Sop dan Soto Cak Nur jadi langganan orang-orang Tionghoa di Jogja. Ada rahasia yang ingin ia bagi dari usaha yang ia rintis 40 tahun silam.
***
Saya selalu ingat kata-kata seorang kawan ketika menyebutkan salah satu ciri bakmi jawa yag enak: coba dilihat ada orang Tionghoa yang makan di situ nggak, kalau ada, berarti makanannya enak atau enak banget.
Pada kenyataannya, bukan hanya bakmi jawa, tapi juga berlaku untuk makanan-makanan lainnya, termasuk soto. Di situ ada orang Tionghoa yang makan, ada jaminan soal rasa tidak akan salah.
Itu juga yang kerap saya lihat ketika makan di Warung Sop dan Soto Cak Nur yang berada di Jl. Jambon No.47, Kricak, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta. Maka, pagi itu, ketika saya melihat Cak Nur tengah leyeh-leyeh menunggu pelanggan saya beranikan tanya padanya.
“Benar, Mas. Sekitar 80 persen pelanggan saya orang Tionghoa,” jawabnya ketika saya tanya, apa benar pelanggan rumah makannya dari etnis Tionghoa. Sebuah pertanyaan yang kemudian membuka obrolan panjang dengan laki-laki kelahiran Lamongan 64 tahun silam.
Dari Lamongan ke Poncowinatan
Nama lengkapnya Nur Hadi (64), lahir dan besar di Lamongan, Jawa Timur. Menurut Nur Hadi, atau akrab disapa Cak Nur, keluarga besarnya di Lamongan dibekali kemampuan membuat soto. Soal kemampuan ini, jangan diragukan lagi, soto lamongan adalah salah satu kuliner yang bisa ditemui di berbagai daerah di Indonesia, sama halnya dengan pecel lele.
Bekal kemampuan meracik soto dan sup itu lah yang membuatnya kemudian merantau ke Yogyakarta bersama istrinya tahun 1980.
Di Yogyakarta, awalnya ia berjualan di Gang Poncowinatan, tak jauh dari Pasar Kranggan. Kawasan ini dikenal sebagai salah satu tempat permukiman orang-orang Tionghoa di Jogja. Gerobaknya menempati sebuah gang tak jauh dari salah satu sekolah yang terkenal di zamannya, SMA Bhinneka Tunggal Ika yang siswanya dari berbagai daerah di Indonesia.
Setiap pagi, ia bersama istrinya mendorong gerobak dari rumah kontrakan di kawasan Kricak, Tegalrejo, sejauh sekitar 2 kilometer ke Poncowinatan. ”Dulu orang itu bilangnya saya bawa kapal, lah gerobaknya panjangnya dua meter lebih, terus ada tendanya,” kata Cak Nur merentangkan dua tangannya.
Gerobak bersejarah itu sekarang masih digunakan. Ada di dalam warung. “Mau dibeli orang berapa pun, nggak akan saya jual,” katanya tegas.
Tempe garit, sambal, dan kecap
Di sela-sela berbincang, Cak Nur pamit sebentar, ada pelanggannya yang baru datang. Saya mengamati, Cak Nur akan segera bangkit dari tempat duduk setiap ada tamu yang datang. Pagi itu, sebenarnya pelanggan baru sedikit yang datang sehingga saya punya waktu agak leluasa ngobrol dengannya.
Sembari menunggu Cak Nur, saya menyantap sup yang saya pesan. Saya sengaja memesan sup daging saja. Rasanya masih sama. Gurih dan aroma potongan bawang putih gorengnya sangat khas. Dagingnya sapinya tebal-tebal dengan pelengkap potongan kentang dan tomat.
Saya sengaja tidak memberi kecap dan sambal terlebih dulu. Selalu begitu kalau saya menyantap makanan berkuah. Ingin tahu dulu rasa sebenarnya dari makanan ini.
Menu pelengkap lain adalah tempe garit. Tempe di sini terkenal garing dan gurih. Saya belum menyentuhnya, masih menikmati sensasi kuah sup.
Melihat hal itu, istri Cak Nur mendekati saya dan memberi saran untuk menikmati tempe berwarna kecoklatan itu. Saya ambil sepotong dan memasukannya ke mulut.
“Lho, pakai sambal dan kecap,” katanya.
Ia meminta saya untuk menggunakan piring kecil, kemudian mengambil kecap dan sambal serta mengaduknya. Kemudian tempe yang sudah tinggal separuh di tangan saya itu ia minta dicocolkan ke sambal dan kecap yang sudah bercampur.
“Enak, kan?” katanya
Saya hanya mengangguk karena masih melumat tempe garing yang bertemu dengan cita rasa manis dan pedas. Dua jempol saya acungkan ke Bu Nur. Saya mengambil satu potong tempe lagi ketika Cak Nur menghampiri saya.
Daging berkualitas bernama kisi
Cak Nur kembali melanjutkan ceritanya. Saat jualan di kawasan Poncowinatan itu lah ia banyak mendapat saran dari orang-orang Tionghoa terkait seperti apa bahan baku yang berkualitas. Ia kemudian mengajak saya ke tempat memasak sup dan soto. Ia menunjukkan daging yang ia gunakan.
“Ini namanya kisi, ini daging paha bagian dalam. Jadi satu ekor sapi, cuma ada empat daging kisi,” katanya menunjukkan daging sebesar kepalan tangan orang dewasa.
Ia juga menunjukkan, urat sapi yang berkualitas juga hanya ada sedikit pada seekor sapi, begitu juga sumsum, babat, dan otak.
Jika ingin menikmati semua yang disebutkan Cak Nur sebut, cukup memesan sup komplit. Semua bagian sapi yang disebutkan Cak Nur akan ada dalam semangkuk sup yang disajikan.
Cak Nur mengatakan, ia jualan di Poncowinatan selama 15 tahun. Ia kemudian pindah dan mengontrak rumah untuk jualan di Jalan Magelang pada tahun 1996 hingga pertengahan tahun 2003. Ia lantas pindah tempat jualan lagi. Kali ini bukan lagi mengontrak, tapi ia bisa membeli rumah sekaligus tempat jualan yang ia gunakan sampai saat ini.
Pelanggan warisan
Cak Nur kembali menghentikan obrolan ketika ada empat orang datang. Usai menyapa, Cak Nur kembali ngobrol. “Itu anaknya pemilik showroom di Jalan Magelang, bapaknya itu langganan warung saya, sekarang anaknya,” kata Cak Nur.
Ia mengatakan, sebagian besar pelanggan Sop dan Soto Cak Nur adalah pelanggan warisan. Artinya, mereka adalah anak-anak dan cucu dari pelanggannya terdahulu. “Jadi yang datang ke saya, itu banyak anak pelanggan dan cucunya,” kata Cak Nur.
Kepada Cak Nur saya bilang, sekitar 10 tahun lalu, saya diperkenalkan sup Cak Nur oleh kawan saya yang seorang wartawan bernama AB Prass dan sutradara film Fajar Nugros.
“Fajar Nugros itu pelanggan saya sejak dia masih SD. Dulu dia datang ke tempat saya bareng bapaknya. Sekarang dia ajak istri dan anak-anaknya. Belum lama ini, pas syuting di Jogja, seluruh krunya dibawa makan ke sini,” katanya. Cak Nur menambahkan, sebelum pandemi banyak tokoh-tokoh di Indonesia yang makan di tempatnya.
Pelanggan warisan juga datang dari alumni SMA Bhinneka Tunggal Ika dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka bukan hanya bernostalgia, tapi juga membawa keluarganya untuk mengenalkan kuliner mereka di masa lalu.
Bahkan karena cintanya pada cita rasa Sop dan Soto Cak Nur, menu itu dibawa ke luar negeri. “Ada Lutfi, sekarang di Australia, pas ke sini dia minta dibungkus, mau dibawa ke negara dia tinggal. Ada juga yang dibawa ke Amerika,” katanya. Makanan-makanan itu terlebih dulu dibekukan, lantas dibawa ke negara di mana mereka tinggal sekarang.
