Lokalisasi Pasar Kembang atau Sarkem ternyata pernah punya seorang ikon. Namanya, Rumiyati. Meski menjadi pekerja seks komersial, perempuan Sunda berparas Indo ini adalah sosok yang berani. Meninggal dengan tenang di sebuah panti wreda sekitar tahun 2014.
***
Nama Rumiyati berkali-kali keluar dari mulut Sarjono saat mengantar saya berkeliling Pasar Kembang atau Sarkem untuk melacak sejarah lokalisasi tertua di Jogja ini. Tulisan tentang sejarah Sarkem, bisa dibaca lewat tulisan Melacak Sejarah Sarkem Jogja: Lokalisasi Warisan Belanda di Gang Tiga.
Ada rasa kagum dan bangga dari nada bicara Sarjono ketika menceritakan sosok Rumiyati. Nama Rumiyati membuat saya penasaran untuk menggali lebih dalam. Mengingat dalam riset saya sebelum reportase, nama itu tak muncul sekali pun dalam buku-buku maupun mesin pencari.
Rumiyati, idola yang berbahaya bagi tentara Belanda
“Dia pernah membunuh dua orang tentara Belanda,” kata Sarjono menceritakan sosok Rumiyati. Sarjono, kini berusia 69 tahun, merupakan Ketua RW Sosrowijayan Kulon, lokasi di mana lokalisasi Pasar Kembang berada sejak tahun 1978, atau saat usianya 25 tahun.
Sarjono tidak menceritakan secara detail bagaimana Rumiyati menghabisi tentara londo itu. Apakah memancingnya untuk bercinta kemudian menghabisi nyawa mereka, seperti adegan di film-film atau dengan cara lain.
Sarjono mengatakan, kecantikan Rumiyati membuat para Londo terpikat. Ia kemudian memanfaatkannya untuk menggali informasi yang menyokong kepentingan pejuang kemerdekaan. Di bilik-bilik cinta, ia menggali cerita demi kepentingan bangsanya.
Sarjono tahu betul cerita tentang Rumiyati karena ia lahir dan tinggal di kawasan Pasar Kembang. Saat masih kecil, Sarjono mengingat sosok Rumiyati sebagai perempuan cantik yang kerap wira-wiri di kampungnya. Perempuan itu pernah jadi pelacur paling kondang di Sarkem.
Itulah sisi lain dari Rumiyati yang diceritakan Sarjono. Hal yang membuat sosok Rumiyati terus ia kenang meski kini tinggal kenangan. Ia menceritakan sosok perempuan itu sembari berkeliling berbagai sudut Pasar Kembang.
“Di sini, dulu berdiri bangunan yang disebut Gedong,” jelasnya sambil menghadap sebuah tembok tinggi di sisi barat Sarkem.
Disebut Gedong lantaran saat itu baru itu bangunan dari beton di kawasan itu. Rumah-rumah lain masih terbuat dari kayu. Gedong, jadi bangunan paling megah kala itu.
Dari sisi barat, bangunan itu kini hanyalah tembok beton tinggi tanpa pintu. Sudah berubah menjadi hotel besar yang menghadap ke arah selatan. Namun dulu, di sisi barat itu ada dua pintu yang jadi sirkulasi keluar masuk para pelacur dan lelaki Belanda yang ingin meluapkan birahi seksualnya.
Di Gedong, pelacuran yang kini tersebar hampir di seluruh rumah dan bilik kamar kampung ini bermula. Rumiyati yang jadi pelacur tersohor konon dibawa langsung Belanda dari tanah Sunda, banyak menghabiskan waktu di bangunan itu.
Cita-cita membangun patung Rumiyati di Sarkem
Rumiyati hidup sebatang kara. Tak berumah tangga dan tak lagi berhubungan dengan keluarganya di kampung halaman. Bahkan menurut Sarjono, ia sendiri yang dulu membantu membuatkan KTP bagi perempuan itu.
“Ya dulu itu buat KTP tidak serumit sekarang. Saya bantu buatkan karena ya dia nggak ada keluarga di sini,” ujarnya.
Saat beranjak semakin tua dan mulai berhenti jadi PSK, perempuan itu tidak lagi berhubungan dengan gelap dunia prostitusi. Misalnya menjadi muncikari. Ia berjualan makanan keliling di sekitar Sarkem. Sampai usianya semakin senja dan tak bisa lagi banyak beraktivitas.
“Sejak sekitar tahun 2006 saya bawa ke Panti Wreda Pakem. Dia menghabiskan sisa hidup di sana sampai meninggal,” ujar Sarjono.
Rumiyati yang jadi pelacur tersohor di Sarkem pada masa lalu meninggal sekitar tahun 2014. Sarjono tak begitu yakin tahun pastinya. Namun, seingat Sarjono, saat meninggal di panti wreda, usia perempuan itu sudah 90-an tahun. Bahkan menjelang seabad. Sekitar itu, ia tak ingat pasti.
Tidak banyak jejak yang ditinggalkan Rumiyati. Sarjono pun mengaku kehilangan dokumentasi foto sosok perempuan itu. Namun, ingatan tentang sosok perempuan itu masih tertanam di benaknya.
“Badannya tinggi. Hidungnya mancung dan kulit putih seperti keturunan Belanda,” kenangnya.
Sarjono punya mimpi, suatu saat sosok perempuan itu diabadikan dalam bentuk patung. Di sudut jalan Pasar Kembang. Sebagai ikon perempuan yang berani.
