Mie Ayam Gedhek Laras, Menyatukan Cinta dan Mimpi Keluarga

Warung Mie Ayam Gedhek Laras telah berdiri sejak tahun 2000. Warung ini punya kisah cinta yang mengiringi perjalanan usahanya.

***

Siang itu, Rabu (30/3/2022), saya lajukan kendaraan ke arah utara menerabas panasnya suhu udara. Belakangan cuaca Yogya memang begitu panas ketika siang. Namun, tiba-tiba bisa berubah menjadi hujan deras kala sore menjelang.

Cuaca kerap berubah-ubah, tapi keinginan untuk menyantap mie ayam tak pernah goyah. Kali ini saya menjajal Mie Ayam Gedhek Laras yang terletak di Jalan Raya Tajem, Maguwoharjo, Sleman.

Tak susah untuk menemukan letak warung ini. Jika Anda dari arah selatan maka warung ini ada di kanan jalan. Bangunanannya serba gedhekan alias menggunakan anyaman bambu.

warung mie ayam gedhek laras mojok.co
Nampak depan Warung Mie Ayam Gedhek Laras. (Hammam Izzudin/Mojok.co)

Awalnya saya kira warung ini sepi meski di jam makan siang. Alasannya sederhana, hanya ada sedikit ulasan di Google tentang Mie Ayam Gedhek Laras. Namun, sesampainya di sana ternyata antrean pembeli nampak merepotkan sepasang suami istri yang sedang melayani warung ini.

Mereka sedang menyiram kuah panas pada belasan mangkok mie dengan potongan ayam yang menggoda selera. Tak pakai lama, saya segera memesan seporsi mie ayam ceker ditemani dengan segelas es teh.

Saya perhatikan daftar menu, ternyata warung ini punya tiga opsi menu mie ayam. Pertama, mie ayam biasa seharga Rp10.000. Kedua, mie ayam ceker seharga Rp12.000. Dan ketiga, mie ayam kepala seharga Rp14.000. Semua minuman dibanderol tiga ribu rupiah.

Ada enam meja panjang, sekitar satu setengah hingga dua meter, tersedia di dalam warung. Siang itu hampir semuanya terisi penuh. menyisakan satu meja yang bisa saya duduki seorang diri. Jarak antar meja di sini cukup jauh. Sehingga para pelanggan tak berdesakan.

Tak perlu menunggu lama hingga pesanan saya diantar ke meja. Satu hal yang langsung jadi pusat perhatian saya adalah cekernya. Dua ceker dengan ukuran cukup besar menutupi separuh area mangkok.

Ketika dilihat, ceker ini nampak utuh, tidak ada bagian yang cuil dan tercecer. Sepertinya akan alot ketika digigit. Namun ketika masuk ke mulut ternyata ceker baceman ini begitu lembut. Sekali sedotan kulit-kulitnya lepas dari tulang. Sekali gigitan jari-jari ayamnya pun lepas dari persendian. Mak thel.

Karakteristik kuah Mie Ayam Gedhek Laras tak terlalu kental. Potongan daging ayamnya dibacem bersama daun bawang sehingga rasanya amat gurih. Hadirnya acar dalam tiap porsi yang disajikan menambah lengkap cita rasanya. Seporsi Mie Ayam Gedhek Laras saya habiskan dengan waktu singkat!

Seporsi mie ayam ceker di Gedhek Laras. (Hammam Izzudin/Mojok.co)

Sebenarnya saya ingin segera berbincang dengan sepasang suami istri pemilik warung ini. Namun, nampaknya mereka berdua masih sangat sibuk melayani para pelanggan. Ada yang makan di tempat dan banyak pula yang minta dibungkus. Siang itu saya amati nampaknya lebih dari 50 porsi mie ayam terjual.

Saya kembali memesan segelas es teh dan berharap kepadatan pengunjung segera berkurang. Sembari menunggu, saya perhatikan keduanya sangat kompak melayani pelanggan yang datang. Sang istri sibuk menata mangkok dan menyiapkan setiap porsi mie. Sedangkan suaminya wira-wiri mengantar mie ke meja pelanggan.

Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya mereka bisa duduk sedikit tenang. Kami pun berbincang panjang. Sepasang suami istri ini bernama Sularno (44) dan Siti Kanaah (43). Setiap harinya segala urusan di warung ini diurus berdua dengan bantuan dua anak gadisnya. Tanpa karyawan sama sekali.

“Ya begini mas, kalau repot berarti lagi ramai, alhamdulillah,” kata Sularno membuka perbincangan. Senyum merekah di bibirnya. Tak lama kemudian sebatang rokok ia sulut dan sesap dengan seksama.

Mimpi perantau dari Wonogiri

Sudah lebih dari separuh hidup Sularno dihabiskan dengan berkecimpung di dunia mie ayam. Mie ayam telah menghidupkan mimpi Sularno di perantauan.

“Orang tua saya sebenarnya dulu petani, tidak pernah jualan mie,” kenangnya. Kedekatannya dengan mie ayam justru datang dari kakak-kakaknya. Sularno merupakan anak terakhir dari delapan bersaudara. Tujuh saudaranya—termasuk Sularno—berkecimpung di dunia mie ayam.

Tahun 80-an menjadi awal perkembangan pesat mie ayam di Wonogiri. Banyak masyarakat dari daerah itu mulai merantau untuk berjualan kuliner merakyat ini ke berbagai penjuru Nusantara.

Suasana di Warung Mie Ayam Gedhek Laras. (Hammam Izzudin/Mojok.co)

Sularno pun berujar bahwa ketertarikan saudara-sauadaranya dipicu oleh banyaknya tetangga yang berjualan mie ayam. “Dulu kakak saya belajar dari tetangga. Perlahan kemudian bisa mandiri. Akhirnya sebagian dari kami hijrah ke Yogyakarta,” tuturnya.

Tahun 1991 Sularno bersama tiga kakaknya melangkahkan kaki ke Yogyakarta. Sularno saat itu masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ia melanjutkan studi di Yogyakarta sekaligus belajar merasakan asam garam hidup di perantauan.

“Ya saya tetap sekolah dulu, kemudian sorenya bantu-bantu kakak untuk buat mie,” kenangnya.

Ketiga kakaknya lebih memilih jadi penjual mie mentah. Sularno menyebutnya sebagai “juragan mie”. Profesi ini cukup banyak digeluti para perantau dari Wonogiri selain berjualan mie ayam dan bakso. Mie buatan orang Wonogiri memang dikenal punya ciri khas tersendiri.

Membangun usaha bersama kekasih hati

Lepas SMA, Sularno ingin membuka usaha sendiri. Namun ia tak ingin menempuh jalan yang sama dengan saudaranya sebagai juragan mie. Ia ingin membuka warung mie ayam.

“Saya lihat jadi juragan mie itu capek. Setiap hari nggak ada liburnya. Saya nggak pengin begitu,” katanya.

Saat berjualan pun Sularno tak ingin ngoyo. Ia berujar bahwa warungnya setiap dua puluh hari sekali kerap meliburkan diri. Setidaknya lima hari. Waktu libur ini ia pakai untuk istirahat bersama keluarga.

Awal berjualan, Sularno bergabung dengan paguyuban penjual mie ayam Tunggal Rasa. Ia menyebut beberapa nama penjual mie ayam besar di Jogja yang dulu rekannya saat sama-sama merintis mie ayam.

“Jadi istilah ‘Tunggal Rasa’ itu artinya para penjual mie ayam itu senasib. Dari proses buat bumbu, buat mie, dan nanti yang membedakannya ada di cita rasa sajian masing-masing warung,” katanya.

Kisah Sularno membuka usaha mie ayam tak bisa dipisahkan dari peran sang istri. Mereka berdua merintis Mie Ayam Gedhek Laras bersama sejak masih menjadi sepasang kekasih.

Siti Kanaah merupakan keponakan dari pemilik kontrakan tempat Sularno tinggal semasa muda. Sesekali, Kanaah datang ke tempat saudaranya dan kehadirannya memikat hati Sularno yang kala itu masih SMA.

Tapi perjalan cinta keduanya tak berjalan mulus begitu saja. “Dulu saat SMA pernah saya utarakan perasaan, tapi sama dia ditolak,” ujar Sularno tertawa, sambil melirik ke sang istri yang baru saja bergabung duduk di sampingnya. Istrinya pun menyambut tawa itu dengan muka sumringah.

Sularno dan Kanaah sedang menyiapkan mie ayam untuk pelanggan. (Hammam Izzudin/Mojok.co)

Seiring berjalannya waktu, ada suatu momen yang akhirnya membuka hati Kanaah. “Saya ingat suatu pagi, dia mau berangkat kerja di kantin UGM. Saya tawarkan untuk mengantarnya. Ndilalah dia mau. Saat itulah kami mulai dekat,” kenang Sularno.

Hubungan mereka pun berkembang menjadi jalinan asmara. Kakak Sularno sempat tidak merestui kedekatan mereka berdua. Namun Sularno meyakinkan bahwa inilah wanita yang ia pilih untuk membangun masa depan di Yogya.

“Saya bilang pada kakak saya. ‘Pokoknya cukup kali ini saja, enak dan tidaknya biar saya yang nanggung semua’. Dengan ridha yang di atas, ya lancar dan bertahan sampai sekarang,” papar Sularno.

Saat awal menjalankan usaha mie ayam, mereka berdua berangkat dengan modal seadanya. Mereka bangun lapak mie ayam sederhana di pinggir Jalan Tajem, beberapa kilometer di selatan bangunan warung yang sekarang.

“Dulu bisa dibilang benar-benar dari nol. Malah ngutang modalnya. Kami buat tempatnya sederhana sekali, pakai gedhek dan terpal saja. Kalau hujan ya repot sekali itu dulu,” timpal sang istri.