Saya kemudian menghampiri Danang (45) pelanggan Cak Nur yang sudah merasakan Sop dan Soto Cak Nur sejak kecil. “Orang yang jual sop itu banyak, tapi kuah sop Cak Nur tidak ada yang bisa menyamai,” kata Danang meyakinkan. Hari itu, selain datang bersama istrinya, ia mengajak temannya dari Temanggung bernama Niken.
“Rasanya nggak ada duanya. Sulit diceritakan dengan kata-kata” kata Niken (45) tertawa. Ia datang bersama suaminya. Ini adalah kedatangannya untuk kesekian kali sejak dikenalkan oleh Danang dan istrinya dengan Sop dan Soto Cak Nur.
Sekali saja menikmati, Niken dan suaminya langsung ketagihan. Maka setiap datang ke Yogya, Sop dan Soto Cak Nur adalah pilihan pertamanya untuk makan enak.
Kisah pelanggan-pelanggan yang berutang
Ketika masih jualan di Poncowinatan, banyak pelajar dan mahasiswa yang jadi langganannya. Selain siswa dari SMA Bhinneka, pelanggan lain berasal dari asrama-asrama mahasiswa di sekitar Poncowinatan.
Ada cerita menarik terkait ini. “Tahun 2006, saat gempa Jogja, saya kaget, didatangi orang-orang bermobil yang saat itu sedang membantu korban gempa Jogja. Nah, mereka mencari-cari saya, setelah ketemu bilang, mau bayar utangnya dulu,” kata Cak Nur tertawa.
Ia bercerita, tahun 1980 hingga 1990-an, perjudian marak di Jogja. Mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari luar Jawa itu rata-rata dapat kiriman uang cukup banyak dari orang tuanya. Sebagian di antaranya terjebak judi.
Di saat seperti itu Cak Nur memposisikan diri sebagai orang tua dari mahasiswa-mahasiswa tersebut. Bukan hanya memberi nasehat, tapi juga memberi mereka makan. “Ya saya nasehati, jangan diulangi, kasihan orang tuamu. Jangan nakal,” katanya mengingat pesannya pada mahasiswa waktu itu.
Cak Nur tentu saja ikut senang melihat ‘anak-anak nakal’ yang dulunya ngutang datang untuk membayarnya.
Rahasia bertahan hingga 40 tahun
“Bersyukur dan sodakoh. Rezeki itu sudah ada yang ngatur,” kata Cak Nur ketika ditanya resep bisa bertahan lebih dari 40 tahun dalam usaha kuliner.
Percaya bahwa rezeki ada yang mengatur, membuat Cak Nur tidak mempermasalahkan saat ada karyawannya yang keluar dan mendirikan usaha yang sejenis.
Rahasia lainnya sehingga usahanya awet adalah membangun hubungan baik dengan pelanggan, bukan sekadar ikatan jual beli. Menurut Cak Nur, banyak pelanggannya yang berbeda kepercayaan dengannya. Baginya tak masalah, ia punya prinsip, perbedaan itu hanya dalam iman, tapi ia dan pelanggan adalah sesama manusia. Maka ia tidak pernah membeda-bedakan pelanggan.
Salah satu bukti kedekatannya dengan pelanggan, ia kerap mendapat undangan ke pesta pernikahan pelanggannya.
Sebagai bentuk rasa syukurnya juga, ia ingin anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang baik. Dua anaknya, Dina Maryati dan Dini Afrinia bisa menyelesaikan sarjana. Dina Maryati dikenal dalam olahraga di DIY, pernah sebagai atlet beladiri. Saat ini menjadi Ketua Pengurus Daerah Hapkido Indonesia Kota Yogyakara. Sedangkan putri bungsunya, Dini Afrinia menjadi dokter.
“Saya tidak bisa ninggalin harta, bisa saya ya ninggalin ilmu. Prinsip saya, anak harus sarjana,” kata Cak Nur yang hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat SD.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA: Sego Koyor Bu Parman, Kuliner Malam di Jogja untuk Adu Otot