Tren kuliner sei sapi sempat melanda Yogyakarta. Sejumlah resto sei sapi muncul dan disambangi banyak pengunjung, bahkan di tengah pandemi.
***
Sebuah resto sei sapi bahkan menggantikan tempat makan yang lumayan lama eksis dan berdiri di pusat kota. Adalah Sei Sapi Maumere, sejak medio 2020, dibuka di sebelah barat Stadion Kridosono.
Saat Mojok.co mencicipi menunya di jam makan siang, Selasa (21/6/2022) lalu, sejumlah pengemudi ojek online duduk menunggu pesanan kuliner asal Nusa Tenggara Timur (NTT) ini.
Resto ini ditata dengan desain khas anak muda dengan tampilan mural warna-warni. Ikon Jogja, Tugu Jogja, juga ditonjolkan. Resto ini merupakan resto kedua yang dibuka Sei Sapi Maumere. Resto pertama berada di Jalan Kaliurang KM 11 dan tempat berikutnya di kawasan Seturan.
Tren sei sapi
Pemilik Sei Sapi Maumere adalah Tatas Ermambang (28), pengusaha muda yang juga mengelola dua usaha minuman. Laki-laki kelahiran Pacitan, 22 Desember 1994 ini kepincut pada sei sapi saat mencicipi menu ini di Bandung.
“Saya memang suka kulineran dan seneng banget menu daging. Apalagi waktu itu sei sapi lagi happening,” kata Tatas saat ditemui Mojok.co di rumahnya di Maguwo, Sleman, Sabtu (25/6).
Awal 2020, Tatas berencana membuka resto Sei Sapi Maumere. Namun sayang, Maret 2020, pemerintah mengumumkan pandemi Covid-19 melanda. “Akhirnya dibuka Juni 2020, waktu mulai New Normal,” ujarnya.
Untuk mendekati cita rasa sei, Tatas menceritakan bertanya pada orang dari kawasan Indonesia Timur. Namun ia mengakui tak bisa persis menyamai cita rasa sei. “Jadi tidak bisa seratus persen seperti sei di Kupang,” kata dia.
Salah satu sebabnya, Sei Sapi Maumere tak menggunakan daun kosambi yang kerap digunakan sei di Nusa Tenggara Timur. “Daun kosambi di sini susah carinya,” ujarnya.
Salah satu upaya untuk memberikan cita rasa yang mendekati adalah adanya menu sambal luwat, sambal khas Kupang yang bercita rasa asam atau kecut. Selebihnya, resep dan sambal tambahan menyesuaikan dengan lidah Jawa.
Tatas menggunakan daging impor asal Amerika Serikat. Daging impor dianggap lebih cocok diolah dan pas di lidah. “Juicy dagingnya lebih terasa,” kata dia.
Nah, belakangan ini, pasokan daging ini terkendala. Salah satu sebabnya adalah perang Rusia dan Ukraina. “Jalur kapalnya harus muter atau gimana. Jadi pasokan kurang dan harga lebih tinggi,” ujarnya.
Seperti halnya sei, daging tersebut diolah dengan pengasapan. Pengasapan berlangsung 3-4 jam. Bedanya, Sei Sapi Maumere menggunakan mesin asap khusus. “Mesin ini kustom sendiri,” kata dia.
Tantangan lain adalah mencari tempat pengasapan yang tak mengganggu lingkungan sekitar. Maklum saja, rumah pengasapan Sei Sapi Maumere pernah kena tegur warga sekitar. Gara-garanya asap meruyak begitu banyak.
“Akhirnya kami cari rumah yang jauh dari permukiman. Tidak ada rumah di dekatnya,” ungkapnya.
Tatas mengandalkan media sosial untuk mengumumkan kuliner itu di Jogja. “Waktu itu sudah ada satu resto sei sapi. Kami coba menawarkan experience baru saja,” tuturnya.
Menurutnya, Sei Sapi Maumere disambut antusias waktu awal dibuka. Rekor tertinggi resto ini harus menyediakan satu kuintal daging dalam satu hari untuk tiga outlet. “Mungkin orang sudah jenuh karena Covid-19. Momennya pas,” kata dia.
Ia bercerita, di masa awal buka pernah suatu kali resto di Kotabaru didatangi petugas. Sebabnya, resto dianggap kelewat ramai pengunjung. “Kami sudah berupaya jaga jarak dan menyediakan sarana prokes. sempat ketar-ketir juga,” katanya.
Tatas menyasar pangsa keluarga dan kalangan menengah atas. Satu menu paket sei termurah dibanderol di kisaran Rp25 ribu – Rp30 ribu. “Ini sesuai harga daging yang lumayan mahal,” kata dia. Apalagi tempat sewa di pusat kota seperti Kotabaru, imbuh dia, juga tinggi, kendati ia enggan menyebutnya.
Menurut Tatas, pangsa pasar sei sapi di Jogja masih terbuka, kendati saat ini kompetitor di kuliner ini juga banyak. Saat ini, kata dia, ada 7-8 resto sei sapi di Jogja yang harus berebut pembeli.
Namun hal itu bukanlah kendala untuk mempertahankan dan mengembangkan kuliner ini. “Sekarang ini lebih tergantung ke kebijakan pemerintah waktu pandemi ini, bukan soal jenis kulinernya,” tandas Tatas.
Belajar langsung ke Kupang
Selain Sei Sapi Maumere, salah satu resto sei sapi di Jogja adalah Sei Sapi dan Tuna Termanu. Pemiliknya, Jordi Nayoan (25), menyatakan, ia tak sekadar mengikuti tren kuliner itu. “Kami ingin mengenalkan menu tradisi yang masih asing bagi warga Jogja,” katanya.
Resto Sei Sapi dan Tuna Termanu berada di kawasan pertokoan di Ring Road Utara, di seberang Hartono Mall. Interiornya dipercantik dengan nuansa khas NTT, seperti kai tenun dan alat musik sasando.
Jordi bercerita harus menimba ilmu sampai ke Kupang sebelum membuka resto ini. menurut dia, penjual sei memang banyak di Kupang, tapi sebenarnya mereka berasal dari satu desa di sana bernama Termanu.
“Saya di sana total sampai tiga minggu untuk belajar sei ke warga setempat,” kata pemuda kelahiran Sukabumi, 21 Mei 1997, ini saat ditemui di restonya.
Petualangannya ke NTT saat itu juga dilatari usaha travel milik keluarganya yang sedang lesu. Jordi pun tertarik untuk mengenalkan kuliner ini pada warga Jogja. Dibuka mulai Maret 2021 secara daring, resto dibuka pada September 2021. Dengan harga per paket minimal di kisaran Rp25 ribu – Rp30 ribu, pangsa pasar resto ini kalangan menengah atas, termasuk keluarga.
Menurutnya, sei merupakan teknik pengasapan dalam kuliner ini. Adapun irisan panjang daging yang digantung untuk diasapi disebut lalolak. Pengasapan menggunakan kayu kosambi dan daging juga ditutup daun kosambi.
“Kami mendatangkan bahan-bahan ini dan mengikuti teknik masaknya supaya mendekati aslinya,” tuturnya.
Jordi juga menggunakan sapi lokal untuk bahan utama. Alasannya, harganya lebih terjangkau dan dapat membantu ekonomi peternak lokal.
Selain sapi, Jordi juga melakukan modifikasi dengan menggunakan daging ikan tuna dan marlin. “Saya tanya ke pembuat sei di NTT katanya bisa. Sepertinya ini satu-satunya sei dengan ikan,” ujar Jordi.
Meski mengakui sei sapi tak seheboh dulu, Jordi yakin untuk terus mengembangkan usaha kuliner ini. Bahkan ia berencana menambah ruang di lantai dua restonya. “Apalagi bangunan ini milik sendiri jadi secara cost tidak berat,” kata dia.
Suara warga NTT
Baik Tatas dan Jordi menyatakan tak menyasar khusus warga atau komunitas dari daerah asal sei di NTT. Namun Joyden Aldo (26), warga Kupang yang tinggal di Jogja, punya cerita tersendiri soal kuliner dari kampung halamannya itu.
Ia menyebut tren sei sapi berawal karena ketertarikan masyarakat pada narasi kuliner tersebut. “Dengar cerita daging yang diawetkan bisa tahan bertahun-tahun tapi juga punya cita rasa dan aroma itu mungkin sesuatu yang menarik,” tutur Joey.
Namun dia mengakui tak semua gerai sei sapi di Jogja mendekati aslinya. “Citarasa, warna, aroma, dan teksturnya berbeda-beda,” kata perantau yang tinggal di Jogja sejak 2015 itu.
Perbedaan itu bisa diketahui terutama oleh warga NTT yang kerap menyantap menu sei di daerah asal. “Kalau yang biasa makan, 3-4 sendok sudah ketahuan. Tapi kalau belum biasa makan sei memang susah membedakan,” ujarnya.
Sebab, sei tak sekadar menu kuliner dari daging yang diasap, melainkan juga memerlukan pengolahan dari bahan lokal, terutama daun kosambi.
“Jadi bukan soal dagingnya, bisa saja daging diganti ikan, tapi pengolahannya itu yang harus diperhatikan,” katanya.
Karena itu, kebanyakan rekannya asal NTT di Jogja tetap setia pada sei dari kampung halaman. “Karena susah cari yang ori (original), kami biasanya dikirimi. Dagingnya kan awet atau dibungkus pakai plastic vakum,” ujarnya.
Joey mengakui belakangan tren sei sapi di Jogja tak seheboh dulu. Menurut dia, hal itu tak lepas dari sajian sei sapi yang jauh dari cita rasa sei dari daerah asal. “Mungkin karena rasanya tidak sesuai ciri khas sei aslinya,” kata dia.
Gatary Surya Kusuma, peneliti dan pegiat seni dari Bakudapan Food Study Group, menyebut tren sei sapi menjadi pertanda baik untuk keaneragaman pangan kita. Ia menjelaskan, heboh sei sapi pertama dulu bermula di Bandung kemudian merambah sejumlah daerah termasuk Jogja.
“Sei sapi makanan khas NTT. Daging diasapkan hingga matang dan dalam proses pematangannya menggunakan daun kosambi untuk memberi aroma khas,” kata dia.
Namun penyebaran kuliner itu membuatnya beradaptasi. “Awalnya dagingnya babi, tapi sekarang karena banyak diadaptasi ke Jawa yang mayoritas adalah pemeluk agama Islam, jadi diadaptasi jadi daging sapi,” kata dia.
Yang jelas, menurut Gatary, kuliner ini memperkaya khazanah kuliner Nusantara. “Selera makan kita jadi lebih beragam dan kita jadi tahu kalau ada jenis citarasa lain selain yang sehari-hari kita santap,” tuturnya.
Reporter: Arif Hernawan
Editor: Purnawan Setyo Adi