Sosok-sosok legendaris di lokalisasi
Sosok-sosok legendaris memang mewarnai sejumlah tempat prostitusi legendaris. Di Saritem, Bandung hingga Dolly, Surabaya, ada nama-nama yang juga erat dengan sejarah tempat prostitusi tersebut. Meski dua lokalisasi tersebut telah ditutup, namanya tetap melegenda.
Nama lokalisasi Saritem konon diambil dari sosok bernama Nyai Saritem. Budayawan asal Bandung, Budi Dalton pernah bercerita bahwa Nyai Saritem memiliki nama asli Nyi Mas Ayu Permatasari. Ia merupakan istri seorang Belanda di Bandung. Tepatnya di Kebon Tangkil yang tak jauh dari area eks lokalisasi Saritem.
Dalam wawancara bersama Soleh Solihun, Budi menjelaskan bahwa Nyai Saritem justru menyelamatkan perempuan tuna Susila dari jerat mucikari. Namun ada juga yang menyebut bahwa Saritem merupakan gundik seorang meneer Belanda. Ia kemudian membantu orang Belanda untuk mencarikan perempuan lain sebagai teman kencan tentara Belanda.
Lain hal dengan kisah Dolly yang namanya melekat pada eks lokalisasi terbesar di Surabaya, bahkan konon Asia Tenggara. Melansir dari Detik.com, dalam Majalah Jakarta Jakarta No 270 yang terbit tahun 1911, Dolly dikenal sebagai perempuan Surabaya keturunan Filipina.
Dolly merupakan anak dari Chavid atau Chavit yang merupakan seorang lelaki kelahiran Filipina yang punya pasangan bernama Herliah dari Jawa. Keduanya kemudian memiliki anak bernama Dolly yang lahir sekitar tahun 1929 silam.
Sarkem memang berbeda dengan dua tempat prostitusi tadi. Namanya tidak diambil dari sosok seseorang. Pernah dikenal dengan sebutan Balokan hingga sekarang populer dengan Pasar Kembang. Semua nama itu diambil dari kondisi di sekitar tempat itu.
Sempat disebut Balokan lantaran di sekitarnya terdapat banyak balok kayu yang digunakan untuk keperluan bahan bakar kereta. Selanjutnya disebut Pasar Kembang karena keberadaan lapak penjual bunga di daerah itu pada tahun 1990-an.
Rumiyati memang pernah jadi sosok yang banyak dikenal di setiap sudut gang remang di sana. Namun, namanya perlahan hilang dan tak terabadikan.
Mencari jejak Rumiyati di panti wreda
Berbekal penggalan cerita yang disampaikan Sarjono, saya berusaha mencari jejak-jejak terakhir Rumiyati. Tentu saja di Panti Tresna Wredha yang terletak di Pakem, Sleman yang menurut Sarjono menjadi Rumiyati menghabiskan sisa-sisa hidupnya.
Jumat (23/9) siang, saya berjumpa dengan beberapa pengelola panti wreda tersebut. Informasi tentang Rumiyati kami lacak menggunakan daftar surat kematian yang dikeluarkan dalam rentang waktu 2011 hingga sekarang.
“Memang bagi para penghuni yang tidak punya sanak keluarga, ketika meninggal di sini kami buatkan surat kematian,” jelas Yuni Hastuti, salah satu pengelola Panti Tresna Wredha.
Setelah ditelaah satu per satu, ternyata tidak ditemukan nama Rumiyati pada rentang waktu tersebut. Padahal perkiraan Sarjono, perempuan itu meninggal tahun 2014. Delapan tahun yang lalu.
Selanjutnya, daftar surat kematian pada rentang waktu sebelum tahun 2011 ternyata tidak bisa ditemukan siang itu. Pihak panti wredha terkendala karena menurut mereka baru saja ada pengelolaan arsip yang membuat penataannya belum benar.
Namun, Yuni bercerita bahwa ada beberapa mantan pekerja Sarkem yang sempat tinggal di tempat ini. Kebanyakan di antara mereka memang tidak punya sanak saudara.
“Ada memang, sosok yang dulu katanya cukup legendaris di Sarkem dan meninggal di sini tahun 2019. Tapi namanya bukan Rumiyati,” terangnya. Ia juga tidak berkenan menyebut nama tersebut lantaran berkaitan dengan privasi penghuni panti.
Mereka yang tidak punya keluarga dan meninggal dunia di panti ini akan dimakamkan di sebuah makam khusus. Letaknya tak jauh dari sini. Satu area dengan pemakaman umum namun ada pembatas khusus.
“Tapi, makam di sana tidak permanen karena keterbatasan lahan. Nisannya hanya kayu, temporer, sehingga sulit juga dilacak nama-namanya,” lanjutnya.
Tidak banyak cerita yang tersisa tentang Rumiyati. Di Sarkem hingga di tempat yang disebut sebagai tempat persemayaman terakhirnya, tidak banyak jejak yang tersisa.
Reportase tentang Rumiyati merupakan tulisan kedua dari 6 tulisan yang sudah disiapkan untuk liputan Jogja Bawah Tanah yang mengusung tema Sarkem.
Tulisan berikutnya, selama hampir satu malam Mojok akan melakukan experience di kawasan lokalisasi Sarkem. Sangat menarik karena di dalam bilik kamar, justru perempuan dari kampung halaman yang ia temui.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono