri Kartika
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Cafe Madtari dan Tumpukan Kenangan yang Tersembunyi di Balik Keju Parut dan liputan menarik lainnya di Susul.