Warung mie ayamnya dulu tak diberi nama. Namun, karena bangunannya tersusun dari gedhek, maka ciri khas itulah yang melekat di mata para pelanggan. “Pokoknya kalau nyebut warung mie ayam gedhekan di sekitar Maguwo, ya di sinilah orang tertujunya,” kata sang istri.

Meski sederhana, namun warung ini membuat ikatan mereka berdua semakin kuat. Lima bulan setelah bisnis berjalan, mereka melangsungkan pernikahan. Hingga kemudian tahun 2002, anak pertama mereka lahir. Mereka beri nama Laras. Kehadiran anak pertama itulah yang melengkapi penamaan warung ini menjadi Mie Ayam Gedhek Laras.

Sularno menimpali filosofi lain dari nama gedhek. Dalam peribahasa Jawa rai gedhek bisa diartikan sebagai tidak punya malu. “Ya artinya, merantau dan cari kehidupan di kota orang itu harus berani. Nggak malu asal tetap halal caranya,” ujarnya.

Tak cuma urusan nama yang muncul karena sebutan pelanggan. Variasi menu andalan di sini yakni kepala dan ceker pun berkat masukan dari pembeli. “Dulu ada yang bilang, kalau ditambahin kepala sama ceker kayanya bakalan lebih enak. Akhirnya kami coba,” sahut sang istri.

Untuk menciptakan baceman ceker yang nikmat, cara memasaknya khusus. Tidak dimasak bersama potongan daging untuk topping mie ayam. Prinsip mereka kepala dan cekernya harus dimasak sendiri karena rasanya bakal berbeda.

Berkembang dan penuhi impian

Perlahan bisnis keluarga Sularno berkembang. Ia ingat betul, awal berjualan, mie ayamnya dibanderol seharga Rp750 per porsi. Kini hampir genap 22 tahun setelahnya, harganya telah meningkat lebih dari sepuluh kali lipat sesuai harga pasar.

Belakangan ini dalam sehari Sularno rata-rata menjual 170-an porsi mie dengan daging ayam sekitar sembilan kilogram. Untuk ceker, rata-rata mereka sediakan empat kilogram sehari.

Berkat jualan mie ayam, tahun 2009 Sularno dan keluarganya berhasil membeli sepetak tanah untuk membangun rumah di daerah Maguwoharjo. Proses pembangunannya pun perlahan. Empat tahun kemudian rumah itu baru bisa ditinggali.

Sularno dan Siti Kanaah, pemilik Warung Mie Ayam Gedhek Laras. (Hammam Izzudin/Mojok.co)

Sebelum rumah itu berdiri, Sularno dan keluarganya tinggal mengontrak. Rumah kontrakan kecil dengan satu kamar untuk sepasang suami istri dan dua buah hatinya. Buah hati yang kini mulai tumbuh dewasa dan bisa membantu segala urusan di warungnya.

“Ini anak yang kedua, baru kelas dua SMP. Kalau yang besar lagi di belakang, lagi kelas online, sekarang sudah semester dua di Universitas Sanatha Dharma,” kata sang istri sambil mengelus kepala anak perempuannya yang sedari tadi wira-wiri mengantar minuman pada pembeli.

Warung yang kini menjadi tempat keluarga ini berjualan sejak November 2021 di tempat yang baru. Ornamen gedhek masih nampak di beberapa sisi bangunan ini. Meski sebagian sudah ditambahi kayu dan susunan batako. Berbeda dengan bangunan sebelumnya yang hampir semua bagian dibuat dari gedhek.

Selain karena gedhek sudah jadi ciri khas yang melekat pada dagangannya, Sularno ingin agar warungnya tetap nampak sederhana. Setiap orang bisa datang tanpa sungkan. “Kalau terlalu bagus, misal ada orang nggak punya yang ingin beli jadi kepikiran. Takut mahal,” paparnya.

Bagi Sularno, mie ayam telah menjadi bagian yang amat penting dalam hidupnya. Keberuntungan di perantauan, bertemu pasangan, dan menghidupi keluarga hingga lebih dari dua puluh tahun pernikahan. “Dengan keadaaan apapun, saya tetap ingin jualan mie ayam. Karena semuanya berawal dari sini,” tutupnya.

Reporter: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi

===

Tulisan ini merupakan seri dari liputan “Peta Mie Ayam Jogja”. Mulai pertengahan bulan Maret hingga April 2022 setiap akhir pekan ulasan warung mie ayam di Jogja akan hadir menemani pembaca. Liputan “Peta Mie Ayam Jogja” merupakan kolaborasi Mojok.co, Javafoodie, dan @infomieayamYK.

BACA JUGA Mie Ayam Prima Rasa Ngeposaari, Berjaya Setelah Jual 7 Kambing dan liputan menarik lainnya di Susul.

 

Exit mobile version